INI perjalanan sangat menegangkan karena uji nyali dan menantang adrenalin, setelah sebelumnya gagal berangkat sesuai jadwal karena kendala alam.
Sedianya kami akan memulai perjalanan turney pada hari Sabtu dini hari. Akan tetapi karena debit air yang tidak memungkinkan karena air sungai tengah surut, kami harus menunda perjalanan. Pelayanan di stasi-stasi pedalaman di Keuskupan Timika di Papua ini memang sangat tergantung dari situasi alam dan air.
Untuk melihat waktu yang tepat untuk perjalanan, ada daftar perkiraan debit air yang bisa dipakai sebagai acuan. Maka tak jarang perjalanan dimulai dini hari apabila debit air memungkinkan.
Baca juga: Pastoral di Pedalaman: Pekan Suci bersama Umat Katolik di Kokonau, Keuskupan Timika, Papua (1)
Turney yang mengesankan
Setelah sempat tertunda satu hari, akhirnya turney pelayanan Pekan Suci dimulai. Ada tiga perahu motor yang biasa disebut speed berangkat pada dini hari Minggu itu. Satu speed besar yang akan dipakai oleh Pater Gabby SCJ ke stasi-stasi yang paling jauh, satu speed kecil yang akan dipakai oleh Pater Sriyanto SCJ untuk ke stasi-stasi yang lumayan dekat, dan satu perahu fiber yang akan saya pakai untuk ke stasi-stasi yang jaraknya juga lumayan jauh.
24 stasi pedalaman
Pada pekan suci tahun ini, Paroki Kokonao yang mempunyai 24 stasi dilayani oleh 5 imam SCJ: P. Petrus Suharjono SCJ, P. Hadrianus Wardjito SCJ, P. Gabriel Kera Tukan SCJ, P. Eduardus Sriyanto SCJ dan saya (P. Sigit Pranoto SCJ).
Saya mendapat tempat pelayanan di stasi-stasi pesisir yakni Stasi Umar-Arerau, Stasi Pronggo, Stasi Kipia, Stasi Mapar, Stasi Akar dan Stasi Pinia yang terletak di gunung.
Di awal perjalanan, saya dan Pater Sriyanto naik speed yang dipakai Pater Gabby hingga di ujung muara sungai sebelum memasuki Laut Arafuru. Sementara perahu lainnya dibawa oleh para motorist bersama beberapa anak asrama yang akan menemani kami dalam turney, sekaligus menjadi juru bantu.
Sekitar pukul 03.00 WIT, kami sampai di Dermaga Amar. Di sana kami beristirahat sejenak. Namun perahu yang akan membawa saya ke Stasi Umar-Arerau rupanya tidak datang ke tempat itu. Kami menunggu sembari beristirahat di atas speed hingga pukul 05.30 WIT.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan harapan bahwa perahu saya sudah sampai di Stasi Umar-Arerau. Maka Pater Sriyanto pun pindah ke speed yang dipakainya, dan saya masih ikut Pater Gabby menuju Stasi Umar-Arerau.
Memasuki Laut Arafuru, segera terasa dahsyatnya ombak. Bagi saya yang baru pertama kalinya melakukan perjalanan, ombak ini terasa begitu mengerikan. Speed terasa digoncang-goncang. Perut pun mulai mual. Namun beruntung saya bisa mengatasinya. Dalam hati saya hanya berdoa agar bisa selamat dalam perjalanan ini.
Akhirnya setelah sekitar tiga jam lebih berlayar mengarungi Laut Arafuru, kami pun tiba di tepian Pantai Arerau. Tapi speed tidak bisa mendarat ke pinggir karena air yang sudah dangkal. Saat itu umat sudah menunggu di pantai karena memang sedianya saya akan merayakan Minggu Palma di Stasi Umar-Arerau pukul 08.00 WIT.
Setelah memunggu beberapa saat, sebuah perahu kecil milik umat datang menjemput saya ke speed yang kami tumpangi. Pater Gabby melanjutkan perjalanannya dan saya langsung menuju ke rumah guru milik YPPK untuk beristirahat.
Tidak ada alat misa
Sesampai di stasi, rupanya masalah lain terjadi. Semua peralatan misa dan pakaian ganti saya ada di perahu yang dibawa oleh motoris saya yakni Om Sius (Patrisius) bersama empat anak asrama: Tenius Aim, Aloysius Jawa, Samuel Kobogau, dan Maria Walburga.
Perkiraan kami bahwa Om Sius sudah sampai Stasi Umar-Arerau ternyata meleset. “Mungkin mereka di Stasi Pronggo,” kata Pater Gabby sebelum kami berpisah. Maka saya pun minta tolong umat yang menjemput saya dengan perahu itu untuk mencari Om Sius ke Pronggo. Saya sendiri saat itu belum tahu daerah tersebut. “Hanya dekat saja dari sini,” kata seorang bapak pada saya.
Maka sembari menunggu, saya minta pada Ketua Dewan untuk memberitahu umat supaya pulang dahulu dan menunggu lonceng gereja. Rasa bersalah muncul dalam diri saya karena melihat bagaimana umat sudah menunggu.
“Tidak apa Pater. Ini sudah biasa karena kita tidak tahu bagaimana situasi alam. Umat sudah paham,” ungkap seorang guru kontrak, seakan menangkap kegelisahan saya.
Setelah berbincang beberapa saat dengan beberapa umat dan guru, saya tidur sebentar karena semalaman tidak bisa tidur. Setelah bangun, rupanya rombongan Om Sius belum kunjung datang. Mulai muncul kekhawatiran dalam diri saya.
Berkali-kali saya tanya: “Sudah tiba atau belum?” Dan jawabannya masih saja sama: “Belum Pater”.
Sekitar pukul 13.00 WIT, kekhawatiran pun sirna. Dari kejauhan nampak empat anak yang ikut perahu Om Sius membawa boks dan tas saya.
Misa bercelana kolor
Rupanya masalah lain datang. Box tempat pakaian saya tidak dibawa oleh anak-anak. Mereka meninggalkannya di perahu. Untuk mengambilnya pun rasanya tidak memungkinkan lagi. Perahu bersandar di muara yang jarak tempuhnya hampir satu jam dari tempat saya saat itu. Sementara saya saat itu hanya mengenakan celana kolor pendek, kaos oblong dan sandal jepit.
“Ah, sudahlah. Yang penting alat misa sudah lengkap. Toh saya juga masih pakai alba,” demikian pikir saya waktu itu. Saya tak mau umat menunggu lebih lama. Apalagi hari itu saya dijadwalkan untuk misa di dua stasi: pukul 08.00 WIT di Stasi Umar-Arerau dan pukul 15.00 WIT di Stasi Pronggo. Segera saya bersiap dan meminta agar ketua dewan membunyikan lonceng supaya umat segera berkumpul.
Sekitar pukul 14.30 WIT , misa pun dimulai. Sekitar 200-an umat sangat antusias mengikuti perayaan ekaristi ini. Inilah pertama kalinya saya memimpin perayaan Minggu Palma sebagai seorang imam.
Pengalaman perdana ini diwarnai dengan pengalaman mengesankan. Terlebih lagi karena saya merayakan Ekaristi hanya dengan celana pendek kolor dan sandal jepit.
Sesuatu yang tak biasa bagi saya.
“Tuhan, ampunilah aku …,” gumam saya dalam hati berkali-kali. (Bersambung)