
INI merupakan catatan ringan tentang misi pelayanan pastoral kami selama Pekan Suci di sebuah wilayah pedalaman di Papua. Tujuannya adalah untuk menemui umat katolik –mereka juga anggota Gereja Katolik—di sebuah kawasan pedalaman yang sungguh tidak mudah dijangkau, selain harus mengandalkan aliran sungai untuk mencapai kawasan terpencil ini.
Anti malaria
“Dua pekan sebelum ke Papua, minumlah obat malaria terlebih dahulu,” begitu pesan seorang konfrater pada saya, ketika ia mengetahui saya akan membantu pelayanan selama Pekan Suci di Paroki Kokonao, Keuskupan Timika.
Tahun 2017 ini menjadi tahun pertama saya sebagai imam dan merupakan kesempatan bisa membantu pelayanan selama Pekan Suci di Papua. Salah satu persiapan yang saya lalukan adalah keharusan minum obat (anti) malaria. Ini akan menjadi pengalaman pertama saya melayani di ujung timur Indonesia.
Selasa (4/4), saya terbang menuju Timika dengan pesawat Airfast dari Bandara Soekarno Hatta – Cengkareng, setelah sebelumnya terbang dari Palembang menuju Jakarta. Pesawat Airfast yang merupakan sewaan PT Freeport dan burung besi ini berhasil lepas landas pukul 21.30 WIB. Saya berangkat bersama empat imam lainnya, Mereka adalah P. Eduardus Sriyanto SCJ, P. Andre Pr (Pangkal Pinang), P. Frans CSSR, dan P. Paulus Sogen Pr (Pangkal Pinang).
Kami semua akan membantu pelayanan pekan suci di Keuskupan Timika.
Pesawat mendarat pada pukul 05.30 WIT, setelah sebelumnya transit untuk mengisi bahan bakar di Bandara Hasanuddin, Makassar.
Saya dan P. Sriyanto melanjutkan perjalanan menuju Biara SCJ Timika. Sementara ketiga imam yang lain menuju ke paroki tempat pelayanan masing-masing. Kami berdua dijemput oleh P. Dodot Kusworo SCJ yang sudah 8 tahun lebih berkarya di Timika dan saat ini melayani Paroki St. Petrus (SP3).
Persaudaraan antar SCJ
Tiba di Biara SCJ, kami disambut dengan penuh persaudaraan oleh para konfrater kami di sana: P. Bernard B. Kedang SCJ (Sekretaris Keuskupan Timika), P. Policarpus Gunawan SCJ, P. Andreas Madya Sriyanto SCJ, P. Hadrianus Wardjito SCJ, P. Petrus Suharjono SCJ (Pastor Rekan Paroki Kokonao) dan Br. G. Sigit Wiyono SCJ (Paroki St Petrus SP3).
Selama dua hari, kami mendapat kesempatan melihat situasi di Kota Timika. Dan pada hari Kamis (6/4) kami berangkat ke Paroki Kokonao bersama P. Suharjono SCJ.

Insiden kecil di Dermaga Pomako
Kami berangkat dari Biara SCJ sekitar pukul 16.30 WIT menuju Biara Suster FCh di Rumah Sakit Mitra Masyarakat untuk menjemput Sr. Eufrasia FCh yang juga bertugas di Kokonao. Pukul 19.30 kami tiba di dermaga milik keuskupan yang berada di Pomako.

Ada insiden kecil waktu menurunkan barang di dermaga. Seorang pemuda mabuk minta uang dan rokok pada kami. Karyawan pastoran yang menjemput kami dengan speed (baca: perahu motor) sempat terpancing emosi dan baku hantam dengannya. Si pemuda terus berteriak-teriak dan bilang pada Pater Jono: “Pater tidak punya kasih ka?”
Aih… orang mabuk bisa kasih kotbah untuk pater, gumam saya.
Tak hanya itu. Waktu masih menunggu di dermaga, sekelompok pemuda dengan jumlah sekitar 15an orang berjalan di jalan sembari berjoget dan berteriak-teriak. Nampaknya mereka mabuk. Ada dua orang yang akan menghampiri kami namun mereka dicegah oleh pemuda lainnya dengan mengatakan: “Itu Pater. Jangan main-main.”
Lantas kedua pemuda itu pun pergi. Ah.. lagi-lagi saya terheran-heran, karena orang mabuk masih bisa membedakan antara pastor (pater) dan bukan.
Ampun deh, mesin speed mati
Sekitar pukul 21.00 kami berangkat dengan speed menuju Paroki Kokonao. Baru berjalan beberapa meter menyusuri sungai, mesin speed bermasalah. Motoris beberapa kali mencoba memperbaiki, namun terus saja gagal.
Belum lagi lampu penerang yang berkali-kali tak bisa dihidupkan. Bahkan saat motoris berhasil menghidupkan mesin, tiba-tiba kaca depan speed, yang persis ada di bagian ruang kendali pecah.
Ah, akan seperti inikah hari-hari yang harus saya lewati beberapa hari ke depan? Demikian pikiran saya mulai takut.

Bersyukur bahwa akhirnya perjalanan kami menuju Kokonao lancar. Kami tiba di dermaga paroki sekitar pukul 23.30 WIT dan langsung disambut oleh Pater Gabby SCJ, pastor Paroki Kokonao, Sr. Bertilia FCh dan beberapa anak asrama putera dan puteri yang dengan gesit langsung membawa barang-barang belanjaan kebutuhan bulanan paroki dan asrama.
Paroki St. Maria Bintang Laut Kokonao
Menurut buku petunjuk Gereja Katolik Indonesia, tercatat bahwa baptisan pertama di Paroki St. Maria Bintang Laut ini terjadi pada 11 Agustus 1928. Di halaman depan pastoran terdapat patung peringatan pembaptisan pertama. Bangunan gereja sendiri terletak sekitar 1 km dari pastoran.
Sekarang paroki ini dilayani oleh Pater Gabriel Kera Tukan SCJ (dikenal dengan Pater Gabby) dan Pater Petrus Suharjono SCJ (Pater Jono). Ada juga biara suster Fransiskan Charitas (FCh). Para suster yang saat ini berkarya di sana adalah Sr. M. Eufrasia FCh, Sr. M. Diana FCh, dan Sr. M. Bertilia FCh.
Di paroki ini terdapat dua asrama yakni asrama putera dan asrama puteri Bintang Kejora. Para pastor dan suster menjadi pendamping bagi para siswa-siswi yang tinggal di asrama.
Tak jauh dari pastoran terdapat sebuah bandara kecil yang dilayani pesawat Susi Air setiap hari Jumat. (Bersambung)