INI kisah perjalanan yang menguji nyali dan menantang adrenalin saat menyusuri Laut Arafuru menuju Stasi Pronggo, wilayah pedalaman pesisir di tepi
Laut Arafuru di Keuskupan Timika, Papua.
Sekitar pukul 17.30 WIT saya melanjutkan perjalanan menuju Stasi Pronggo dengan perahu fiber milik paroki. Perjalanan kali ini terasa lebih menyeramkan lagi bagi saya. Kami harus melalui Laut Arafuru dengan ombak yang besar. Perahu yang tergolong kecil ini membawa saya melalui ganasnya ombak Arafuru. Langit juga mulai gelap yang membuat saya semakin takut.
Sebagai gambaran, saya duduk di bagian depan perahu bersama Tenius. Dua anak yang lain duduk di tengah, Aloysius duduk di ujung depan perahu sekaligus sebagai juru bantu. Dan Om Sius sebagai motoris duduk di belakang mengemudikan perahu.
Dengan lincah Om Sius mengendalikan perahu. Perahu naik turun mengikuti irama gelombang laut. Saat air laut menerpa pinggiran perahu, air pun muncrat membasahi pakaian yang saya kenakan. Asinnya air laut segera saya rasakan saat air mengenai mulut dan bibir saya. Mata juga terasa pedih karena berkali-kali terkena air laut. Dalam hati saya hanya berdoa dan berpasrah.
“Ah… Om Sius sudah berpengalaman. Toh para imam yang berkarya di sini bertahun-tahun tidak memgalami sesuatu,” ungkap saya menghibur diri.
Bagi saya, perjalanan menuju Pronggo ini terasa sangat lama. Langit sudah sangat gelap waktu kami masih di tengah laut. “Katanya dekat, kenapa tidak sampai-sampai?,” tanya saya dalam hati sembari memgingat kata umat di Umar-Arerau sebelumnya.
“Masih jauhkah?” tanya saya pada Tenius.
“Sebentar lagi Pater,” jawabnya singkat.
Pertanyaan itu beberapa kali saya tanyakan. Jawaban yang sama pula juga saya dapatkan dari Tenius.
Di tengah kekhawatiran dan ketakutan yang saya hadapi, ada satu pemandangan ganjil. Aloysius, si juru bantu justru tertidur nyenyak di ujung perahu. Padahal ombak berkali-kali menghantam perahu kami.
Tidak khawatirkah dia? Oh.. betapa besarnya imanmu, nak!
Minggu Palma di Hari Senin
Kami akhrinya berhasil menjangku dan tiba di Pronggo sekitar pukul 20.30 WIT. Dibantu oleh beberapa umat, kami membawa barang-barang bawaan kami menuju rumah guru yang akan kami tempati beberapa hari ke depan. Dari muara, kami harus berjalan sekitar 1 km dengan barang-barang bawaan kami. Kami disambut beberapa guru kontrak dan beberapa umat yang membantu membawa barang kami.
Kabar bahwa kami sudah datang segera didengar oleh bapak ketua dewan yang beberapa saat kemudian datang menemui kami.
Sembari istirahat, saya pun menceritakan apa yang saya alami dan memohon maaf atas keterlambatan kami. Lagi-lagi jawaban yang sama saya dengar: “Tidak apa Pater. Umat sudah biasa dengan hal seperti itu.” Demikian pula kata ketua dewan.
Memang, pelayanan di stasi-stasi pesisir seperti ini tak bisa ditentukan dengan tepat. Perlayaran hanya bisa dilakukan bila situasi air laut mendukung. Dan umat sudah sangat memaklumi hal ini.
Setelah berbicara dengan ketua dewan, akhirnya kami sepakat untuk merayakan Mingu Palma esok harinya pukul 08.00 WIT.
Keesokan harinya, saya merayakan Ekaristi Minggu Palma di hari Senin. Ada kurang lebih 250-an umat memgikuti perayaan ini. Sebagian kecil di antaranya datang dari Stasi Kipia yang juga sudah datang pada hari sebelumnya.