“Pasukanku Nyaris Hancur” di Malam Surgawi Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (3)

0
1,386 views
Ilustrasi: Mawas Diri

Patrik Ananto, seorang seminaris dari kelas yang dalam kultur pendidikan seminari dinamakan “medan tamtama”, melalui karya sastra berjudul “Sebuah Nama Sebuah Semangat”, agaknya ingin menggambarkan bahwa jalan pendidikan calon pastor ibarat mereka dalam medan pertempuran.

“’Pasukanku nyaris hancur. Hanya sedikit yang tersisa. Tapi aku tak boleh kalah. Aku tak boleh menyerah. Kuingat lagi nama yang kugoreskan di tebing. Semangatku kembali. Kulawan mereka dengan pasti. Kupukul mundur mereka. Ya… Aku menang. Dan kukuasai medan laga. Ini semua karena sebuah nama. Nama Yesus di dinding tebing. Sumber semangatku’,” begitu puisinya yang dibaca seorang seminaris sesama “medan tamtama” bernama Ryan Aditya.

Seorang seminaris yang selesai membacakan karyanya dari panggung level berbalut kain warna hitam dengan instalasi antara lain gender, saron, dan demung di taman itu, kemudian mengambil lintingan kertas dari dalam kendil beralas cobek. Dibacanya tulisan di kertas kecil itu.

“Gus Kholil,” katanya bernada memanggil seseorang. Maksudnya pembacaan puisi berikutnya oleh Kholilul Rohman Ahmad (Gus Kholil) berasal dari kawasan Pondok Pesantren Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Gus Kholil saat ini menjadi staf ahli salah satu fraksi DPR RI di Jakarta.

Ia yang mengenakan peci hitam, berbaju putih motif garis-garis dan bercelana panjang warna hitam itu memanfaatkan waktu liburan panjang akhir minggu ketiga Mei 2012 dengan tampil membacakan satu karya sastra pada “Malam Sastra Surgawi” Seminari Mertoyudan.

Sambil menduduki dingklik di satu panggung level itu, Gus Kholil membuka sajak sembilan baris dari blackberry-nya. Sajak itu bernama “Erang-Erang Sekar Panjang”, karya Kiai Siradj Payaman pada 1351 Hijriah atau 1950 Masehi yang isinya nampaknya ajakan kepada manusia untuk menjalani hidup yang baik agar mendapatkan kemuliaan di akhirat.

Beberapa baris sajak itu, “’Iling iling sira menungsa kabeh iku bakal mati, pumpung durung sira iku ketekanan maring pati. Nggonmu mati lamun beja ana kubur luwih mulya, katimbang urip ira arikala ana ndunya. Aja sira ngarep arep ing mulyane awak ira. Lamun ora gelem taat arikala ana ndunya. Aja susah kurang sandang kurang pangan saben ndina. Susahana sira iku ing landrate awak ira. Aja sira ngasa-asa nggonmu golek banda dunya. Nggonmu golek sira iku ngasi tekan liya negara’“.

Di akhir pembacaan sajaknya itu, Gus Kholil membacakan baris pamungkas dengan menembangkannya, “’Ngilingana sira iku nek wis lunga nunggang krenda ora bakal sira iku bisa balik maring ndunya’”.

Kredit Foto: Kompas.Com

ARTIKEL TERKAIT

Malam Surgawi, Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (1)

Malam Surgawi Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here