Rektor Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Pater Yulius Yasinto, SVD, MA, MSc menilai, sangat keliru bila menganggap bahasa Inggris sebagai kiblat bagi anak untuk menjadi manusia bermartabat dan akan memiliki masa depan yang lebih baik.
Seharusnya anak dalam proses tumbuh kembang dan mulai memasuki dunia pendidikan, diarahkan untuk belajar di atas budayanya sendiri dan bukan belajar di atas budaya asing, kata Yulius Yasinto, di Kupang, NTT, terkait bermunculannya sekolah bertaraf internasional dewasa ini.
“Sekarang ini orang melihat bahwa kiblat pendidikan itu adalah bahasa sehingga orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anak mereka pada sekolah-sekolah bertaraf internasional, padahal seorang anak harus belajar di atas budayanya sendiri,” katanya.
Berdasarkan pengalaman di berbagai negara di Eropa, katanya menjelaskan, bahwa anak yang tidak berakar pada budayanya sendiri, maka akan lupa pada identitas budayanya sendiri sehingga tidak menghargai sesama.
Berbeda dengan di perguruan tinggi yang masih relatif netral dalam ilmu maupun nilai budaya, mahasiswa masih bisa melihat apa yang berkembang di dunia pendidikan dan pengaruh terhadap nilai dalam masyarakat, katanya.
Karena itu, dalam proses pendidikan anak harus ada kesimbangan antara dengan menerima budaya yang dari luar tetapi tetap berakar pada budaya sendiri, katanya.
Pater Rektor juga tidak sependapat dengan pandangan bahwa sekolah-sekolah rintisan bertaraf internasional adalah sekolah yang paling bermutu.
Menurut dia, pendidikan harus tetap berciri kas nasional walaupun anak harus membuka diri terhadap perkembangan global.
Tetapi harus diingat bahwa pemerintahan bangsa ini tidak bisa menjadikan model pendidikan di barat yang seolah-olah lebih baik dan harus diterapkan di dalam negeri, katanya.
“Jadi hilangkan pandangan bahwa sekolah-sekolah rintisan bertaraf internasional lebih baik dari sekolah biasa karena anak bisa menguasai bahasa Inggris dan itu akan menjadikan masa depan anak lebih baik,” katanya.