USAI hiruk-pikuk berita dunia yang melansir pengunduran diri Sri Paus Benedictus XVI dari jabatannya sebagai Uskup Roma dan Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Semesta, maka perhatian dunia kini mulai tertuju pada agenda penting yakni proses pemilihan paus baru. Dalam terminology katolik, proses seleksi (pemilihan) paus baru ini disebut dengan istilah baku: konklaf.
Kini, semua mata akan tertuju pada konklaf yang dijadwalkan akan berlangsung mulai pertengahan Maret 2013 mendatang. Konklaf adalah pertemuan penting dimana para ‘pangeran’ Vatikan wajib datang untuk memberikan suaranya dalam proses seleksi paus baru.
Pangeran Vatikan
Para ‘pangeran’ Vatikan itu adalah semua kardinal dari seluruh dunia yang jumlahnya bisa mencapai angka 250-an orang.
Kardinal adalah gelar kehormatan yang diberikan Tahta Suci kepada para pastur. Yang berhak memberikan gelar kehormatan ini adalah Sri Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik Semesta. Yang diberi gelar ‘kardinal’ tidak selalu harus menjabat uskup atau uskup agung; melainkan para pastur ‘biasa’ yang oleh Vatikan dianggap mumpuni dan layak menerima kehormatan menyandang gelar ‘pangeran’ Vatikan ini.
Nah, sejarah Gereja Katolik Indonesia baru mencatat dua nama yang pernah diangkat Tahta Suci menjadi kardinal. Kedua kardinal asli Indonesia ini adalah alm. Kardinal Justinus Imo Darmojuwono Pr –seorang imam praja diosesan Keuskupan Agung Semarang—dan menjabat Uskup Agung Semarang sampai tahun 1982 ketika memutuskan pensiun karena usia lanjut dan kemudian menjadi pastur pembantu paroki di Gereja Katolik Banyumanik, Semarang.
Kardinal kedua asli Indonesia adalah Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja SJ, mantan Uskup Agung Semarang dan mantan Uskup Agung Jakarta. Beliau juga memutuskan pensiun karena usia lanjut dan mantan provinsial SJ ini sekarang menikmati masa pensiunnya sebagai pembimbing retret Latihan Rohani di Wisma Emmaus Girisonta, Karangjati, Ungaran, Kab. Semarang.
Dengan demikian, dalam konklaf Maret 2013 utusan Gereja Katolik Indonesia hanyalah Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, ‘pangeran’ Vatikan yang juga ikut proses konklaf tahun 2005 yang akhirnya melahirkan paus baru bernama Yohannes Paulus II.
Serba rahasia
Lalu apa yang paling menarik dari keseluruhan proses konklaf ini? Tentu saja, selain “daftar pesertanya’ sangat-sangat terpilih dan terbatas hanya para kardinal saja; juga sifat super rahasia yang tidak boleh sampai bocor dari ruang sidang proses seleksi paus baru.
Mari kita runut dulu akar kata ‘konklaf’ ini sesua akara bahasanya yakni Bahasa Latin.
Kata bahasa Indonesia ‘konklaf’ aslinya berasal dari kata bahasa Latin yakni ‘clave’ yang artinya kunci. Kata ini mengacu pada praktik berkumpulnya para Kardinal di Kapel Sistina dimana menjadi ruang penting –saksi sejarah—terjadi proses seleksi paus baru. Di Kapel Sistina inilah, proses pemilihan ini berlangsung rahasia, karena semua kardinal yang masuk ke Kapel Sistina ini kemudian ‘mengunci diri’ dan berkanjang dalam doa.
Intensinya satu: dalam doa mohon terang Roh Kudus agar diberi ‘penerangan ilahi’ kepada siapa pilihan mereka atas jabatan paus baru harus dialamatkan? Doa dan doa menjadi ‘cahaya ilahi’ darimana para Kardinal ini akhirnya akan mendapatkan nama kardinal yang dianggap paling bermartabat dan cocok untuk mengemban tugas baru sebagai Uskup Roma dan dengan sendirinya menjadi paus baru.
Sebelum digelar di Kapel Sistina di Vatikan, konklaf diselenggarakan di Viterbo di luar kota Roma –tepatnya di Italia Tengah—lantaran Roma waktu itu masih rentan dengan kerusuhan sosial dan politik. Saking bertele-telenya konklaf di tahun 1271 yang makan waktu sampai 33 bulan, akhirnya konklaf di Viterbo berakhir dengan sedikit ‘rusuh’ karena ransum dan logistic para kardinal disetop. Bahkan genteng di sebuah bangunan di Viterbo ini ‘ditelanjangi’ agar proses konklaf ini segera berakhir dengan sebuah pengumuman baru: Habemus Papam! (dari bahasa Latin yang artinya “kami punya bapak/paus!)
Memanglah. Konklaf di Viterbo berhasil menggolkan Gregorius X sebagai paus baru. Pada zamannya, Paus Gregorius X berhasil merumuskan protocol proses seleksi konklaf. Hasilnya lumayan, karena penggantinya berhasil terpilih dalam sidang konklaf sehari saja. Namun paus dua generasi berikutnya makan waktu konklaf selama 7 hari. (Bersambung)
Photo credit: Suasana konklaf (Ist)
Artikel terkait: