“Paus Hitam” Calon Orang Kudus: 5 Februari 2019, Proses Kanonisasi Pater Pedro Arrupe SJ

0
970 views
Pater Pedro Arrupe SJ --the Black Pope by Achives Kuria SJ

KABAR bungah ini  pertama kali muncul di Bilbao, Spanyol, ketika Pater Jenderal Ordo Serikat Jesus RP Arturo Sosa SJ mengumumkan bahwa mulai tanggal 5 Februari 2019 mendatang, proses penyelidikan atas derajad kekudusan Pater Pedro Arrupe SJ akan segera dimulai.

Almarhum Pater Pedro Arrupe SJ adalah Superior General Ordo Serikat Jesus (baca: Pater Jenderal Jesuit) kurun waktu tahun 1965-1983.

Selama menjabat Pemimpin Umum Ordo Jesuit di Roma, almarhum Pater Pedro Arrupe juga mendapat mandat dari para pemimpin umum religius seluruh dunia yang “berkantor” di Roma untuk menjabat Presiden Asosiasi Tarekat Religius. Dan itu berlangsung kurun waktu tahun 1967-1982.

Sosoknya Pater Pedro Arrupe SJ dalam memimpin Ordo Serikat Jesus menjadi sorotan internasional oleh Majalah Time edisi tahun 1979.

Mengukur “kekudusan”

Proses kanonisasi terhadap probabilitas kekudusan Pedro Arrupe akan dimulai di Keuskupan Roma, Italia,  di mana Kardinal Angelo de Donatis telah memberi lampu hijau agar proses ini bisa segera dimulai.

“Almarhum Pater Jenderal Pedro Arrupe sungguhlah sosok manusia beriman akan Kristus dan beliau telah mendedikasikan seluruh hidupnya bagi misi (Gereja dan Serikat Jesus). Karya ‘mukjizat’ yang beliau wariskan adalah apa yang sekarang ini Anda lihat,” ungkap Pater Jenderal Jesuit RP Arturo Sosa SJ dalam sebuah pertemuan antara kalangan Jesuit Spanyol dan kaum awam di Bilbao.

Hingga kini, publik sudah mengenal almarhum Pater Pedro Arrupe sebagai “Hamba Allah”, namun beliau belum dinyatakan berhak menyandang predikat sebagai “venerable” oleh Tahta Suci.

Setelah proses penyelidikan atas derajad kekudusan nantinya dianggap memadai dan kemudian dinyatakan “layak”, maka akan dirilis pernyataan tentang beatifikasi Pater Pedro Arrupe sebagai “Beato” alias “Yang Terberkati”.

Tahapan berikutnya adalah proses penyelidikan lanjutan hingga “Beato” itu layak mendapat julukan dengan peringkat kekudusannya yang lebih “sempurna” dengan sebutan “Santo”.

Untuk proses kanonisassi tahap awal ini, postulator Generalat SJ yakni Pastor Pascual Cebollada SJ tengah mengumpulkan bukti-bukti sejarah otentik berkaitan dengan “kekudusan” almarhum Pedro Arrupe SJ. Dan itu antara lain berupa surat-surat apostolik yang dia tulis dalam statusnya sebagai Pater Jenderal SJ dan kesaksian-kesaksian orang yang ditengarai pernah memperoleh ‘mukjizat’ berkat doa-doa kepada Tuhan melalui perantaraan Pedro Arrupe SJ.

Saksi pemboman Hiroshima, Jepang

Almarhum Pater Pedro Arrupe SJ lahir di Spanyol tahun 1907 dan masuk Serikat Jesus di Provinsi SJ Spanyol tahun 1927.

Ketika Ordo Jesuit disuruh meninggalkan Spanyol tahun 1932,  Pater Pedro Arrupe SJ harus “mengungsi” ke luar negeri untuk menyelesaikan pendidikan imamatnya. Mula-mula, ia ditugaskan belajar ke Belgia, lalu ke Negeri Belanda, dan akhirnya ke Amerika Serikat.

Ia menerima Sakramen Imamatnya dan ditahbiskan imam pada tahun 1936. Dua tahun kemudian sebagai pastor Jesuit muda, dia diutus pergi menjadi misionaris ke Jepang (1938).

Ketika Hiroshima dihantam bom oleh AS pada tanggal 6 Agustus 1945, beberapa hari menjelang berakhirnya Perang Asia Pasifik, Pater Pedro Arrupe tengah melakoni tugas pastoralnya sebagai magister (pemimpin novis) di Novisiat SJ di Hiroshima.

Karena pernah menjadi mahasiswa kedokteran jauh sebelum masuk novisiat SJ di Spanyol, Pater Pedro Arrupe lalu “menyulap” Novisiat SJ di Hiroshima menjadi  “rumah sakit” untuk merawat para korban kejatuhan bom.

Beberapa tahun kemudian, Pater Arrupe selalu mengenang kejadian pemboman di Hiroshima itu sebagai “insiden di luar sejarah peradaban kemanusiaan dan hal itu selalu mengendap terkenang di benak saya.”

Menjadi Superior General SJ

Tahun 1958, Pater Arrupe ditunjuk oleh Kuria SJ di Roma menjadi Provinsial SJ Provinsi Jepang.

Pada Kongregasi Jenderal ke-31 yang berlangsung di Roma pada tanggal 22 Mei 1965, beliau mendapat mandat kepercayaan terpilih menjadi Jenderal (Superior General) Ordo Jesuit.

Ia terpilih menjadi Jenderal SJ, di tengah sibuknya para Uskup dan Kardinal mengikuti sidang-sidang Konsili Vatikan II.

Kala itu, tulis James T. Keane dalam Majalah America, Ordo Jesuit menjadi tarekat religius dengan jumlah anggotanya terbanyak di dunia.

Usai Konsili Vatikan II resmi berakhir, rona-rona pasang surut hubungan baik antara Kuria SJ di Roma dengan Tahta Suci di Vatikan sering mengemuka.

Pasang-surut hubungan Kuria SJ dengan Vatikan itu antara lain dipicu oleh konten Dekrit 4 Kongregasi Jenderal ke-32 (baca: Rapat Umum SJ) tentang “Tugas Pengutusan Serikat Jesus di Zaman Ini: Pelayanan Imam dan Promosi Keadilan”.

Para Jesuit yang bersemangat ingin mengimplementasikan rekomenasi Kongregasi Jenderal ke-32 terutama konten Dekrit nomor 4 tersebut sering masuk “terjerumus” ke dalam praktik berpolitik praktis.

Akibatnya, mereka sering “bertabrakan” dengan Hirarki Gereja Katolik tingkat lokal –Keuskupan-keuskupan—yang waktu itu sangat “ortodoks” konservatif. Dalam perkembangan selanjutnya,  konflik-konflik lokal ini lalu ikut berimbas meluas sehingga menimbukan ketegangan dengan Vatikan yang terang-terangkan melarang semua kaum berjubah –terutama para Jesuit militan—ikut terlibat masuk ke dalam ranah politik praktis.

Itulah sebabnya, Kuria SJ di Roma sering bersitegang dengan Paus Paulus VI dan kemudian juga dengan Paus Johannes Paulus II berkaitan dengan praktik “membumikan” semangat Teologi Pembebasan di kancah kerasulan di wilayah Amerika Latin yang waktu itu hidup dalam cengkeraman rezim tiran militer yang sangat otoriter.

Pedro Arrupe SJ dan Paus Paulus VI. (Ist)

Sebagai Pemimpin Umum Ordo SJ, Pater Pedro Arrupe menjadi “kiblat” para Jesuit di seluruh dunia sepanjang kurun sejarah yang sangat dinamis ini. Itu kurun waktu yang  ‘berat’ bagi Pater Arrupe di mana Ordo Jesuit sering terlibat dalam sengketa pemikiran dan hubungan tegangan  mengenai implementasi praktik pastoral antara Gereja yang hirarkis dan feodal dengan para imam yang ingin “melebur diri” bersama umat dan rakyat, terutama Umat Katolik di Amerika Latin.

”Paus Hitam”

Dalam perjalanan pulang menuju Roma usai melakukan visitasi ke Manila di Filipina, Pater Pedro Arrupe mengalami serangan stroke. Ini terjadi pada tanggal 7 Agustus 1981.

Usai resmi mengundurkan diri sebagai Pater Jenderal SJ, kesehatannya mulai menurun dan beliau menjadi tidak bisa berbicara selain menggerakkan tubuhnya sebagai “cara berkomunikasi”.

Usai resmi mengundurkan diri sebagai Pater Jenderal SJ, beliau menunjuk Pater Vincent O’Keefe sebagai penjabat sementara “Jenderal Jesuit” sembari menunggu waktu akan diselenggarakannya Kongregasi Jenderal ke-33 untuk memilih Pater Jenderal yang baru.

Namun, Vatikan yang waktu itu di bawah kekuasaan Paus Johannes Paulus II tidak “merestui” penunjukan Pater O’Keefe di pucuk pimpinan tertinggi Kuria SJ di Roma.

Paus lebih suka mengangkat Pater Paolo Dezza SJ dan Pater Giuseppe Pitau SJ, keduanya juga para imam Jesuit senior, menjadi Penjabat Sementara sembari menunggu diselenggarakannya “Sidang Umum” para Provinsial SJ dari seluruh dunia di Roma.

Paus Johannes Paulus II dan Pater Pedro Arrupe SJ.

Pada kurun masa itulah, para Jesuit tak ayal tergoda “menuduh” Tahta Suci telah “mencampuri” urusan internal Ordo Jesuit.

Sebelum masa penuh ketegangan ini, sudah muncul istilah The Black Pope untuk menjuluki Pater Pedro Arrupe SJ sebagai tokoh berpengaruh di Gereja Katolik di luar struktur hirarki administrator pemerintahan Tahta Suci.

Disebut “Paus Hitam” lantara para Jesuit di Roma selalu berjubah warna hitam, sementara “seragam dinas” resmi Bapa Suci adalah jubah warna putih.

Pada Kongregasi Jenderal ke-33 di bulan September 1983, almarhum Pater Hans-Peter Kolvenbach SJ –Provinsial SJ Provinsi Libanon yang berdarah Belanda—terpilih menjadi Pater Jenderal Baru. Maka, roda pemerintahan SJ beralih dari duet Paollo Dezza dan Giuseppe Pitau kepada misionaris Belanda ahli linguistik di Beirut, Libanon ini.

“Man for others”

Adalah Pater Pedro Arrupe SJ yang menginisiasi sosok imam SJ itu sebagai “man for others”. Istilah ini beliau ucapkan saat memberi paparan pengarahan di sebuah pertemuan antara para imam pendidik Jesuit dan para murid di kolese-kolese Jesuit.

Pidato berkonten “Man for others” ini terjadi pada tahun 1973. Konon, istilah baku ini muncul sebagai gagasan yang diambil Pater Arrupe dari teolog Jerman bernama Dietrich Bonhoeffer yang hidupnya berakhir di tangan algojo Nazi di tahun 1945.

Adalah Pater Vincent O’Keefe yang membisiki istilah itu kepada Pater Pedro Arrupe, saat pastor Jesuit asal Amerika ini masih menjabat staf penting sebagai “Orang Kedua” di jajaran Kuria SJ di Roma.

Pater Pedro Arrupe meninggal dunia pada tanggal 5 Februari 1991.

PS: Diolah dari berbagai sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here