TIGA hari lalu saya mengalami kecelakaan kecil. Malam hari, ketika asyik mencari rumah saudara di daerah Pejaten, tiba-tiba lubang got menganga tanpa tutup, menghadang di pinggir jalan sempit itu. Tak ayal lagi, kaki kanan terperosok ke dalamnya. Selokan dangkal dan kering, namun cukup membuat terkejut dengan bereaksi menyeimbangkan badan ke sisi kanan.
Tembok kokoh yang diplester dengan semen kasar menjadi tumpuan. Sisi luar tangan kanan lecet memanjang, agak dalam, dengan darah mengalir. Tak seberapa parah, tapi memerlukan pertolongan pertama.
Sepuluh langkah dari TKP, ada warung jahit yang masih buka. Sang pemilik, seorang laki-laki setengah baya, duduk di belakang mesin jahitnya. Dia lagi bekerja.
“Permisi Mas, di mana ada klinik atau RS terdekat?”.
Si Mas tertegun sejenak. Tapi begitu melihat darah mengalir, reaksinya keluar dengan spontan. Ditutupnya rolling door dari luar, sambil menyambar kunci motor di atas meja kerjanya.
“Mari saya antar ke RS Siaga. Bapak bonceng saya, biar ibu menunggu di sini sebentar.”
Singkat cerita, saya melompat ke boncengan motor dan dipacunya menuju ke RS yang dimaksud. Dalam perjalanan, masih sempat saya menanyakan nama dan asalnya. “Maman, dari Tasik”. Tak berapa lama, kami sampai di depan pintu UGD.
“Silakan pak, saya akan menjemput ibu.”
Saya tak akan protes tentang got yang mengangga di pinggir jalan sempit tapi cukup ramai itu. Atau mengeluh tentang luka lecet dengan sedikit darah mengalir yang menghiasi sisi luar tangan kanan saya. Luka itu sudah dibersihkan dan diobati perawat dengan cepat dan rapi.
Saya ingin mengangkat kebaikan hati Kang Maman, yang sikap refleksnya keluar dalam bentuk menolong orang dengan sigap tanpa menghitung apa pun. Masih banyak orang baik di Jakarta. Masih banyak yang ringan tangan di Indonesia.
Yang lebih mengesankan, ketika kami baru menunjukkan gelagat untuk memberi sekedar balas jasa baginya, serta merta, dengan santun dia menolaknya. Yang terjadi malah dia memberikan nomer HP-nya untuk kami hubungi bila pengobatan sudah usai. Ketika kami hubungi dengan telepon untuk sekali lagi mengucapkan terima kasih, jawaban yang keluar datar saja, sambil mengirim doa dari jauh: “Cepat sembuh ya Pak.”
Dalam perjalanan pulang, ekspresi Kang Maman masih membayang di kepala kami. Tak usah kami, si penderita, meminta tolong kepadanya, tangannya langsung diulurkan. Drama setengah babak bertemu Kang Maman menyadarkan bahwa menolong dengan spontan, tanpa menghitung apa pun, adalah gambaran dari belas kasih yang tulus yang keluar dari dalam hatinya.
Sikap Kang Maman yang menolak balas jasa mengingatkan saya akan sebuah film drama bikinan tahun 2000 berjudul Pay It Forward.
Kisah dimulai di sebuah SD di kota Nevada, Las Vegas. Dalam mata pelajaran Studi Sosial, pak guru menugaskan para murid untuk memikirkan suatu konsep dan implementasinya bagaimana membuat dunia menjadi lebih baik.
Salah satu murid, Trevor Mc. Kinney, 11 tahun, menjawab tugas pak guru dengan suatu pemikiran yang dia sebut sebagai “Pay it Forward”. Bila seseorang menerima pertolongan dari orang lain, dia harus “membalasnya” dengan menyalurkan kepada minimal tiga orang lainnya yang membutuhkan pertolongan. “Pay it forward” is implemented in contract law of loans in the concept of third parties beneficiaries.
Selanjutnya, ketiga orang (lain) yang telah menerima pertolongan itu, meneruskan lagi kepada masing-masing 3 orang lain lagi. Begitu seterusnya hingga orang yang menerima kebaikan hati akan semakin banyak.
“Trevor’s law” menjadi terkenal di Amerika bahkan dunia, dengan berbagai manifestasinya. Meski tidak mudah dalam implementasi, tapi bila “hukum” itu terus menerus dikembangkan, niscaya mimpi Trevor akan menjadi kenyataan, yaitu “dunia yang lebih baik.”
Mungkin kang Maman belum pernah menonton Pay It Forward. Namun sikapnya yang penuh welas-asih dan tulus, “Hanya memberi tak harap kembali”, mempunyai spirit yang selaras dengan konsep Trevor. Dalam kerendahan hatinya, Kang Maman, seorang penjahit sederhana, seolah mengatakan “Tak usah kalian membalasnya, tebarkan kebaikan ini kepada mereka yang membutuhkan.”
@pmsusbandono
30 Mei 2018