AWAL bulan Mei ini, pengurus Unio mengajak pengurus Unio Indonesia untuk mengikuti OGF di Muntilan. Waktunya lima hari kerja. Pesertanya, wakil-wakil Unio dari seluruh Keuskupan Nusantara, kecuali Medan. Dananya diambil dari kas Unio Nasional dan iuran anggota dan bantuan keuskupan.
Kecuali dapat ilmu, dapat juga restitusi pengganti tiket, tas laptop, dan baju imam separo. Ada pula sumbangan payung dari Asuransi Wahana Tata. Uang restitusi jalan untuk peserta dari Subah terhitung paling kecil. Karena satu juta lima puluh ribu diilangi satu nolnya hingga ya lumayanlah buat beli bensin rute Muntilan – Alas Roban.
Nara sumber
Materi awal adalah studi bersama dengan masukan dari narasumber. Hadir tiga narasuber yakni Romo FX Adi Susanto SJ dari Komisi Katekese KWI, Romo Marno Darmasuwarno SJ dari Puskat Yogyakarta, dan Romo G. Notobudya Pr.
Berikut beberapa poin penting yang saya tangkap dari forum belajar bersama ini:
- Romo Adi, mengajak peserta mengingat lagi hakikat katekese dan peran imam. Juga disyeringkan beberapa pengalaman berkatekese;
- Romo Marno memberi tular cerita pengalamannya mendampingi para mahasiswa berlatih katekese di tengah umat. Romo ini juga berkisah tentang penekanan status katekis nantinya, sesudah lulus dari mahasiswa. Menjadi katekis jelas tidak akan kaya materi. Jika itu yang dicari, maka akan kecewa. Nah, aspek riil ini harus disadari para katekis. Tapi ada kekayaan lain non material yang diperoleh dari profesi katekis. Maka, menjadi tugas para imam untuk membesarkan hati dan semangat para katekisnya. Terlebih memperhatikan kehidupannya. Dan tidak boleh dilupakan pula, para imam adalah para katekis yang utama.
- Perintah paling agung dari Tuhan Yesus pada para muridnya adalah “Pergilah ke semua bangsa, babtislah mereka atas Nama Bapa, Putera dan Roh Kudu”.
Inilah yang ditekankan dan disyeringkan Romo Notobudya Pr. Perintah utama dan dasariah ini yang dilaksanakan olehnya. Maka di Semarang, lalu di Kumetiran dan sekarang di Paroki Kidul Loji sekarang diselenggarakan kegiatan evangelisasi. Banyak umat aktif terlibat di dalam kegiatan ini. Mereka menjadi pewarta-pewarta sungguhan. Gerakan ini melebar ke mana-mana. Belakangan ke Kalimantan juga. Patut diapresiasi dan ditiru. Usia tujuh puluh, tapi masih semangat dan segar menjadi pewarta Kabar Gembira.
Studi lapangan
Para peserta lalu diajak melakukan studi lapangan. Yang kami kunjungi adalah Paroki Sumber. Di situ ada banyak peristiwa dialog budaya dan dialog kehidupan. Ditampilkan di sana angguk, reog, kotekan, karawitan anak-anak, gasir-kentir, slawatan. Mayoritas senimannya bahkan muslim, namun bersaudara dekat dengan umat Gereja katolik. Menarik pula, ada gerakan cinta air yang dipelopori Romo Kirjito Pr hingga kemudian meraiah Maarif Award.
Kemudian kami juga mengunjungi Paroki Somohitan di Turi. Sebuah paroki yang kerap dikunjungi tamu internasional, karena kerjasama lintas-agama yang harmonis. Ini terjadi berkat kreativitas imamnya dalam berpastoral, berkatekese, dan berwartagembira.
Satu rangkaian acara lainnya adalah mengunjungi Studio Audio Visual Puskat. Dipaparkan oleh Romo Iswarahadi SJ, bahwa era gereja sekarang tak bisa dilepaskan dengan dunia digital. Maka Gereja bisa memakai teknologi itu dalam hal melakukan katekese Warta Gembira. Diceritakan pula proses pembuatan film layar lebar Soegija hasil kolaborasi antara sutradara Garin Nugroho bersama Puskat Yogyakarta. Tentu saja disertai ajakan untuk ikut menonton Soegija mulai tanggal 7 Juni 2012 ini.
Dalam salah satu butir pertanyaan refleksi, pemandu memberi pertanyaan kurang lebih berbunyi demikian: Apa yang menghentakkan, mengagetkan dalam paparan-paparan di acara OGF ini ?
Bagi kami para peserta, yang menghentakkan dan agak mengharukan adalah kisah seorang imam yang memperhatikan nasib dan hidup para katekisnya. Caranya dengan member separo dari stipendium babtisan kepada katekisnya.
Aksi “berbagi” ini dilakukan karena ketika melayani pembabtisan di Simbang dan ada babtisan baru memberi stipendium, muncul di batin imam itu pertanyaan: “Yang mengajar katekis, kok yang dapat stipendium kok malah saya?”
Nah, bagaimana kita seharusnya mengharga karya para katekis?
Tadi malam, seorang katekis mampir ke pasturan. Ada payung baru tergolek di dinding, dia tanya, “Ini payung dari mana romo?”, tanya dia.
Maka sang pastur pun punya jawaban: :Itu oleh-oleh dari pertemuan UNIO di Muntilan, kamu mau payung? Bawa saja,” kata sang pastur.
“Mau…. mau, ..,” jawab sang katekis dengan hati berbunga. Ia pun pulang dengan hati riang.
Selamat menghayati jadi katekis. Selamat pula memperhatikan katekis.
Photo credit: KBKK Indonesia, Penerbit Kanisius (ilustrasi)