Pedagogi Ignatian vs Pedagogi Brotowali (1)

3
2,660 views

SEORANG pasangan suami istri yang saya kenal akhir pekan lalu (Sabtu 9/7) begitu kaget ketika diberitahu anaknya bahwa sang anak harus mempersiapkan brotowali (tumbuhan yang terkenal dengan rasa pahitnya), beras kencur, rompi karung goni, tas karung terigu dan topi dari bola plastik untuk persiapan hari pertama masuk SMA di sebuah SMA Katolik favorit di Jawa Tengah.

 

Tradisi

Maklum saja  kalau kaget, karena bapak ibu ini tidak menyangka bahwa SMA Katolik ternama dan unggulan di Jawa Tengah ini masih mewajibkan siswa baru untuk membawa atribut-atribut yang identik dengan perploncoan.  Ketika pendidikan sudah semakin maju sekaligus kompleks, menurut mereka nampak konyol bila siswa-siswi baru harus berpakaian rompi karung goni, topi bola plastik dan membawa tas karung terigu. Mereka lebih terkejut lagi ketika diberitahu orang tua murid lain bahwa barang bawaan seperti itu sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun.

Paradigma Pendidikan

Memang dalam era pendidikan partisipatif dan dialogis, cara-cara ketinggalan jaman seperti atribut dan ornamen-ornamen aneh sudah tidak punya makna selain menjadi sarana olok-olok, intimidatif, dan tidak punya daya edukatif. Bapak ibu tadi tidak habis pikir, konsep pendidikan macam apa sebenarnya yang mau diusung SMA Katolik ini ketika di hari pertama masuk sekolah justru membiarkan anak-anak masuk dalam “panggung olok-olok” yang intimidatif di sekolah dengan mewajibkan mereka bertopi bola plastik, berompi karung goni dan membawa tas karung terigu?

Apakah Sekolah Katolik masih relevan melakukan masa orientasi yang semacam ini? Bagaimanakah Pedagogi Ignasian memandang Masa Orientasi Siswa?

Azas dan Dasar – Pedagogi Ignatian

Dalam konteks Pendidikan/Pedagogi Ignasian, Masa Orientasi Siswa  memiliki ide dasar sebagai sebuah proses inisiasi untuk masuk ke dalam dinamika pembelajaran dalam konteks Pendidikan Ignasian secara integral. Masa orientasi ini kalau ditempatkan dalam perspektif dinamika Latihan Rohani Santo Ignatius merupakan dinamika “Azas dan Dasar” (Latihan Rohani no.23), yang mengajak peserta didik untuk memahami dan menginternalisasi tujuan dan nilai dasar proses pendidikan di sebuah sekolah Katolik atau Kolese Jesuit.

…Masa orientasi ini kalau ditempatkan dalam perspektif dinamika Latihan Rohani Santo Ignatius merupakan dinamika “Azas dan Dasar” (Latihan Rohani no.23), yang mengajak peserta didik untuk memahami dan menginternalisasi tujuan dan nilai dasar proses pendidikan..

Empat Aspek

Masa Orientasi Siswa merupakan sarana agar peserta didik dapat dikenalkan pada visi, sistem nilai, keutamaan, dan kebiasaan yang berlaku di Kolese Jesuit atau sekolah Katolik yang menerapkan Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR). Tentunya sejalan dengan semangat dan dinamika Latihan Rohani, proses inisiasi ini mencakup aspek kognitif (dikenalkan lalu mengetahui), aspek afektif (dikenalkan lalu berempati/merasa), aspek konatif (dikenalkan lalu tergerak berbuat sesuatu), dan aspek spiritual (dikenalkan dan membangun hubungan dengan Sang Pencipta). Masa Orientasi Kolese Jesuit dan sekolah Katolik yang menerapkan Paradigma Pedagogi Reflektif seharusnya menjadi sangat khas dibandingkan sekolah katolik lainnya apalagi dengan sekolah umum. Mengapa demikian? Kekhasan ini terletak bahwa masa orientasi di Kolese Jesuit dan sekolah dengan PPR haruslah selalu bersumber pada Latihan Rohani sebagai daya penggerak hidup dan nilai dasar kehidupan pembelajaran di kolese.

(bersambung)

 

3 COMMENTS

  1. Adakah yang bis amemberi penjelasan, kapan pertama kali munculnya istilah pedagogi reflektif? Apakah bersamaan waktunya dengan istilah pedagogi Ignasian? Dokumen/referensi apa yang bisa dibaca? Saya merasa bahwa pedagogi reflektif munculnya akhir-akhir ini saja setidaknya satu dekade, sedangkan pedagogi ignasian sekitar abad 15. Tetapi munculnya pedagogi reflektif seakan-akan sekarang menjamur seiring dengan maraknya pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Menurut saya pedagogi reflektif tidak sama dengan pedagogi ignasian, karena sekolah-sekolah sekulerpun menerapkan pedagogi reflektif. Konon karena pedagogi ignasian menekankan refleksi maka dianalogikanlah dengan pedagogi reflektif, tetapi di pedagogi yang dikenal luaspun dikenal refleksi. Pedagogi Ignasian tidak hanya reflektif saja tetapi bagaimana (sesuai spirit ignasius) pembelajaran harus selalu membawa kepada kekaguman akan Allah, membawa peserta didik pada jalan Allah.

  2. sepanjang yang saya pahami, refleksi di PPR dibandingkan dengan pedagogi lain meiliki perbedaan. Karena PPR berlandaskan latihan rohani, maka tahap refleksi harus dilakukan dengan disiplin, teratur dan berkesinambungan. Ketiga hal ini terkait dengan personalisasi pembelajaran di PPR bagi individu melalui tahapan simultan pengalaman-refleksi-aksi. Hal inilah yang membedakan dengan tahap refleksi yang dilakukan pada pedagogi lain.

    Refleksi di PPR diharapkan berbuah pada AKSI…hal ini juga yang membedakan dengan pedagogi lain dan yang paling special tentunya melalui pengalaman-refleksi-aksi inilah akan terbentuk integrasi competence, conscience dan compassion

    Menganai adanya anggapan bahwa pedagogi Ignatian dan pedagogi reflektif berbeda, menurut saya penterjemahan menjadi pedagogi reflektif merupakan upaya supaya PI bisa diterima dengan universal, karena dalam PI Appriach pun dikatakan bahwa PI walau berlandasakan suatu keyakinan tertentu namun sifatnya adalah universal

    Demikian info yang saya tahu..semoga bermanfaat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here