PEDAGOGI Ignasian atau Paradigma Pendidikan Reflektif selalu berakar pada Dinamika Latihan Rohani Santo Ignatius Loyola. Dalam tradisi banyak kolese di berbagai negara, dan juga sekolah yang menerapkan PPR, dinamika Latihan Rohani ini sangatlah perlu dipahami oleh para administrator, guru, karyawan dan para siswa-siswi. Pengenalan Spiritualitas Ignatian ini merupakan hal fundamental dalam dinamika sebuah kolese atau sekolah dengan PPR karena dari situlah pandangan Ignatius tentang manusia dan dunia bisa dipahami. Pandangan Ignatius Loyola yang memandang pribadi manusia dan dunia sebagai sesuatu yang positif menjadi titik tolak bagaimana pendidikan orang muda itu bisa dikembangkan. Secara khusus di dalam Latihan Rohani, Ignatius Loyola menyebutkan panggilan manusia yang terdalam (Latihan Rohani no. 23) yaitu memuji dan memuliakan Allah dan terbebas dari jerat ambisi dan materi. Dari sini, Ignatius selalu berbicara soal bagaimana seseorang bisa memahami nilai-nilai yang ditawarkan Allah, dan untuk mengenali hal itu seseorang dilatih untuk bisa membedakan mana yang baik dan buruk, atau mana yang lebih baik dari banyak hal yang baik. Dalam Spiritualitas Ignatian hal ini dikenal dengan Spiritual Discernment dan Discretio.
Konsep MOS yang Ignatian?
Dalam konsep Pedagogi Ignasian pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS) dapatlah dibagi dalam dua sistem, yaitu sistem kelas dan sistem luar kelas. Sistem kelas merupakan sebuah proses inisiasi dan internalisasi nilai dengan metode pengajaran kelas, dan dinamika kelompok. Dalam sistem ini, fasilitator mengupas konsep pendidikan ignasian kepada peserta didik secara interaktif. Tentu selain pemahaman kognitif, sistem ini mau mengajak peserta didik untuk menggali nilai-nilai pendidikan ignasian di dalam dinamika kelompok, lewat diskusi dan dialog di dalam kelas. Sistem luar kelas memiliki nilai inheren yang pararel dengan semangat Latihan Rohani Santo Ignatius, yaitu menggerakkan tiga daya jiwa: ingatan/memori, kesadaran/pengetahuan dan kehendak. Artinya, internalisasi nilai secara kognitif (kesadaran/pengetahuan) yang dicapai dalam sistem pertama mau diintegrasikan dengan daya jiwa yang lain yaitu ingatan dan kehendak. Maka pada sistem ini sebenarnya dinamika kelompok dan problem-solving activities menjadi lebih mendominasi. Peserta didik diajak untuk melatihkan semangat dan keutamaan ignasian dalam kegiatan atau tugas yang diberikan. Mereka dilatih untuk berdialog, bekerja sama, merencanakan sesuatu, berdiskusi, berdiskresi, mengatur tindakan bersama, dan berefleksi atau mengevaluasi.
Natural dan Tanpa Tekanan
Proses ini perlu untuk dilangsungkan dalam suasana yang “bebas”, tanpa tekanan, sehingga orang dapat berinteraksi secara lebih otentik. Yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah bahwa orang harus diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri, bukan dirinya yang ketakutan, dan terintimidasi. Maka peran fasilitator di sini menjadi sentral agar bisa memberi arahan yang dibutuhkan masing-masing pribadi agar dapat terlibat secara maksimal secara natural, bukan keterlibatan yang didorong oleh rasa takut, keseragaman dan apalagi karena adanya sanksi/hukuman. Fasilitator ini sebenarnya adalah pemberi inspirasi, semangat dan sekaligus pendamping lapangan. Tim ini berkewajiban mendampingi agar semua kelompok dalam melakukan kegiatannya harus berpegang pada semangat ignasian. Mereka diharapkan dapat melecutkan semangat, memercikan inspirasi kepada peserta didik. Proses ini sangatlah jauh dari nuansa olok-olok, dominasi, intimidasi, dan ketidaksewenang-wenangan dari senior atau fasilitator.
Refleksi itu Penting
Proses orientasi yang demikian ini tentunya tidak melupakan dinamika refleksi yang sewajarnya mendapat bagian yang penting. Mengapa penting? Jawabannya terletak pada semangat dasar Latihan Rohani, dimana setiap kegiatan harus dilengkapi dengan refleksi di akhir kegiatan. Santo Ignatius dalam catatan-catatan di Latihan Rohani selalu mengingatkan bahwa refleksi itu adalah bagian vital dari setiap kegiatan Latihan Rohani yang esensinya adalah aksi-refleksi. Dalam konteks ini, peserta didik harus didampingi oleh tim yang bertugas menggerakkan kelompok agar memiliki kemampuan dan kedalaman refleksi. Tim ini perlu memiliki ketrampilan berkomunikasi dan berdialog dengan peserta didik sehingga tercipta sebuah iklim yang kondusif untuk sebuah kejernihan kedalaman refleksi.
Lantas apakah itu “Pedagogi Brotowali” sebagaimana terjadi di sekolah katolik dan bahkan kolese atau sekolah yang menerapkan Paradigma Pedagogi Ignasian? Simak artikel berikutnya.
(bersambung)