Pekan Suci: Mengapa Patung Dikrukubi

0
158 views
Ilustrasi.

APA itu “krukubi”?

Tahu maknanya, belum tentu bisa menjelaskannya.

Kira-kira, “krukubi” berarti menyelimuti, menutupi, melindungi sesuatu, biasanya dengan kain.

Tadi sore, saya menghadiri “Upacara Jumat Agung” di gereja Santo Matius Bintaro.

Jangankan naik mobil, jalan kaki pun sulit beringsut maju. Gereja dipenuhi oleh umat yang seolah mengalami euforia, setelah beberapa waktu terkena pandemi.

Gedung Gereja yang berkapasitas 1.000 orang, kali ini “mbludag” sampai ke pagar halaman luar. Mungkin sekira 4.500 umat yang hadir di saat terik matahari seakan membakar bumi Bintaro.

Upacara-upacara suci diadakan sejak hari Minggu lalu. Gereja Katolik menamakan sebagai Pekan Suci.

Banyak sahabat non-Kristiani yang ikut mengucapkan “Selamat” melalui media sosial. Rasanya “mak-nyes”.

Itulah yang disebut persahabatan, pertemanan, toleransi atau istilah apa pun yang bisa dipakai sebagai tanda keikut-sertaan berbagi bahagia di Hari Raya.

“Pekan Suci” dimulai sejak Minggu Palem, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Malam Paskah dan Minggu Paskah. Sabtu Paskah juga disebut “Sabtu Vigili”. Artinya “berjaga-jaga atau bersiap-siap”.

Selain upacara dilangsungkan DUA kali lebih lama, ada satu hal yang membedakan “Pekan Suci” dengan hari-hari biasa.

Selama itu, patung-patung dan salib di dalam gereja dikrukubi kain berwarna tertentu.

Dimulai dengan penutup berwarna merah di Minggu Palem, warna putih di Kamis Putih dan kembali merah di Jumat Agung sampai Malam Paskah. Gereja Katolik mengirim pesan dengan simbol warna-warna tertentu.

Merah bernada sukacita dan putih menandakan pertobatan dan keprihatinan. Semua disesuaikan dengan tema upacara.

Ngrukubi” patung dan salib sudah menjadi tradisi Gereja Katolik sejak dulu kala. Ketika saya kecil, “krukuban” menjadi kenangan tersendiri.

Sesuatu yang lain, selalu mengundang daya tarik tersendiri. Rasa gembira kemudian muncul saat kain-kain penutup itu dibuka saat upacara Malam Paskah. Tanda bahwa Kristus telah bangkit dari kematian.

Tapi, mengapa patung dan salib itu harus “dikrukubi”?

Tradisi Gereja mengajak umatnya untuk lebih sensitif membangun kerinduan akan makna Paskah.

Krukuban” seakan “mencolek” umat tentang masa istimewa selama “Pekan Suci”.

Patung dan salib yang dikrukubi sebagai simbol bahwa Gereja Katolik sedang “menunggu” peringatan kebangkitan Kristus dari wafatnya di Salib. Sekaligus pesan pertobatan yang menjadi prasyarat untuk ikut menikmati Kejayaan Sang Putera.

Penutupan patung tidak hanya dilakukan orang pada “Pekan Suci” saja.

Peristiwa mirip terjadi dengan patung Yesus Kristus di kota Rio de Janeiro. Patung ikonik Kristus Penebus (Christ the Redeemer) yang dianggap tertinggi di dunia (30.38 meter) dan kebetulan berada di negara mayoritas Katolik itu pernah pula dikrukubi, awal tahun ini.

Pesannya senada.

Masyarakat Rio de Janeiro dan Brasil sedang prihatin dengan gempa bumi dahsyat di Turki dan Suriah. Mereka menghormati 45 ribu korban gempa dengan “ngrukubi” patung Sang Kristus dengan bendera Turki dan Suriah.

Pesan simpatik ditorehkan di sana, tepat di bawah kaki patung Sang Kristus.

“Pray for Turkey & Syria”.

Lain Brasil, lain Bali.

Dengan tujuan yang sedikit berbeda, patung, pohon dan pura di Bali biasa ditutup sebagian dengan kain kotak-kotak warna hitam-putih. Corak yang unik ini, biasa disebut “kain poleng”.

Kain poleng dimaknai sebagai keselarasan dengan ajaran Tri Murti yakni putih yang melambangkan Dewa Siwa sebagai pelebur dan hitam melambangkan Dewa Wisnu sebagai pemelihara.

Keduanya dapat diartikan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan agar hidup damai dan harmonis terutama menjaga keseimbangan dengan alamnya.

Pengkrukuban patung atau apa pun seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik, kota Rio de Janeiro dan masyarakat Bali mempunyai pesan yang serupa. Pesan kemanusiaan, keprihatinan dan pertobatan sambil bersujud menundukkan diri menyembah Sang Khalik.

Mungkin harus dikecualikan satu pengkrukuban patung Bunda Maria di Kulon Progo, Yogyakarta, kira-kira sebulan sebelum “Pekan Suci”.

Kali itu bukan pesan kemanusiaan. Lebih banyak disebabkan “si pemilik” patung ketakutan karena seminggu sebelumnya didatangi oleh mereka yang menghendaki patung itu dibongkar.

“Selamat Paskah 2023”.

@pmsusbandono
Jumat Agung, 7 April 2023

Baca juga: Membangun Perdamaian Dunia, Belajar dari Sekolah Hand in Hand

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here