Renungan Harian
21 Februari 2021
Minggu Prapaskah I
Bacaan I: Kej. 9: 8-15
Bacaan II: 1Ptr. 3: 18-22
Injil: Mrk. 1: 12-15
DULU waktu masih SMP, saya menderita sakit hepatitis. Dampak sakit itu, saya tidak boleh makan yang mengandung minyak, sehingga semua makanan direbus atau dibakar.
Saya tidak boleh kecapekan dan banyak lagi aturan yang dibuat sehingga membuat semua menjadi terbatas.
Sebelum sakit, saya sudah mendapatkan pembatasan untuk makanan dan buah-buah tertentu, sekarang dengan sakit ini membuat semakin banyak hal yang dibatasi.
Sementara saya dibatasi dengan banyak hal, tidak demikian dengan adik-adik. Mereka lebih bebas untuk bergerak dan makan makanan maupun buah-buahan.
Situasi itu membuat saya sering kali protes dan marah ke orang tua; mengapa mereka boleh sedang saya tidak boleh.
Bapak, ibu selalu berjuang untuk menghibur saya, misalkan adik-adik makan nasi goreng atau sesuatu yang digoreng. Maka, ibu akan menyodorkan makanan itu untuk dicium saja.
Menurut ibu, itu cukup gak perlu makan itu dan saya mendapatkan makanan yang lain.
Belum lagi melihat teman-teman main bola sambil hujan-hujanan, betapa menyenangkan seandainya bisa bergabung.
Pernah suatu ketika, saya mencuri-curi ikut main bola sambil hujan-hujanan, ibu menjadi marah dan panik sehingga harus repot melakukan berbagai macam hal untuk membuat saya menjadi sehat.
Saya ingat nasehat bapak yang selalu diulang-ulang, ketika saya protes dengan keadaan saya.
“Mas, pembatasan ini hanya sementara, nanti kalau sudah sehat Mas Iwan boleh makan apa saja dan boleh olah raga dan hujan-hujanan. Mau seharian olahraga dan hujan-hujanan juga boleh. Apa yang sekarang ada diterima dan dijalani dengan ikhlas tidak boleh menggerutu.
Itulah hidup, ada kalanya menderita luar biasa, tidak bisa ini tidak bisa itu semua akan bertanya sampai kapan? Tidak ada yang tahu sampai kapan, yang penting dijalani dengan ikhlas tidak boleh menggerutu saatnya pasti tiba bahwa semua itu berubah.
Tuhan tidak pernah memberi beban yang lebih dari kekuatan dan kesanggupan kita untuk memikulnya.”
Saya tidak ingat persis apakah pada waktu itu nasihat itu membuat saya lebih tenang atau tidak.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Kejadian, Allah berjanji bahwa Ia tidak akan menghukum dengan memusnahkan manusia lagi.
Di balik petaka pada zaman Nuh, Allah justru memperbaharui ciptaan-Nya dan ciptaan baru itu dijaga dan dipelihara oleh Allah dijamin kelangsungan dan kesejahteraannya.
“Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan, maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah Kuadakan dengan kamu dan dengan segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup.”
Bagaimana dengan aku?
Bagaimana aku menghadapi derita dalam hidupku?