“Copotlah keadilan, maka negara tidak lebih daripada gerombolan perampok.” Santo Agustinus (354-430)
REFLEKSI Santo Agustinus tersebut, kini telah berusia 1.595 tahun lamanya, dan sungguh mencerahkan kita hingga hari ini. Isu keadilan senantiasa menjadi tema sentral dalam penegakan hukum.
“Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu,” demikian slogan Bawaslu.
Hal yang sama dapat kita ilustrasikan, “Copotlah keadilan, maka Bawaslu tidak lebih daripada gerombolan perampok.”
Komitmen Bawaslu dan peran pentingnya
Dengan demikian, Bawaslu memiliki komitmen yang sama, yakni keadilan adalah keutamaan yang harus diperjuangkan oleh segenap pengawas pemilu.
Bawaslu memiliki peran strategis dalam hal penegakan Hukum Pemilu. Sebagai pengawas pemilu, Bawaslu memiliki fungsi pencegahan dan penindakan terhadap seluruh pelanggaran pemilu.
Dalam konteks Hukum Pemilu merujuk pada UU Pemilu, Bawaslu berperan sebagai penegak Hukum Pemilu. Bawaslu dapat menyelesaikan perkara tindak pidana pemilu, pelanggaran administratif pemilu dan sengketa proses pemilu.
Pengawas pemilu
Dalam perspektif ilmu hukum, pengawas pemilu mesti memiliki kompetensi dalam bidang Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara. Karena itu, peran Bawaslu dalam penegakan Hukum Pemilu ini sungguh penting dan menjadi harapan besar bagi terwujudnya keadilan pemilu di republik Indonesia.
Pada kesempatan ini, saya ingin fokus mengulas perihal hukum pidana pemilu. Buku karya Topo Santoso dan Hariman Satria bertajuk Hukum Pidana Pemilu menarik dan perlu untuk dibagikan kepada sidang pembaca. Bahasan buku ini dapat menjadi diskursus publik demi terciptanya pemilu yang luber dan jurdil.
Menurut Santoso dan Satria, Hukum Pidana pemilu itu bertemu antara Hukum Pemilu (meliputi seluruh aspek hukum tata negara serta Hukum Administrasi Negara) dan Hukum Pidana.
Hukum Pemilu + Hukum Pidana = Hukum Pidana Pemilu
Tindak pidana pemilu adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan dalam tahapan penyelenggaran pemilu yang diancam dengan sanksi pidana dalam UU Pemilu. Ada sebanyak 77 tindak pidana pemilu yang diatur dalam 66 pasal ketentuan pidana di UU Pemilu.
Subjek Hukum Tindak Pidana Pemilu ada beberapa macam, yakni setiap orang, penyelenggara pemilu, pelaksana kampanye pemilu, peserta kampanye pemilu, peserta pemilu, calon presiden dan wakil presiden serta pimpinan partai politik.
Sanksi tindak pidana pemilu
Sanksi pidana yang diancamkan bagi pelaku tindak pidana pemilu ada beberapa macam, yaitu:
- Pidana penjara.
- Pidana kurungan.
- Pidana denda.
Sanksi pidana penjara dan denda diancamkan secara kumulatif. Tidak dinyatakan secara tegas tindak pidana mana yang termasuk jenis kejahatan dan mana yang kategori pelanggaran.
Dalam segi perspektif unsur kesalahan, kita dapat melihat tindak pidana pemilu ada yang unsur kesalahannya berupa dengan sengaja (dolus) dan ada pula unsur kesalahannya adalah kealpaan (culpa), serta sebagian ada unsur sengaja dan kealpaan sekaligus (proparte dolus proparte culpa).
Hukum Pidana Pemilu
Hukum Pidana Pemilu mencakup hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Dalam konteks hukum pidana materiil dikenal Trias Hukum Pidana, yakni perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana.
Sumber utama Hukum Pidana Pemilu materiil adalah ketentuan pidana dalam UU Pemilu dan KUHP untuk merujuk perbuatan pidana percobaan, penyertaan, gabungan dan dasar penghapus pidana.
Peraturan Gakkumdu
Selanjutnya, Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana pemilu diatur dalam Peraturan Gakkumdu.
Gakkumdu sebagai pusat aktivitas penegakan Hukum Pidana Pemilu. Gakkumdu terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Hukum Acara Pidana Pemilu mengatur tentang pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang di pengadilan, putusan dan upaya hukum.
Saat ini UU Pemilu menginjak usia sembilan tahun, kini juga masuk dalam program prioritas legislatif nasional. Menimbang segala problematika dan kritik publik tentang penegakan Hukum Pidana Pemilu selama ini.
Pembuat Undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah, perlu memikirkan secara serius kajian akademik perihal Hukum Pidana Pemilu.
Dalam pembuatan Undang-undang perlu dibuat naskah akademik komprehensif. Dengan demikian, seluruh pemangku kepentingan dalam hal ini Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan perlu terlibat secara aktif merumuskan Hukum Pidana Pemilu yang paling ideal dalam RUU Pemilu.
Secara konseptual, Hukum Pidana Pemilu dapat dilihat dalam perspektif Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana.
Pembuat UU, dalam merumuskan seluruh pasal pidana pemilu mesti melibatkan para pakar hukum HTN/HAN dan pakar Hukum Pidana. Sehingga perspektif pasal-pasal dalam RUU Pemilu nanti tidak tercerabut dari kedua perspektif disiplin ilmu tersebut.
Kepastian hukum dan keadilan pemilu semestinya terefleksi dalam pasal-pasal RUU Pemilu. Jika hal ini tidak dibahas secara komprehensif, maka kompleksitas persolaan Hukum Pidana Pemilu tidak dapat diselesaikan oleh para pemangku kepentingan, khususnya Bawaslu sebagai leading sector dalam penegakkan Hukum Pidana Pemilu.
Selanjutnya, dalam konteks pelaksanaan terkait durasi waktu penanganan perkara pidana pemilu harus ada pemahaman baru. Durasi waktu yang pendek kerap kali membuat penanganan perkara pidana pemilu menjadi daluwarsa.
Pengalaman empiris Bawaslu DKI Jakarta pemilu 2024 lalu, ada dua perkara pidana pemilu, bahkan pelakunya sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapi tidak dapat disidangkan di pengadilan.
Dinamika Gakkumdu sering kali berjalan secara pelik. Tiga institusi raksasa dalam Gakkumdu tidak membuat kinerja menjadi mudah. Secara empiris menyamakan persepsi dalam Gakkumdu justru menghabiskan energi dan waktu. Durasi waktu pendek membuat perdebatan penanganan perkara di Gakkumdu menjadi tidak cukup, akhirnya perkara terpaksa menjadi daluwarsa.
Slogan “Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu” mesti menjadi fundamen sekaligus lentera dalam penyusunan RUU Pemilu.
- Demokrasi Indonesia sudah selayaknya dibuat menjadi mapan.
- Penyelenggara pemilu hendaknya diperkuat, bukan justru dikerdilkan, apalagi dibuat secara ad hoc.
- Demokrasi yang jurdil dan keadilan pemilu harus mendominasi pemikiran dan hati para pembahas RUU Pemilu di Senayan. Jangan sampai demokrasi Indonesia hanya menjadi formalitas utopis.
Pelaksanaan empat kali pemilu sejak 2004, sebuah pengalaman yang cukup untuk membuat kita melenting menuju demokrasi yang lebih substantif dan berkeadilan.
Akhir kata, ide keadilan pemilu mesti menjadi fundamen RUU Pemilu. Jika ide keadilan pemilu sirna, maka pemilu hanya akan melahirkan para bandit demokrasi.
PS: Anggota Bawaslu DKI Jakarta, peserta Extension Course Filsafat STF Driyarkara Jakarta