PADA bulan Oktober 2023 ini, saya diminta mengantar teman pergi melakuan ziarah ke Gua Maria Mawar Musuk. Lokasinya sekitar 10 km dari pusat kota Boyolali, Jawa Tengah.
Akses jalan baik
Jalan menuju lokasi Gua Maria Mawar Musuk ini boleh dibilang relatif cukup baik. Ada petunjuk arah menuju ke Musuk, dan kemudian juga ke arah Gua Maria tersebut.
Soal nama
Baru kemudian saya ketahui bahwa kenapa diberi nama Gua Maria Mawar Musuk. Karena di situ memang banyak tanaman pohon mawar; bahkan tersedia berbagai produk dari mawar seperti teh mawar, air mawar, sirup mawar, dan sebagainya.
Gua Maria itu berada di dukuh Munggur.
Ketika memasuki dusun ini, dapat terlihat gerbang berupa candi bentar. Jalan dibuat searah, bisa langsung menuju ke kawasan Gua Maria, yang agak turun ke bawah, relatif cukup jauh dari kompleks pemukiman warga.
Menjelang masuk ke pelataran parkir, terdapat sebuah patung Maria, di sebelah kiri, dan ada sebuah pelinggih padmasana di sebelah kanan.
Sesuatu yang tidak lazim, bukan? Tidak jauh dari patung Maria itu terdapat beberapa kran yang disediakan bagi pengunjung, dengan tulisan “Tirta Suci”.
Di lingkungan tempat parkir sudah tersedia toilet maupun fasilitas lain.
Dari pelataran parkir kita bisa langsung menuju ke bagian atas tempat doa, di mana juga terdapat Gua Maria dan altar. Kita juga bisa turun ke lantai bawah. Konon, Gua Maria awalnya ada di bagian bawah ini.
Yang mengejutkan adalah bahwa tidak jauh dari lantai bawah ini terdapat sebuah pelinggih padmasana dengan pagar. dan tampak bahwa padmasana ini aktif digunakan, karena masih ada bekas dupa yang relatif baru.
Gua Maria berdampingan dengan pura Hindu
Dari padmasana itu ada jalan naik ke atas yang rupanya sebenarnya merupakan jalan masuk ke kawasan Gua Maria. Namun, jalan ini terbagi dua. Satu cabang menuju ke Gua Maria dan satu lainnya menuju ke pelinggih padmasana tersebut.
Jalan yang menuju ke padmasana juga terbagi dua. Satu langsung ke pelinggih. Satu lagi ke lembah di bawah sana yang rupanya pelataran untuk umat Hindu melakukan upacara muspa, serta petirtan.
Saya tidak turun ke bawah, karena cukup curam. Namun saya lihat ada sebuah pipa air dengan pompa dari petirtan ke kran ‘Tirta Suci’ di belakang patung Maria di tempat parkir itu.
Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya: bagaimana bisa ada sebuah Gua Maria persis berdampingan dengan sebuah kompleks pura?
Pertanyaan yang pertama muncul adalah mana yang lebih dulu ada di situ. Saya pun pergi ke atas, di mana terdapat beberapa warung. Saya mendatangi salah satu penjaga warung, seorang nenek yang tampak sudah cukup lanjut.
Kami pun lalu berbincang. Kemudian ia memberi keterangan bahwa di lingkungan itu memang terdapat sejumlah umat Hindu. Total ada 14 KK. Mereka tinggal di atas yang nanti akan kami lewati kalau pulang.
Ibu pemilik warung itu sendiri menyatakan diri beragama Hindu. Dan memang ketika pulang lewat jalan searah, kami temukan sebuah pura, serta beberapa rumah penduduk beragama Hindu. Seperti yang tampak pada pelinggih di depan rumah-rumah mereka.
Nenek itu juga bercerita bahwa ketika beliau masih kecil, gua Maria itu sudah ada, dan digunakan oleh umat Katolik. Kelak, baru kemudian dibangun pura di samping Gua Maria itu, dan menggunakan petirtan yang sama.
Menjelang pulang, kami mampir ke toko yang menyediakan berbagai keperluan peziarah, seperti botol plastik untuk wadah air suci, salib, patung, lilin, dan sebagainya. Juga tersedia berbagai produk mawar maupun sejumlah snack.
Dari bangunannya, tampak toko sekaligus rumah ini relatif baru. Mungkin dulu ia tinggal di kompleks pemukiman di atas dan melihat peluang untuk membuka toko di situ. Pemilik warung ini beragama Hindu, itulah sebabnya di depan warungnya terdapat sebuah padmasanan.
Mungkin sebenarnya masyarakat kita ini bisa hidup rukun dengan nyaman dalam keberbedaan, asal tidak diganggu oleh para pengacau.