Renungan Harian
16 Agustus 2021
Bacaan I: Hak. 2: 11-19
Injil: Mat. 19: 16-22
“ROMO, sejak pandemi covid 19 tahun lalu, keluarga kami menjadi resah dan tidak tentram bahkan kami terasa terancam.
Romo, semua itu bukan karena virus covid atau pandeminya, tetapi semua itu karena anak laki-laki saya.
Selama ini, anak saya ini kuliah di kota lain dan sepengetahuan kami dia baik-baik saja. Dilihat dari hasil studinya amat bagus; di kampus dia aktif di kegiatan Keluarga Mahasiswa Katolik dan bahkan juga dia aktif di paroki di kota itu.
Melihat itu semua kami senang, dan kami merasa bahwa anak kami baik-baik saja, sehingga kami tidak lagi memantau dia.
Saat pandemi mulai semakin parah, kuliah anak kami dilakukan dari rumah, maka dia saya panggil pulang. Pertimbangan kami sederhana, daripada dia hidup di kos lebih baik tinggal di rumah, toh, bisa kuliah dari rumah.
Baru dua hari di rumah dia mulai membuat kami resah. Ia mengumpulkan kami semua yang ada di rumah, dan dia mulai menjelaskan bahwa agama Katolik itu sesat.
Semua hal yang kami Imani dan ajarkan kepadanya semua itu salah karena menyesatkan. Maka semua orang rumah harus meninggalkan agama Katolik dan ikut agama atau aliran yang dia ikuti.
Ia tidak mau mendengar apa pun yang kami katakan. Semua harus menuruti kemauan dia. Kalau tidak mengikuti dia, kami diancam akan dibunuh.
Menurut dia, lebih baik kami semua dibunuh daripada kami tersesat.
Semua gambar kudus, dan patung-patung orang kudus termasuk salib dihancurkan dan dibakar. Kitab suci dan buku-buku doa maupun buku-buku lagu tidak ada yang terlewatkan dari api.
Setiap kali kami berdoa, pasti dia marah-marah.
Sekarang ini, ia kemana-mana bawa parang untuk mengawasi kami.
Romo, kami tertekan sekali. Bagi dia pilihannya kami yang mati dibunuh oleh dia karena tidak mengikuti dia atau dia sendiri akan bunuh diri.
Romo, saya tidak tahu agama atau aliran apa yang dia ikuti. tetapi menurut saya, anak kami ini telah tersesat.
Romo tolong kami, dan tolong anak kami agar dia kembali lagi ke Gereja Katolik,“ seorang bapak menelpon dengan kekhawatiran yang amat sangat.
Dalam perjumpaan dengan anak itu, saya menangkap bahwa anak itu merasa jenuh dengan liturgi Gereja.
Bagi dia, liturgi Gereja membosankan.
apalagi kotbah pastornya tidak menarik dan tidak bisa dimengerti.
Dalam kegelisahan dan kegundahan seperti itu dia pernah menyampaikan kepada seorang pastor.
Dan sayangnya, pastor itu justru tersinggung dan marah kepadanya. Dalam keadaan yang seperti itu, jengkel, frustasi dia bertemu dengan seseorang yang menawarkan aliran baru yang menurut dia bisa mendengarkan dia, mau menerima dia dan “perayaan liturginya” menarik bagi dia.
ia telah gagal menemukan Allah yang diimaninya sejak kecil, justru karena dalam kegelisahan dan kegundahan bertemu dengan orang yang salah.
Sebagaimana dalam sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Hakim-Hakim, umat Israel meninggalkan Yahwe, karena lebih tertarik pada allah-allah lain yang disembah oleh suku-suku atau bangsa-bangsa di sekitar mereka.
Mereka merasa tidak bisa bertemu dengan Yahwe tidak seperti bangsa-bangsa di sekitar mereka yang bisa melihat allahnya.
Bagaimana dengan aku?
Apa yang kulakukan saat aku merasa jenuh, bosan dengan “ritus” agamaku dan merasa Allah begitu jauh?