Renungan Harian
Minggu 30 Januari 2022
Hari Minggu Biasa IV
- Bacaan I: Yer. 1: 4-5. 17-19
- Bacaan II: 1Kor. 12: 31-13: 13
- Injil: Luk. 4: 21-30
BEBERAPA tahun yang lalu, ketika baru bertugas di sebuah paroki, saya diminta untuk melayani ekaristi dan pemberkatan rumah dari sebuah keluarga. Tentu dengan senang hati saya melayani permintaan ini, sekaligus menjadi sarana untuk berkenalan dengan umat di lingkungan tersebut.
Oleh karena itu, saya meminta agar umat di lingkungan diundang. Tuan rumah dengan senang hati memenuhi permintaan itu, bahkan keluarga besar dan banyak temannya akan ikut hadir dalam perayaan itu. Tuan rumah mengatakan bahwa yang hadir bisa mencapai 150 orang.
Saya agak terkejut, karena jumlah itu suatu jumlah yang amat besar untuk misa di lingkungan.
Pada hari yang ditentukan, saya berangkat ke tempat perayaan misa diselenggarakan. Saya agak terkejut, karena di halaman rumah dipasang tenda yang cukup besar sehingga kesannya bukan sekedar misa pemberkatan rumah tetapi sebuah pesta.
Pada saat saya datang sudah banyak umat yang datang, di dalam rumah sudah penuh sementara di tenda sudah hampir penuh juga.
“Wah, luar biasa,” kata saya di dalam hati.
Saya memulai perayaan ekaristi seperti biasa dan upacara pemberkatan rumah. Saat saya memulai memerciki ruangan-ruangan di rumah itu tuan rumah bertanya:
“Romo, di mana yang ada penunggunya? Apakah nanti ada upacara pengusiran penunggu?”
“Tidak ada apa-apa,” jawab saya agak terkejut.
Saya tetap melanjutkan percikan dan kemudian melanjutkan ekaristi. Setelah ekaristi, tuan rumah menemui saya dan bertanya:
“Romo, kapan upacara pengusiran setannya? Ini syarat-syaratnya sudah kami siapkan. Saudara-saudara dan teman-teman kami ingin melihat upacara pengusiran setannya.”
“Pak, mohon maaf, saya datang ke sini untuk merayakan ekaristi dan pemberkatan rumah, bukan untuk mengadakan upacara pengusiran setan. Pemberkatan rumah adalah mohon berkat agar semua penghuni rumah mendapatkan berkat, dengan demikian setiap penghuni rumah memancarkan berkat.
Keluarga mohon berkat berarti keluarga mempercayakan seluruh keluarga kepada Tuhan, agar Tuhan yang meraja dan berkarya di rumah ini.
Dengan demikian rumah menjadi tempat bernaung yang mendamaikan dan menyejukkan. Kalau keluarga itu damai, saling mengasihi, saling melayani maka setan tidak akan tinggal di rumah ini karena habitat setan itu bila ada permusuhan, saling merendahkan dan adanya ketidakadilan.
Pemberkatan rumah pertama-tama dan utama bukan untuk pengusiran setan,” jawab saya.
“Oh saya kira akan ada upacara pengusiran setan seperti di televisi lalu dimasukkan ke dalam botol. Ini banyak yang datang karena ingin melihat itu,” kata tuan rumah dengan kecewa.
Saya agak terkejut dengan situasi itu, bahwa banyak orang yang datang bukan karena ikut misa dan ikut berdoa tetapi mereka datang untuk menonton “atraksi” pastor yang mengusir setan.
Dalam banyak peristiwa, banyak orang yang terjebak untuk mencari hal-hal sensasional dalam ibadat dan doa mereka.
Mereka terjebak dengan keinginan untuk mengalami atau melihat mujizat yang terjadi sehingga melupakan atau bahkan mengabaikan maksud dan tujuan dari perayaan ekaristi, perayaan sakramen maupun sakramentali.
Seperti pengalaman umat Nazaret yang ingin melihat Yesus membuat mukjizat tetapi lupa dengan “mengabaikan” kehadiran Yesus sendiri. “Hai, tabib, sembuhkanlah diriMu sendiri. Perbuatlah di sini, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar telah terjadi di Kapernaum.”