Pembukaan Sidang Sinodal KWI 2015

0
1,252 views

SIDANG Sinodal KWI 2015 yang berlangsung mulai hari Senin tanggal 9 November 2015 sampai dengan Kamis tanggal 12 November 2015 dihadiri oleh 34 uskup dari seluruh Indonesia, 3 uskup emeritus (Julius Kardinal Darmatmaja SJ, Mgr. Blasius Pujaraharja, serta Mgr. Michael Angkur), dan perwakilan Koptari.

Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta, berhalangan hadir dan diwakili oleh Rm. FX Sukendar selaku Vikjen KAS.

Diawali dengan ibadat pagi pada pukul 07.45, sidang dibuka secara resmi oleh Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo disertai pengantar dan berikutnya sambutan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Antonio Guido Filipazzi.

Berikut ini naskah lengkap Pengantar Sidang Sinodal Konferensi Waligereja Indonesia oleh Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo.

————-

suharyo
Ketua KWI 2012-2015 Mgr. Ignatius Suharyo dan Dubes Vatikan untuk Indonesia Mgr. Antonio Guido Filipazzi. (Matius Bramantyo/Dokpen KWI)

PENGANTAR SIDANG SINODAL

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA

9 – 12 Oktober 2015

Pendahuluan

1. Sebagaimana tertera dalam judul catatan ini, Sidang Konferensi Waligereja Indonesia 2015 ini menurut tradisi disebut Sidang Sinodal. Saya pernah bertanya, mengapa sidang ini diberi tambahan sifat sinodal. Jawaban yang biasanya saya peroleh adalah, karena dalam sidang ini dipilih fungsionaris-fungsionaris baru.

Sebenarnya saya tidak puas dengan jawaban itu,  tetapi tidak mau merisaukannya. Namun pengalaman mengikuti sinode pada tahun 2014 dan 2015 telah mendorong saya untuk mencoba menawarkan arti kepada istilah sidang sinodal ini.

Alasannya, berulang kali Paus Fransiskus berbicara mengenai sinodalitas (bahkan dalam ulang tahun ke-50 sinode, beliau juga berbicara mengenai desentralisasi). Beliau mengatakan, sebagaimana kita semua sudah tahu, sinodalitas adalah berjalan bersama, mengayunkan langkah seiring sejalan. Oleh karena itu saya memberanikan diri untuk menawarkan “bingkai” yang kiranya dapat dipertimbangkan agar langkah-langkah yang kita ayunkan di keuskupan-keuskupan sungguh seiring sejalan.

Dengan demikian kita juga dapat berharap agar rencana-rencana yang akan diajukan oleh Komisi-komisi dalam Konferensi Waligereja ini tidak menjadi kegiatan yang lepas satu dari yang lain. Untuk keperluan ini, saya ingin membaca lagi beberapa dokumen yang dikeluarkan oleh Konferensi ini.

Gereja yang Mewartakan Pengharapan 

2. Tema pengharapan menjadi salah satu pesan penting dalam kurun waktu tertentu, khususnya ketika perjalanan bangsa Indonesia berada dalam krisis besar. Krisis besar ini menjadi semakin mencengkam pada tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998.

Pada waktu itu Konferensi Waligereja Indonesia menulis Surat Gembala Prapaska dengan judul “Keprihatinan dan Harapan”. Di dalamnya antara lain dikatakan, “Kita semakin yakin bahwa kita sedang menghadapi kemerosotan moral hampir di semua bidang kehidupan masyarakat yang dapat membahayakan, bahkan menghancurkan persatuan, masa depan dan keselamatan bangsa kita”.

Dua tahun kemudian, sejalan dengan era reformasi, ketika berkembang harapan akan masa depan yang lebih baik berkat pembaharuan-pembaharuan yang terjadi dalam pemerintahan, KWI menulis Surat Gembala Paska 1999 dengan judul, “Bangkit Dan Tegak Dalam Pengharapan”.

Selanjutnya pada tahun 2001,  ketika ternyata keadaan negara tidak menjadi lebih baik, ditulislah Surat Gembala Paska dengan judul “Tekun Dan Bertahan Dalam Pengharapan: Menata Moralitas Bangsa”.

Tiga Surat Gembala itu sudah dapat mencerminkan kesadaran bahwa Gereja Katolik Indonesia, dalam penggembalaan para Uskup yang tergabung dalam KWI (akan) terus berusaha untuk menjadi pewarta dan terutama saksi-saksi pengharapan.

3. Keyakinan ini amat sejalan dengan kesadaran universal  yang terungkap  dalam Sinode Para Uskup Sedunia ke-X yang mengambil tema “Uskup, Pelayan Injil Yesus Kristus Demi Harapan Dunia”. Perutusan sebagai pelayanan Injil demi harapan dunia ini dijelaskan dalam Nasihat Apostolik yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 2003 dengan judul “Pastores Gregis”, sebagai rangkuman hasil Sinode ke-X.

Pada bab terakhir dijelaskan beberapa bidang yang perlu diberi perhatian khusus oleh para Uskup, yaitu perjuangan demi keadilan dan perdamaian, dialog antar agama demi perdamaian dunia, masyarakat sipil dan kehidupan sosial politik, memelihara lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan, pelayanan kesehatan dan perhatian kepada para migran dan perantau.

Tentu masih banyak wilayah lain dari kehidupan yang semakin kompleks yang perlu diterangi dengan nilai-nilai Injil. Wilayah-wilayah itu pulalah yang dirambah dalam hari-hari studi para Uskup yang tergabung dalam KWI, sebagaimana jelas dalam berbagai Surat Gembala, Pesan Sidang, Nota Pastoral, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia.

Pada akhir Nasihat Apostolik itu, Paus menulis: “Saudara-saudaraku para Uskup, Yesus Kristus adalah teladan kita. Kita memandang Dia dalam menjalankan perutusan kita sebagai pewarta pengharapan. Seperti Dia, kita harus siap untuk memberikan hidup kita demi keselamatan mereka yang dipercayakan kepada kita…..”

4. Perutusan untuk mewartakan pengharapan mempunyai akarnya yang amat kuat dalam Kitab Suci. Dalam suratnya kepada umat di Roma, Rasul Paulus menulis, “Sebab sekali pun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya” (4:18).

Dalam bahasa Latin, kalimat ini diungkapkan dengan sangat kuat dan menantang: contra spem in spem credere. Kalimat ini menyatakan kepercayaan Abraham yang tanpa syarat kepada janji Allah, yang menurut perhitungan manusia tidak mungkin akan terlaksana.

Selanjutnya Rasul Paulus menulis, “Terhadap janji Allah ia tidak bimbang, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah dengan keyakinan bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang Ia janjikan” (Rom 4:20-21).

5. Harapan bukanlah sekedar optimisme yang dilandaskan pada ideologi yang seringkali mengklaim mampu memecahkan segala macam masalah. Harapan dilandaskan pada keya-kinan iman yang teguh bahwa “Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp 1:6); bahwa Tuhan

Harapan yang Melahirkan Spiritualitas Keterlibatan

6. Surat-Surat Gembala dan Nota-Nota Pastoral yang diterbitkan oleh KWI dengan jelas menunjukkan keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam pergumulan bangsa dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Keterlibatan seperti ini merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda zaman. Inilah wujud pengharapan yang amat nyata. Berharap bukan sekedar berdiam diri menunggu. Sebaliknya berharap berarti secara kreatif mencari jalan agar yang diharapkan dapat menjadi kenyataan.

7. Sebagai ilustrasi mungkin baik diingat secara singkat tiga Nota Pastoral yang dihasilkan dalam hari-hari studi para Uskup secara berturut-turut. Tema utama adalah pendalaman sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Ada dua alasan mengapa tema ini dipilih.  Pertama, karena sejak jatuhnya Orde Baru, Pancasila hampir tidak pernah lagi menjadi wacana publik. Kedua, kesadaran untuk memperjuangkan kebaikan umum – yang antara lain termuat dalam sila kelima – telah menjadi semakin lemah. Yang amat menonjol adalah memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok.

Tema utama ini didekati dari segi politik (2003), budaya (2004) dan ekonomi (2006). Bagian akhir dari setiap Nota Pastoral KWI selalu berisi tawaran untuk melakukan sesuatu yang nyata serta saran-saran untuk melak-sanakannya. Dapat disebut misalnya, Gereja mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk membangun habitus baru.

Yang dimaksud dengan habitus baru adalah gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan berelasi seseorang atau kelompok yang sesuai dengan prinsip-prinsip masing-masing poros yang mengelola ruang publik, yaitu negara, masyarakat pasar dan masyarakat warga. Gereja juga mengajak semua warganya untuk ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput, seperti gerakan pelestarian lingkungan, pertanian organik, pengembangan ekonomi kerakyatan, dan  prakarsa-prakarsa kreatif lain yang perlu terus diusahakan.

8. Setiap Nota Pastoral, Pesan Sidang atau Surat Gembala KWI disusun berdasarkan metode refleksi teologis yang disebut spiral pastoral. Secara sederhana, langkah-langkah refleksi itu dapat digambarkan sebagai berikut:

  • Memperhatikan keadaan, pandangan kita atau pandang-an orang lain;
  • Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap yang kita perhatikan itu dari berbagai sudut pandangan: historis, sosiologis, psikologis, ekonomi, sosial, politik, budaya;
  • Memperhadapkannya dengan tradisi Katolik (Kitab Suci, Ajaran Gereja);
  • Membawanya ke dalam doa, kontemplasi yang diharapkan dapat menuntun refleksi bergerak menuju aksi, setelah secara pribadi atau bersama-sama melihat atau menemukan kehendak Allah dalam peristiwa dan pengalaman nyata;
  • Aksi yang terus disertai refleksi;
  • Keadaan baru yang menjadi awal baru dari spiral pastoral ini.

9. Selain spiral pastoral, di balik dokumen-dokumen KWI itu juga tersembunyi satu bentuk spiritualitas, yang sering disebut spiritualitas keterlibatan, atau secara teknis biasanya disebut spiritualitas inkarnatoris. Spiritualitas ini dijernihkan dalam buku kecil Seri Kaderisasi yang diterbitkan oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konferensi Waligereja Indonesia dengan judul “Jalan Baru”.

Spiritualitas ini memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri, yang tampak dalam hampir semua dokumen KWI.

  1. Ciri pertama adalah kontemplasi. Kontemplasi membuat mata hati semakin tajam dan nu-rani semakin peka terhadap berbagai peristiwa dan pengalaman hidup. Kontemplasi juga mendorong orang untuk tidak pernah puas dengan keadaan nyaman dan puas diri. Melalui kontemplasi suara dan kehendak Allah didengar dan dilihat dalam kenyataan hidup yang riil. Akan tumbuh dan berkembang pula kompetensi etis belarasa yang mendorong orang untuk terlibat dalam hiruk-pikuk kehidupan dunia dan mengajukan pertanyaan yang tidak akan pernah selesai dijawab, “Apa yang harus kita lakukan, agar lingkungan kita menjadi semakin manusiawi?”.
  2. Ciri kedua adalah kecerdasan budi yang selalu diasah. Dunia kita, sebagaimana dunia yang dimasuki oleh Yesus, tidak pernah merupakan realitas sederhana. Sebaliknya realitas itu semakin lama semakin kompleks, terdiri antara lain dari berbagai sistem yang dibangun dan mempunyai dinamikanya sendiri. Dinamika itu dapat dengan mudah bermuara pada struktur yang tidak adil, yang dalam bahasa sehari-hari disebut mafia. Sistem-sistem serta struktur-struktur itu semakin memaksakan tuntutannya dan mempertahankan diri dengan kekerasan. Diperlukan kecerdasan yang terasah, keberanian dan kerja sama untuk mengurainya dan menawarkan jalan keluar.
  3. Ciri ketiga adalah gerakan, sebagai muara kontemplasi dan kecerdasan. Yohanes menga-jak pengikutnya untuk melakukan gerakan pembaharuan hidup amat nyata (bdk Luk 3:10-14) yang terarah pada tata hidup bersama yang semakin adil. Yesus pun pada titik tertentu dalam hidupnya mulai mengaruskan gerakan Kerajaan Allah dengan mempertaruhkan hidupnya (bdk Luk 4:42-44) demi terwujudnya kebenaran, keadilan dan damai sejahtera.

Penutup: Gereja sebagai Peristiwa

10. Tanpa mengesampingkan gambaran-gambaran Gereja yang lain, Gereja sebagai pewarta pengharapan yang menghayati spiritualitas inkarnatoris, yang dinamikanya digerakkan dengan spiral pastoral, akan berkembang menjadi Gereja Peristiwa: “Gereja peristiwa bukan suatu konsep pastoral; juga bukan model eklesiologi. Gereja peristiwa adalah orang, orang yang hidup, hidup beriman. Dalam kesetiaan janji dan kasih ilahi, mereka mengingat saudara-saudara mereka, yang di abad Paulus hidup di kota-kota Roma-Hellenis dan yang di abad ke-20 hidup di Kalkutta atau Timor Leste, di kamp-kamp konsentrasi pengungsi dan Favellas Sao Paolo; mereka mengingat, tanpa usah menyeragamkan bahasa doa mereka. Gereja peristiwa adalah orang beriman, yang berani dan tidak mengalihkan muda dan hati mereka dari pen-deritaan saudara-saudara dan yang punya imajinasi untuk menolong” (B. Kieser, Melawan Fundamentalisme (Teologi) Katolik: Menemukan Gereja yang adalah Peristiwa; dalam Gereja Yang Melayani Dengan Rendah Hati, Yogyakarta: Kanisius 2009, hlm.14).

Gereja Peristiwa adalah kesimpulan dari gerak pengharapan, yang kreatif, komunikatif dan inklusif. Saya sendiri yakin bahwa jatidiri Gereja Peristiwa ini adalah buah dan sekaligus arah dari sinodalitas yang disadari atau tidak disadari telah berjalan sampai sekarang dalam dinamika Konferensi Waligereja Indonesia ini.

Semoga langkah-langkah kita semakin seiring sejalan, mewujudkan Gereja sebagai Komunitas Pengharapan.

+ I. Suharyo

Ketua Konferensi Waligereja Indonesia 2012-2015

Sumber dan kredit foto: Matius Bramantyo (Dokpen KWI)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here