Pengantar
Tentang bagaimana St. Petrus Canisius berkotbah di zaman Reformasi pProtestan ada catatan yang mengatakan bahwa pada mulanya mereka yang datang untuk mendengarkan tidak lebih dari 50 orang.
Tetapi hal tersebut tidak mengecilkan hati Petrus Canisius.
Tidak lama setelah itu, jumlah pendengar bertambah, bahkan orang-orang Protestan pun datang mendengarkannya. Dikatakan bahwa berkat kotbah-kotbah St. Petrus Canisius banyak orang Protestan kembali ke pangkuan Gereja Katolik.
Karena itu, ketika pada tahun 1561 Petrus Canisius akan diutus untuk mengikuti Konsili Trente dan ketika itu Petrus Canisius di Augsburg, Christopher Freybert meminta Kardinal supaya Petrus Canisius tidak meninggalkan Gereja Augsburg.
Pada waktu itu, Gereja Augsburg sudah terluka dan menderita sedemikian dalam oleh Protestantisme.
Sementara itu, Petrus Canisius dikenal membantu menyembuhkan luka-luka tersebut, bahkan melalui kotbah-kobahnya bisa menarik kembali orang-orang protestan. (Catatan: Sebetulnya, dari perspektif perjalanan rohani orang dan sebelum Petrus Canisius, hal itu juga pernah terjadi ketika Petrus Faber di Wina. Dalam iklim Prostestantisme yang galak, St. Petrus Faber, guru rohani St. Petrus Canisius, telah memberi Latihan Rohani kepada orang-orang Protestan.)
Pada tahun 1567 Frederic, Uskup Wisberg, juga bermaksud membawa Petrus Kanisius ke Katedral Würzburg untuk berkotbah selama Masa Prapaskah. Berbekal kedalaman rohani dan kesungguhan studi kerasulan berkotbah yang dijalankan St. Petrus Canisius dikenal luas.
Dia pun terus berkotbah ketika pda tahun 1571-1573 berada di Innsbruck. Di kota ini, ia menjadi pengkotbah Pangeran Ferdinand II dan sering berbicara di lingkungan istana.
Pada tahun 1574, Petrus Canisius dari mimbar Gereja Kolese Jesuit memberikan penjelasan tentang buku Ayub. Pada tanggal 11 November 1674, ia menjadi pengkhotbah resmi paroki di Innsbruck.
Mengenai kotbah-kotbahnya, tersimpan 2.000 buah dan ada banyak konferensi-konferensi di komunitas Jesuit, terutama untuk komunitas-komunitas Innsbruck (1572-1580) dan Freiburg di Swiss (1580-1596). (Pedro Canisio, Autobiografía y Otros Escritos, (Versión y comentarios: Benigno Hernández Montes, SJ) Mensajero/Sal Terrae, Bilbao – Santander, 2004, 25).
St. Petrus Canisius sendiri menyadari bahwa karyanya hanyalah bagaikan satu tetes air di samudra, tetapi dia sanggup memaknai tetes air itu karena dia tahu tujuan dan konteksnya. Yakni, membantu menuntun orang sampai kepada Allah.
Dalam konteks orang membutuhkan kejelasan obor serta panduan hidup rohani dan di tengah kenyataan Gereja yang lemah dan memburuk serta ada gerakan protestantisme, kotbah-kotbah St. Petrus Canisius bermanfaat. (Berlanjut)
Kotbah-kotbah dan tulisannya adalah buah ketekunan dan kesungguhannya mempelajari tradisi Patristik. Dari St. Petrus Canisius, kita mengetahui bahwa kunci dan titik temu Prostestan dan Katolik adalah St. Agustinus yang sungguh-sungguh Katolik.
Bila Martin Luther bergerak untuk memperbarui Gereja dari ide-ide St. Agustinus, St. Petrus Canisius dari St. Agustinus juga menunjukkan dan meyakinkan umat tentang kebenaran dan luhurnya Ekaristi dan sakramen-sakramen. (Lih. Hilman. M. Pabel, “Peter Canisius and The ‘Trully Catholic’ Agustine”, Theological Studies 71 (2010), 903-925.)
Tidak hanya itu, di wilayah tradisi Patristik (Bapa-bapa Gereja), St. Petrus Canisius menyiapkan dan memberi pengantar karya-karya Sirilius dari Alexandrea, St. Leo Agung dan St. Heronimus serta St. Siprianus. (Berlanjut)