HARI Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia. Filosofinya, ‘tut wuri handayani’ (di belakang memberi dorongan), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Bagaimana maknanya bagi pendidikan dokter?
Pendidikan dokter di Indonesia sudah dimulai sejak zaman STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Jakarta, pada 2 Januari 1849. Pendidikan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Gubernemen no 22, bertempat di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir dan sekitarnya). Ini adalah pendidikan dokter tertua di kawasan ASEAN. Namun demikian, dokter lulusan Indonesia saat ini, juga Fakultas Kedokteran (FK)-nya terasa tertinggal kelas, bila dibandingkan dengan negara tetangga.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendorong dilakukannya amandemen Undang Undang Pendidikan Dokter No 20 Tahun 2013 (UU Dikdok). Hal ini disebabkan karena pembenahan tentang pendidikan dokter harus berawal dari perbaikan atas UU Dikdok, yang menjadi ranah dari Badan Legislatif DPR, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Baleg DPR RI Bapak Supratman Andi Agtas, SH, MH.
DPR sebagai perwakilan seluruh rakyat lndonesia selayaknya mendapatkan masukan dari semua pihak, untuk merancang dokter lndonesia pada 5-20 tahun ke depan. Derajad kesehatan warga masyarakat Indonesia di masa depan sangat ditentukan oleh sistem pendidikan kedokteran dan ditopang dengan sistem pelayanan kesehatan yang baik.
Saat ini memang sudah ada beberapa anggota Komisi X DPR Rl yang telah memberikan dukungan terhadap usulan ini, tetapi masih diperlukan upaya untuk meyakinkan lebih banyak lagi anggota dewan, mengenai pentingnya perbaikan ini.
Pendidikan dokter saat ini sangat mahal, baik untuk dokter umum apalagi dokter spesialis. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir uang pangkal atau uang gedung bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Proses pendidikan kedokteran yang terjadi, dilakukan di FK dengan kualitas yang bermacam-macam. Pendidikan dokter juga dilakukan di banyak FK yang terakreditasi C, sehingga membawa implikasi kepada lulusan dokter dengan kualitas yang berbeda. Oleh sebab itu, diperlukan proses ujian kompetensi dokter (UKDI dan UKMPPD), meskipun kadang juga membutuhkan waktu yang lama. Apalagi masih ditambah dengan program internship yang harus dijalani seorang calon dokter secara wajib selama 1 tahun.
Masalah dalam pendidikan dokter di Indonesia, selain persoalan regulasi, insternship dan pendidikan dokter spesialis, juga adanya keputusan Menteri Ristek Dikti Rl tahun 2016 dan 2018. Keduanya memberikan izin kepada 8 FK baru, pada hal 5 di antaranya belum direkomendasikan oleh Tim Supervisi bentukan Kementerian Ristek Dikti, bahkan 1 diantaranya belum pernah divisitasi sama sekali.
Hal ini tentu menambah persoalan baru, karena akan mempengaruhi kualitas lulusan dokter. lntervensi politik dan mungkin pengaruh kapitalisasi pada pendidikan dokter, telah menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi lDl selaku organisasi profesi.
IDI mendukung penuh usaha pemerintah untuk memfokuskan anggaran negara pada perbaikan pendidikan dokter yang pro rakyat, dengan alokasi dana untuk perbaikan FK yang masih terakreditasi C.
Namun demikian, FK dengan akreditasi C yang berada di dalam perguruan tinggi dengan akreditasi institusi belum A, layak dilakukan peninjauan izin operasional. Selain itu, perguruan tinggi dengan akreditasi institusi A sebaiknya juga diberikan kesempatan, untuk membuka FK baru, karena lebih mungkin akan dapat memperoleh akreditasi FK bukan C yang lebih cepat.
Anggaran negara yang diberikan juga dapat berbentuk beasiswa bagi putera daerah, agar nantinya dapat menjadi dokter yang kembali dan membangun daerahnya di bidang kesehatan. Anggaran juga dapat dialokasikan untuk pendidikan dokter di layanan primer, dalam Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PPKB) terstruktur, yang diselenggrakan oleh IDI, bukan lagi oleh institusi pendidikan formal. Tentunya agar peningkatan kompetensi dapat tercapai dan semua dokter di seluruh penjuru tanahair dapat mengikutinya secara terjangkau.
Anggaran dapat juga dialokasikan pada program pendidikan dokter spesilias, agar para residen atau dokter umum yang belajar menjadi dokter spesialis, dapat berjalan dengan lebih baik, lebih terjangkau dan lebih bermutu. Selain itu, bantuan dana tentu dapat juga diperuntukkan bagi supervisor atau dokter spesialis sebagai pendidik klinis, agar dapat melaksanakan tugas pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat dengan lebih berkualitas lagi.
Perbaikan atas berbagai masalah tersebut, tidak diatur di dalam UU Dikdok. Wajar saja kalau amandemen UU Dikdok layak dilakukan, agar terjadi revisi menyeluruh dalam permasalah pendidikan dokter.
Momentum Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei dengan filosofi ‘tut wuri handayani’, mendorong adanya perbaikan total dalam lingkup pendidikan dokter, untuk mencetak dokter Indonesia yang lebih unggul.
Sudahkah Anda terlibat membantu?