PENGURUS Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam peringatan seabad Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei 2008 yang lalu, menegaskan perlunya revitalisasi peran dokter.
Apakah revitalisasi peran tersebut masih relevan setelah 10 tahun berlalu? Sejak tahun 2008, tanggal 20 Mei, telah ditetapkan IDI sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI), untuk mengingat jasa para dokter yang telah menggerakkan Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia. Dokter seharusnya tidak hanya melakukan pengobatan (agent of treatment), tetapi juga menjadi agen perubahan (agent of change) dan agen pembangunan (agent of development).
Kebangkitan Nasional tidak terlepas dari peran para dokter, seperti Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, dan teman-teman dokter dalam pembentukan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dokter pada saat ini rasanya juga perlu menjalankan peran secara lengkap seperti teladan para dokter senior tersebut.
Profesi dokter zaman sekarang sangat dipengaruhi oleh program besar JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang diterapkan mulai 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan menerapkan sistem pembiayaan kesehatan dalam era JKN yang disebut ‘kapitasi’ untuk dokter umum di layanan primer dan ‘case-mix’ untuk dokter spesialis di layanan sekunder atau tersier.
Pembiayaan pada sistem kapitasi diberikan kepada fasilitas kesehatan primer berdasarkan jumlah peserta yang dilayani dalam sebuah wilayah. Pada sistem kapitasi, dokter umum di fasilitas kesehatan primer dituntut bukan hanya mengobati 144 jenis penyakit yang tidak boleh dirujuk saja, tetapi juga memberikan pelayanan promotif dan preventif atau pencegahan.
Pada sistem ‘case-mix’ pembayaran tidak lagi oleh pasien, tetapi dilakukan BPJS Kesehatan secara total komponen pembiayaan, berdasarkan kelompok diagnosis.
Pada sistem ‘case-mix’, pengelompokan diagnosis penyakit pasien disebut ‘Indonesian-Case Base Group’ (INA-CBG), yang diklaim berbasis sekitar 6 juta data dari 137 RS di seluruh Indonesia, yaitu data ‘costing’ dan ‘coding’ penyakit mengacu pada International Classification of Diseases (ICD) 10 untuk mendiagnosis 14.500 kode dan Clinical Modification (ICD) 9 yang mencakup 7.500 kode.
Sedangkan tarif INA-CBGs terdiri dari 1.077 kode CBG yang terdiri dari 789 rawat inap dan 288 rawat jalan, dengan tarif yang digunakan adalah tarif rata-rata yang berlaku.
Pada sistem ‘case-mix’ ini, klaim RS kepada BPJS Kesehatan sesuai dengan tarif INA-CBG, yang pada umumnya lebih rendah dibandingkan tarif RS, sehingga kendali mutu dan kendali biaya untuk pasien yang sakit akan lebih mudah terwujud.
Hal ini karena kebebasan profesi dokter semakin mampu direduksi, kompleksitas masalah medis pasien semakin dapat diabaikan, dan mutu pelayanan medik yang dilakukan semakin dapat disetarakan.
Perubahan drastis dalam sistem pembiayaan pasien ini diduga telah menyebabkan konfik internal, perubahan besar pada alur pikir dan tindakan medik yang diambil dokter, bahkan juga pendapatan finansial sebagian besar dokter.
Selain itu, perlu juga kita sadari bahwa saat ini telah terjadi perubahan peran dalam membuat sebuah kep utusan layanan medik kepada pasien. Kalau dahulu keputusan layanan medik yang dilakukan oleh dokter hampir sepenuhnya dilakukan oleh para dokter, saat ini manajemen RS, BPJS Kesehatan sebagai penjamin biaya atau ‘payer’, dan pemerintah memiliki peran yang semakin besar dalam turut serta mengambil keputusan medik, bahkan peran dokter dapat sangat menurun.
Perubahan sistem pembiayaan kesehatan, juga pembatasan peran dan kebebasan dalam profesi dokter sebagai ‘agent of treatment’, dalam pengambilan keputusan medik pada pelayanan pasien, diduga telah menimbulkan syok budaya dan penolakan dalam diam bagi banyak dokter.
Dampak buruknya, berbagai tantangan besar untuk dokter zaman sekarang seolah menjadi terabaikan.
Tantangan dokter dalam keterlibatan dengan program pengendalian penyakit menular, perbaikan angka kematian ibu dan anak, juga peningkatan angka harapan hidup, yang merupakan perpaduan profesi dokter dan birokrasi kebijakan kesehatan, rasanya belum nampak direspon nyata.
Bahkan tantangan tentang persaingan dengan dokter dari kawasan ASEAN dalam era pasar bebas, mungkin sudah sempat terbengkelai. Buktinya, Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tidak sempat dikritisi, sehingga para dokter Indonesia kurang terlindungi secara ‘fair’, adil, dan bermartabat.
Sebaliknya, beda harapan tentang program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) dan hambatan inovasi iptekdok dari para dokter di luar sentra pendidikan, justru telah menyebabkan sengketa dan perpecahan dalam internal dokter Indonesia. Belum lagi luaran pendidikan dokter dari fakultas kedokteran yang masih terakreditasi C dan perlindungan profesi dokter dari risiko sengketa medik yang berlebihan, belum mendapatkan titik temu yang disepakati bersama.
Apalagi dalam kehidupan kebangsaan menjelang Tahun Politik yang rawan ini, para dokter Indonesia berpotensi dapat ikut terbelah ulang, sebagaimana pernah terjadi saat menjelang Pilkada DKI tahun lalu. Dalam tantang besar dan kondisi rumit seperti ini, sangat diperlukan munculnya dokter dengan peran lain, yaitu peran perubahan (agent of change) dan pembangunan (agent of development).
Momentum Harkitnas dan HBDI pada Minggu, 20 Mei 2018 mengingatkan kita semua, akan perlunya revitalisasi peran dokter Indonesia yang lebih lengkap.
Sudahkah Anda terlibat membantu?