NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)memiliki kekayaan identitas yang plural, heterogen, beraneka ragam. Dapat dikatakan, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia ini dengan tingkat pluralitas yang paling tinggi.
Semua pluralitas bangsa Indonesia disatukan, dipelihara, dan dilestarikan oleh Pancasila. Pancasila dengan kelima butir silanya memuat nilai-nilai Nusantara yang mampu menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu pluralitas bangsa Indonesia adalah kepercayaan atau agama. Terdapat enam agama yang diakui secara yuridis. Yakni: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Agama-agama ini memiliki pernak-pernik maupun ritual/upacara yang diakui sakral. Perayaan ritualis merupakan momen bersama yang sakral.
Momen ini mendapat tempat penting dan sentral dalam hidup beragama sehingga tentang perayaan atau ritual keagamaan ini tidak boleh ada halangan dalam merayakannya. Apalagi di negara dengan kultur religius yang tinggi seperti Indonesia.
Fakta dan masalah
Baru-baru ini, masyarakat dikagetkan dengan sebuah larangan merayakan Hari Raya Natal bagi umat Kristiani di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Larangan tersebut bukan disampaikan oleh warga, melainkan oleh Bupati Lebak: Ny. Iti Octavia Jayabaya. Alasan dari larangan tersebut ialah bahwa umat kristiani harus merayakan Natal di gereja; bukan di tempat publik.
Untuk itu, umat kristen di Maja harus beribadah di Rangkasbitung yang jaraknya belasan kilo meter dari Maja. Larangan ini tentunya menjadi masalah, karena tidak semua umat kristen memiliki akses ke Rangkasbitung.
Seharusnya, bila belum ada gereja, Bupati Kabupaten Lebak tersebut mengizinkan supaya gedung atau tempat publik itu dapat dijadikan sebagai tempat beribadah sementara; bukan malah melarang adanya perayaan Natal di Maja.
Warga negara minta solusi, malah pemimpinnya memberi larangan, halangan. Larangan yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Lebak ini sama sekali tidak bijak; juga tidak menunjukkan minimnya kualitas wawasan Pancasila yang dimiliki dan dihayati. Lebih dari itu, larangan ini menjadi masalah besar yang berkaitan dengan sikap intoleran umat beragama di Indonesia.
Sebagai seorang tokoh publik -bahkan sebagai orang nomor satu di Kabupaten Lebak- tidak layak kalau sampai mengeluarkan larangan seperti itu. Seharusnya ia memberi fasilitas di Maja sehingga perayaan Natal bagi masyarakat kristiani dapat terlaksana di Maja dan bukan di tempat lain.
Ia harus sadar akan identitas diri sebagai warga bangsa Indonesia yang plural. Sebagai bupati, ia harus memperhatikan sila pertama Pancasila dan UU terkait; mengamalkannya dalam pelaksanaan programnya di Kabupaten Lebak.
Christenophobia?
Apakah ini gejala Christenophobia -ketakutan terhadap orang kristen?.
Jenis ketakutan ini sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Sikap intoleran terhadap umat kristiani menjadi karakter utama dari fobia tersebut. Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang miris dan disayangkan di negara plural seperti Indonesia ini. Perlu wawasan esensial yang mampu memperbaiki dan menjamin keutuhan pluralitas di Indonesia.
Resolusi: Penyadaran Eksistensi Sila 1 Pancasila
Berangkat dari fakta di atas, muncul pertanyaan; “Apakah sila pertama Pancasila masih dihayati oleh bangsa Indonesia?” Atau lebih ekstrim: “Apakah sila pertama Pancasila masih ada?”
Patut diketahui dan ditanamkan dalam budi dan hati semua rakyat Indonesia bahwa Pancasila adalah dasar negara yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia.
Tanpa Pancasila, tidak mungkin ada Indonesia. Untuk itu, sebagai warga negara yang baik, setiap masyarakat Indonesia harus menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebab itulah yang menyatukan kita sebagai satu bangsa dan negara di dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Ide-ide tentang Pancasila pertama-tama bukan ‘ditemukan’ oleh Sukarno, tetapi sudah ada dalam budaya Indonesia dan Sukarno hanya ‘menyimpulkan’ dan ‘merumuskan’-nya dalam suatu muatan yang disebut Pancasila.
Inti pertanyaan di atas berkaitan dengan penghayatan akan sila pertama Pancasila, penghayatan akan ide yang menyatukan bangsa Indonesia dari sudut pandang agama. “Ketuhanan yang Mahaesa” mengisyaratkan adanya pengakuan akan eksistensi Tuhan, yang dihayati dalam agama masing-masing.
Sehingga sebagai warga negara Indonesia, masing-masing kita harus memiliki rasa hormat akan keluhuran dari setiap agama, baik itu benda-benda suci maupun ritus atau perayaannya.
Mengakui Pancasila, terutama sila pertama yang berkaitan dengan iman-kepercayaan, berarti sebagai warga negara kita harus menjaga kerukunan pluralitas kepercayaan religius di negara kita.
Hanya dengan cara demikian, kita dapat mengamalkan nilai luhur sila pertama Pancasila sekaligus merawat dan melestarikan keutuhan NKRI.
Dengan pengamalan ini pula, Tuhan yang Mahaesa pun akan selalu memberkahi umat-Nya dengan rahmat-rahmat yang dibutuhkan, terutama untuk mengokohkan keutuhan Negara Kesatuan NKRI.
Salam toleransi.