BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Selasa, 1 Maret 2022.
Tema: Masa Tua.
Bacaan.
- 1Ptr. 1: 10-16.
- Mrk. 10: 28-31.
“HALO Pak Pendeta apa kabar?” sapaku saat berjumpa dengan seorang pendeta.
“Baik Romo. Bagaimana Romo kabarnya,” jawabnya.
“Ya begitulah. Selalu baik, walau sendiri. Ha… ha… ha…”
“Wah, apalagi selalu berpindah-pindah. Tidak ada yang mengikat. Bebas melayani. Kenal banyak umat.”
“Dari segi itu sih oke, Pak Pendeta. Tapi kan lebih enak Pak Pendeta,” katanya berseloroh.
“Enaknya gimana Romo?” katanya kepo.
Tidak berpindah. Kalau keberatan pindah pun juga tidak apa-apa. Mengenal umat turun temurun. Bahkan diamini sebagai opa oma umat.
Pak pendeta punya keluarga. Salah satu anaknya bisa melanjutkan pengabdian sebagai pendeta. Bahkan meneruskan Gereja yang dikelola selama ini. Penerusan keteladanan iman.”
“Ya tidak semudah itu prosesnya Romo. Ada diskusi. Ada ketetapan dari pimpinan. Tapi kalau tidak ada perkara yang memberatkan biasanya berjalan dengan baik.”
“Oh ya, sudah berapa lama memimpin?”
“Belum ada setahun. Maaf belum sempat jalan-jalan untuk berkenalan.”
“Ngak apa-apa Romo. Saya mendengar dari beberapa umat, ada romo baru. Sebenarnya juga kepingin bertemu. Tapi ya begitulah Romo. Kadang hal penting dalam bertetangga, dalam kemanusiaan, terlupakan.”
“Kenalkan Romo. Ini isteri saya. Kami punya anak tiga. Semua sudah pada selesai kuliah. Anak terbesar melanjutkan profesi sebagai pendeta dan sekarang ada di luar pulau. Masih dalam satu gereja.”
“Wah hebat. Bapak pendeta. Ibu pendeta. Anak juga pendeta. Wah pasti masuk surga nih Pak.”
“Amin. Harapannya begitu. Romo juga lebih banyak peluang juga.”
“Sebab?”
“Romo tidak berkeluarga. Seluruh waktu hanya untuk pelayanan. Hubungan dengan umat juga baik. Saya dengar kehidupan sehari-hari ditanggung umat. Misalnya, dhaharan. Romo tidak pusing dari hal-hal duniawi. Hidupnya hanya terfokus pada pelayanan.”
“Ya begitulah Pak Pendeta. Hidup kita ini ada plus-minusnya.”
“Oh ya Romo. Bulan depan saya emeritus. Tidak di sini lagi. Saya pindah ke kota lain.”
“Bagaimana dengan pelayanan di kemudian hari?”
“Ya tentu saya pensiun, Romo. Kami sudah ada rumah. Saya belum tahu pasti, bagaimana pusat bersikap. Apakah masih bisa melayani dalam purna waktu. Atau di bidang lain. Yang jelas, tidak lagi memimpin jemaat.”
“Lalu bagaimana dengan kehidupan nanti?”
“Ya tentu masih ada pendapatan. Tapi tidak sebanyak ketika aktif. Kami sudah cukup untuk hidup sederhana. Kami sudah menyiapkannya.
Mungkin kami hanya membantu gereja setempat sejauh dibutuhkan.
Saya merasa diberkati romo. Di awal kependetaan, saya ditempatkan di daerah terpencil. Jangankan berharap soal pendapatan atau perpuluhan, hidup kami apa adanya. Kami menanam aneka sayuran dan dijual.
Kami lebih banyak membantu umat, karena hidup yang sangat memprihatinkan. Dalam perjalanan pelayanan berikutnya, kami selalu pindah-pindah. Akhirnya, saya ditugaskan di kota. Dan mulailah kami menabung; menyiapkan masa pensiun.”
“Syukurlah, kalau telah menyiapkan diri. Kalau saya sih masih lama.”
“Kalau kami tergantung pada pimpinan, Bapa Uskup. Memang ada saat pensiun. Tapi tetap tinggal di dalam lingkup Gereja. Tidak ada tugas yang berat atau harus bertanggungjawab pada sebuah Gereja sebagai penanggungjawab utama.
Menurut ada kebiasaan baik, romo-romo yang tua tinggal di pasturan, membantu sejauh diminta. Kalau tidak, ya lebih banyak berdoa dan menerima konsultasi umat.”
“Tapi bagaimana kehidupan yang lain Romo?”
“Ya, ditanggung dan dicukupi. Tentu tidak semewah kalau memiliki sendiri.”
“Begitulah nasib kita romo. Awalnya sama, melayani Tuhan, memimpin sebuah Gereja. Akhirnya pensiun. Sendiri menghadapi Tuhan. Kalau saya punya keluarga. Tapi romo punya komunitas para imam dan tetap berelasi dekat dengan umat.”
Yesus meneguhkan, “Sekalipun disertai berbagai penganiayaan; dan di masa datang ia akan menerima hidup yang kekal.” ay 30a.
Tuhan, terimakasih kami boleh dimampukan hidup dalam penderitaan bersama Kristus. Amin.