SEBAGIAN agama mengajarkan tentang hidup setelah kematian. Ada pula mitos, legenda, dan filsafat kuno yang menggambarkan tentang kehidupan di alam sana. Tidak ada yang bisa menguji kebenaran isi cerita-cerita kuno itu.
Di kalangan agama Yahudi, minimal ada dua golongan orang yang berpandangan berbeda tentang hidup setelah kematian. Orang Farisi percaya akan kebangkitan setelah kematian. Sedang orang Saduki tidak percaya akan kebangkitan.
Itulah sebabnya orang Saduki berargumen dengan Yesus tentang kebangkitan. Mereka mengajukan pertanyaan tentang tujuh pria yang menikahi wanita yang sama sesuai hukum Musa (Lukas 20: 28-32). Siapa dari ketujuh pria itu suami wanita itu pada hari kebangkitan (Lukas 20: 33)?
Yesus menjawab bahwa dalam kebangkitan tidak ada yang kawin dan dikawinkan. Semua yang layak untuk itu menjadi seperti malaikat; mereka itu anak-anak Allah yang tidak mati lagi (Lukas 20: 34-36). Relasi suami-isteri atau orangtua-anak tidak berlaku lagi. Relasi mereka terlaksana dalam kasih Allah yang sempurna.
Yesus menegaskan bahwa Allah itu bukan Allah orang mati, tetapi Allah orang-orang hidup, karena di hadapan Dia semua orang hidup (Lukas 20: 38). Orang yang menghadap Allah akan hidup. Hanya yang membelakangi dan menolak Allah akan mati.
Jawaban itu demikian meyakinkan sehingga orang-orang Farisi yang mendengarnya amat senang. Mereka merasa didukung oleh Yesus dan menang di hadapan orang Saduki.
Bagi mereka yang mengimani Yesus, bukan argumen itu yang terpenting. Penjelasan Yesus itu benar dan bermanfaat. Namun, itu tidak cukup. Yang paling penting itu orang percaya kepada-Nya, Sang Kebangkitan dan hidup (Yohanes 11: 25). Dia datang untuk memberikan kehidupan; bahkan hidup abadi dalam kebangkitan-Nya. Apakah aku percaya kepada-Nya dan akan kebangkitan?
Sabtu, 19 November 2022