Minggu, 25 Desember 2022
HARI RAYA NATAL
- Yes. 62:11-12.
- Mzm. 97:1,6,11-12.
- Tit. 3:4-7.
- Luk. 2:15-20
PERJUMPAAN dengan seseorang sering terjadi dalam hidup kita.
Perjumpaan itu terkadang berlanjut hingga menjadi teman, sahabat, bahkan saudara.
Namun, ada juga perjumpaan yang hanya sekilas dan berlalu begitu saja. Hari ini kita akan melihat perjumpaan yang berbeda, yaitu perjumpaan antara Allah yang menjadi manusia dengan para gembala.
Seperti sebuah garis takdir yang sudah diguratkan ilahi, maka perjumpaan itu terjadi.
Lantas kita juga melihat kembali saat-saat pertama kita berjumpa dengan Tuhan secara pribadi.
Banyak di antara kita tentu mengakui bahwa orangtua adalah orang pertama yang memperkenalkan Tuhan kepada kita.
Orang tua kita dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang Tuhan, namun telah berhasil mendekatkan kita anak-anaknya kepada Tuhan.
Kita patut bersyukur karena orangtua itu laksana Yohanes Pembaptis yang membawa murid-murid-Nya untuk mengenal Yesus sebagai Anak Domba Allah.
Tidak bisa dipingkiri lagi bahwa saya dan Anda, kita semua pun, memiliki pengalaman perjumpaan dengan Tuhan lewat berbagai cara pertolongan-Nya dalam kehidupan kita.
Sebuah ilustrasi
Ada seorang pemain sirkus yang membentangkan tali di atas sungai yang dalam dan airnya deras.
Dia membentangkan tali dari sisi tebing yang satu ke tebing yang ada di seberang sungai itu.
Dengan disaksikan banyak orang, dia mulai berjalan di atas tali itu. Dari ujung yang sebelah sini dan berjalan menuju ke ujung di seberang sungai.
Perlahan-lahan dan akhirnya sampailah di ujung seberang (bertepuk tanganlah penonton). Tidak lama kemudian dia berjalan lagi diatas bentangan tali itu untuk kembali, dan akhirnya berhasil (semakin bergemuruhlah tepuk tangan penonton).
Kemudian orang ini menawarkan kepada penonton, siapakah yang mau digendong untuk berjalan diatas tali dan berjalan melintasi sungai itu seperti tadi…
Apa yang terjadi… tidak ada satupun yang mau, tetapi tiba-tiba dari balik kerumunan para penonton tampilah seorang anak kecil yang mengacungkan tangannya dan mau digendong untuk menyeberangi sungai dengan berjalan diatas tali. Dan akhirnya benar berhasil dengan baik.
Luar biasa anak ini sangat pemberani, penonton sangat kagum juga pada anak pemberani ini.
Bapak-Ibu-saudara tahu siapa anak pemberani ini? Iya, ternyata orang yang menggendong anak itu adalah ayahnya dan dia anaknya.
Anak ini sama sekali tidak takut karena dia sangat tahu pasti, sangat mengenal betul tentang keahlian ayahnya.
Dan sang ayah juga mengenal betul tentang anaknya, sehingga ketika berjalan di atas tali bisa sehati dan seirama melangkah.
Begitu juga perjalanan kehidupan kita, seberapa kita mengenal Allah kita, Bapa kita dan Tuhan kita.
Apakah kita mengenal hanya sebatas kata orang; kata orang Allah kita itu sumber damai sejahtera.
Ataukah kita mengenal Tuhan Allah kita memang berdasarkan pengalaman pribadi mengalami perjumpaan dengan Tuhan Allah secara pribadi di setiap langkah perjalanan hidup kita, baik dalam situasi yang menyenangkan ataupun dalam situasi yang sulit.
Semakin seseorang mengenal Allah dengan benar, semakin besar pula kecintaannya kepada Allah.
Dan terus dimampukan menjalani hidup, tanpa ada ketakutan, tanpa ada kekawatiran, dan mendapatkan damai sejahtera.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.
Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.”
Bunda Maria ingin menemukan lebih dalam lagi pengalaman iman atas misteri kelahiran Tuhan Yesus. Bunda Maria menemukan “rahasia ilahi” dari peristiwa tersebut.
Kehidupan Yesus, Putera Allah yang sederhana dan tersingkirkan, agung dan mulia, menjadi tindakan Allah yang ingin membela orang-orang yang hina dan dianggap rendah.
Sikap Bunda Maria ini menunjukkan contoh pengikut Kristus yang sejati. Dalam keheranannya, Maria tetap setia menjalankan perintah Bapa dan bahkan mengikuti perjalanan Putra-Nya sampai di bawah Salib. Bahkan, Ia menjadi pendamping orang-orang percaya yang ada di Yerusalem.
Sekarang, bagaimana tanggapan kita sendiri tentang “Natal” ini?
Apakah kita seperti para gembala, senang pada perayaannya, tapi setelah Masa Natal dilewati, lalu hidup kita kembali “apa adanya” tanpa semangat baru untuk lebih baik lagi dalam mengimani Yesus?
Dan tentunya, lalu kita pun tidak berbuat apa-apa lagi untuk tetap menyebarkan kabar gembira ini dalam sikap dan kehidupan kita?
Ataukah kita seperti Bunda Maria, menyambut Natal (kelahiran Yesus) dengan sukacita, merenungkan terus dalam hidupnya dan berbuah lewat kesetiaannya dalam mendampingi Putranya hingga di bawah salib?
Bahkan menjadi pendamping untuk orang-orang lain yang mengimani Kristus?
Bagaimana dengan diriku?
Seberapa besar pengenalanku pada Allah yang menjelma menjadi manusia dan daya perubahan yang aku alami?