Jumat, 3 April 2020 Bacaan Injil: Yoh 10:31-42
“Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah” (Yoh 10:33)
Saudari/a ytk.,
SAAT merenungkan sabda Tuhan pada hari ini, saya teringat akan sosok para pemimpin yang baik tetapi dicerca dan berusaha dijatuhkan oleh sekelompok orang. Mereka adalah Presiden Jokowi dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok. Mereka berdua tulus dan total dalam melayani masyarakat. Mereka punya karakter dan jiwa kepemimpinan yang baik.
Kita tahu bahwa pak Ahok pernah diperkarakan karena diduga menghujat Alquran, menghina kyai/ustad, atau menistakan agama. Kebaikan Ahok selama ini tidak dilihat dengan pikiran dan hati yang jernih. Akhirnya dia dipenjara. Demikian pula Presiden Jokowi, sosok yang tulus memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ada sekelompok orang yang berusaha ingin menjatuhkannya dan melengserkannya karena kepentingan tertentu.
Seorang nabi mempunyai tri tugas kenabian, yakni meneguhkan, menghibur dan mengkritik demi kebaikan bersama. Dalam menjalankan tugas kenabian itu, seorang nabi tak jarang harus mengalami risiko yang tidak mudah, seperti dicaci maki, dicela, difitnah, dibenci, dimusuhi, bahkan nyawa menjadi taruhannya.
Seperti Nabi Yeremia, Yesus pun juga mengalami nasib seperti itu. Bacaan Injil hari ini mengisahkan bagaimana Yesus dibenci dan dimusuhi, mau ditangkap dan dilempari batu oleh orang-orang Yahudi. Yesus dinilai menghujat atau menistakan Allah. Yesus menyatakan Allah yang mengakui manusia sebagai anak-Nya, Allah yang mau ikut campur dalam kehidupan kita sehari-hari. Allah yang seperti ini “berbahaya” bagi mereka.
Kalau Allah begitu dekat dengan setiap orang dan setiap permasalahan, mereka tak lagi bisa berkuasa, tak lagi bisa memutarbalikkan perkara demi kepentingan mereka sendiri. Maka, dengan alasan “saleh” membela kemuliaan Allah, mereka menuduh Yesus menghujat Allah karena mengaku anak Allah, menyebut Allah sebagai Bapa-Nya.
Hari ini kita diingatkan untuk berefleksi dan intropeksi diri. Kita perlu waspada dengan kecenderungan kesalehan kita yang membuat kita merasa memiliki kebenaran, memiliki gereja, dan memiliki Tuhan. Juga kecenderungan yang membuat kita tidak melihat dengan jernih kebaikan orang lain jika orang itu melanggar kenyamanan dan “daerah kekuasaan kita”.
Pertanyaan refleksinya, apakah Anda mau berpikir jernih untuk membiasakan diri melihat kebaikan orang lain di sekitar kita (pasangan hidup kita, orangtua, anak, menantu, mertua, rekan kerja, pimpinan, rekan kerja, dan rekan sekomunitas)? Siapkah Anda dengan segala risiko menjadi murid Yesus?
Selamat menjalani pantang. Berkah Dalem dan Salam Teplok dari bumi Mertoyudan. # Y. Gunawan, Pr
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)