SAYA mengenal doa kerahiman ilahi dan mulai mendoakannya untuk devosi pribadi saat saya menjadi seminaris. Pada saat itu saya memasuki tahun ke-3 dididik di Seminari Mertoyudan tahun 2000.
Doa koronka Kerahiman Ilahi tersebut saya jadikan devosi pribadi dan mewarnai perjalanan panggilan imamat saya hingga sekarang ini. Beberapa kali dengan alm Rm Harikustono Pr saya ikut mendampingi kegiatan kerahiman ilahi dan memberikan pengajaran. Juga pernah ikut pertemuan kerahiman ilahi di Syantikara Jogja dan kongres nasional kerahiman di Surabaya.
Saya bersyukur diizinkan Tuhan mendapat Pengalaman berziarah ke makam Santa Faustina di Polandia tahun 2019. Saat itu, saya bersyukur bisa selesai studi di Roma tepat waktu berkat campur tangan kemurahan dan kerahiman Tuhan.
Pengalaman berdoa di depan makam Santa Faustina menggetarkan hati saya. Hal ini menantang saya untuk tergerak menghayati semangat belaskasih atau kerahiman dalam hidupku, terlebih dalam mendampingi para calon imam sejak 6 tahun yang lalu.
Hal ini didukung spirit nabi Yesaya, “Buluh yang terkulai tidak akan dipatahkan-Nya; dan sumbu yang berkedip tidak akan dipadamkan-Nya” (Yes 42:3)
Saya menyadari masih jauh dari penghayatan sebagai rasul kerahiman di zaman sekarang. Tetapi saya berusaha berjuang ke arah sana.
Seperti para rasul dalam injil hari ini, kita juga dipanggil menjadi “rasul-rasul” kerahiman saat ini. Bagaimana caranya? Caranya dengan mengandalkan Tuhan, bersukacita, serta membawa damai sejahtera kepada sesama.
Selamat mensyukuri dan merayakan kerahiman Ilahi. Berkah Dalem dan salam teplok dari Bujang Semar (Bumi Jangli Semarang). # Y. Gunawan, Pr
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)