AKU teringat peristiwa hari Minggu kemarin saat menghadiri misa di parokiku. Awalnya, aku tidak begitu tertarik mendengar kotbah romo. Paling-paling juga membosankan, begitu pikirku.
Tapi samar-samar kudengar suara romo: ”Jadi, Bapak,Ibu, Saudaraku terkasih, jangan cuma satu dua kali kita menasihati saudara kita yang terjerumus dalam lembah hitam… Tidak cukup sekali dua kali kita tegur …tetapi terus menerus kita ingatkan dia agar menyadari kesalahannya dan mau bertobat”.
Kotbah romo
Telingaku mencoba mendengarkan lebih lanjut lagi. ”Kalau anggota keluarga atau sesama kita berada dalam dunia kejahatan atau kriminal, kita wajib ikut andil menarik dia ke tempat yang benar. Kita harus ambil bagian dalam proses penyelamatannya seperti Kristus juga menyelamatkan kita,” kata romo berkotbah.
Aku semakin cermat mendengarkan isi kotbah itu. ”Mengapa kita harus lakukan hal itu? Sebab kita adalah Gereja. Saya tekankan sekali lagi Kita adalah Gereja. Meskipun dalam lingkup keluarga, kita adalah Gereja,” kata romo.
”Jadi, Bapak Ibu Saudara sekalian harus menyadari tugas kerasulan ini. Carilah…rangkullah…terimalah…dia, saudara, teman atau siapa pun yang jiwanya terhilang. Jangan diam saja… jangan cuci tangan…jangan pura-pura tidak tahu…,” begitu semangatnya romo ini berkotbah.
Pas banget
Luar biasa kotbah itu, pikir saya waktu itu. Lok bisa pas dengan apa yang sedang aku alami akhir-akhir ini. Luarbiasa, Tuhan menguatkan dan memimpin aku yang sedang berusaha menarik tangan seorang anak manusia yang tersesat di dunia gelap.
Ingatanku melayang ke sosok perempuan tua berpostur kurus kering; dia itu adalah kerabatku sendiri. Usianya sekitar 55 tahun. Wajahnya tirus, dengan cekungan mata yang dalam. Meski demikian ia tampak gesit melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di rumahku.
Tinggal menumpang
Sudah sebulan terakhir ini tante tinggal di rumahku. Ia sudah tidak punya suami lagi. Anaknya empat orang. Yang pertama sudah berkeluarga dan hidup cukup mapan di kampungnya sana. Anak kedua seorang laki-laki usia 22 tahun, bekerja serabutan dengan kondisi jemari kanan patah karena jatuh dari pohon.
Anak ketiga… laki-laki dan hm…inilah sumber stress kerabatku. Lulus SMA dan sekarang pengangguran tidak tahu mau bekerja apa, suka minum-minum, mabuk-mabukan sampai overdosis. Yang anak bungsu, gadis, sudah bekerja di sekolahku sebagai helper.Lumayan.
Si Joni
Sebut saja anak ketiga ini Joni. Dilihat sepintas penampilannya seperti pemuda baik-baik saja; sama sekali tidak ada kesan berandal sedikit pun. Lumayan ganteng malah, menurutku.
Saat tiba di rumahku bersama kerabatku sebulan lalu, Joni juga terkesan santun. Tapi tak kusangka di balik sikapnya yang tampak manis itu sebenarnya tersimpan seribu kisah gelap yang hampir saja merenggut kedua penglihatannya. Ya Joni pernah hampir buta karena overdosis.
Belum lagi menurut penuturan ibunya, Joni sering minta uang secara paksa, pulang malam, suka berhutang, menipu, pacaran tak kenal batas bahkan pernah berniat membunuh kakak keduanya yang mencoba menasihati perilakunya. ”Pilih mana antara dua pisau ini yang mau kamu inginkan agar aku bisa membunuhmu,” acam Joni kepada kakak laki-lakinya di suatu hari yang ”panas”.
Betapa kerabatku ini sangat dalam kepedihannya. Sementara pekerjaan beliau di kampung hanyalah tukang kerompongan alias pemulung. Setelah kematian suaminya, kerabatku ini berjuang sekuat tenaga membiayai ketiga anak-anaknya. Namun kini penderitaannya belum berakhir. Satu dari keempat anak tercintanya seolah tak kenal dunia lagi, tak ingat kasih ibunya lagi. Joni lebih suka mencari kesenangan sendiri dengan cara tidak wajar. (Bersambung)