HAMPIR setiap pagi, Manih (nama sebenarnya) lewat di depan rumah kami. Di punggungnya tergantung kantong plastik hampir sebesar badannya, menampung barang-barang rongsokan hasil memulung. Benar, Manih memang pemulung.
Kalau biasanya hanya sekedar bertegur sapa seadanya, dua pekan lalu, kami sempat berbincang sejenak. Ada sejuta pesan yang membuat saya terhenyak.
Perempuan 64 tahun, asal desa Pakis Jaya, Kerawang itu, hijrah dan tinggal ngontrak di bedeng sederhana di RT 7; dekat rumah kami di Tangsel. Suaminya, yang juga pemulung, sudah meninggal empat tahun lalu. Manih meneruskan “profesi” suaminya untuk membesarkan keenam anaknya.
Untung, lima anaknya sudah mentas (berkeluarga) dan tidak tinggal bersamanya lagi. Tinggal si bungsu, perempuan, yang masih sekolah dan dibiayainya.
Setiap pagi, seusai salat subuh, Manih berangkat memulung. Baru lepas tengah hari pulang menyiapkan makan siang, lalu istirahat. Begitu ritual yang dijalaninya setiap hari. Tak kenal kalender merah dan hari besar nasional atau keagamaan.
Hasil kerja kerasnya diserahkan kepada pengumpul dan dibayar setiap dua pekan. Uang sekira 1 juta rupiah dilipat dalam dompet kumuhnya. “Hanya” dua juta rupiah yang berhasil dikumpulkannya selama sebulan.
“Apakah cukup?”
Manih tersenyum masam. Tapi saya sudah menangkap maksudnya. Buat kontrak bedeng sebulan 400 ribu, uang sekolah anaknya 200 ribu, uang jajan anaknya 5 ribu sehari, belum pengeluaran ini-itu yang kalau dijumlah jauh di atas dua juta.
Tapi Manih dan anaknya tetap bertahan. Senyumnya selalu mengembang setiap saya sapa dan membalas basa-basi yang saya lontarkan. Satu kalimat yang membuat saya terkesan setiap mengakhiri obrolan kami.
“Bapak sehat-sehat ya”.
Cerita kedua saya jumpai pekan lalu. Entah, mengapa kok kisah senada bisa berurutan lewat di depan saya.
Namanya Rita (bukan nama sebenarnya) tiba-tiba mampir kembali dalam kehidupan keluarga kami. Meski sudah sejak kecil mengenalnya, tapi sudah lama kami tak jumpa. Usianya baru 40-an, tapi beban hidup yang berat sudah membebaninya.
Anaknya tiga, suaminya kerja serabutan. Yang sulung sudah bekerja, dua yang kecil masih sekolah, SMP dan SD.
Inilah yang memusingkan Rita. Beberapa tahun mereka tak membayar uang sekolah. Bahkan si nomer 2 yang sudah SMP pun masih nunggak saat di SD. Hutang itu dialihkan menjadi tunggakan atas nama adiknya.
Rita setengah menangis menceritakan beban keluarganya. Kontrak rumah, uang belanja, uang saku anak-anaknya, uang sekolah, dan masih seabreg lagi pos-pos yang setiap saat datang tak kenal absen. Kami tertegun diam tak tahu apa yang harus diperbuat.
Sejatinya kami (sangat) paham bahwa Rita dan suaminya harus diberi pancing dan bukan hanya ikan. Tapi memberi pancing atau pun jala bukan sesuatu yang mudah, sulit, atau sangat sulit. Yang gampang ya menyodorkan ikan, habis perkara. Itu pun belum tentu kakap. Jangan-jangan hanya seekor teri atau kembung. Apa boleh buat.
Meski pun masalah kelam Manih dan Rita (seolah-olah) saat itu tercerahkan, tak berarti akar masalahnya tercabut. Ia masih di sana. Entah kapan, cepat atau lambat, ia akan muncul kembali.
Nampaknya, semakin banyak cerita haru-biru seperti ini yang terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Bahkan golongan menengah pun turun kasta sebanyak hampir 9,5 juta orang. (https: //www.cnbcindonesia.com/news/20240831000022-4- 567941 /948-juta-kelas-menengah-ri-turun-kasta-ini-penyebabnya).
Obrolan dengan Manih dan Rita saya tutup dengan satu pesan. Itu pun saya ucapkan dengan agak malu-malu. Saya merasa tak tahu diri. Tapi apa boleh buat, saya harus menyampaikannya.
Teruslah berusaha. Paling tidak, jangan sampai keadaan menjadi lebih buruk. Optimislah, karena selama hayat di kandung badan hidup akan terus disertai peluang.
“The life we live is the choices (C), we make between the “B” of birth and the “D” of death” – Jea- Paul Sartre (1905-1980) Filsuf terkenal Perancis