DALAM beberapa waktu terakhir, beberapa perguruan tinggi Katolik anggota APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik) telah mempublikasikan peringkat mereka berdasarkan Webometrics, UniRank dan QS.
- Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mempromosikan peringkat webometrics 2024 di media sosialnya sebagai Perguruan Tinggi Katolik peringkat pertama dan sekaligus Perguruan Tinggi Swasta (PTS) peringkat ke-9 se-Indonesia.
- Universitas Atma Jaya Yogyakarta mempromosikan diri sebagai Perguruan Tinggi Kristen peringkat pertama se-Indonesia berdasarkan peringkat UniRank 2024.
- Sebelumnya juga ada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang mempublikasikan sebagai perguruan tinggi swasta dengan employability terbaik di Indonesia berdasarkan peringkat QS World University Rankings 2024.
Pencapaian ini tentu patut diapresiasi sebagai salah satu bentuk pengakuan publik. Namun demikian, penting untuk menelaah secara kritis esensi dan relevansi dari pemeringkatan perguruan tinggi dan relevansinya dengan identitas dan misi pendidikan Katolik yang berakar pada Ajaran Gereja.
Kritik pada pemeringkatan
Peringkat universitas, seperti yang dilakukan oleh Webometrics, UniRank dan QS, sering kali mendapat kritik. Itu karena metodologi yang digunakan. Mereka cenderung menggunakan indikator-indikator yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas pendidikan secara keseluruhan dan sebenarnya. Taruhlah itu seperti jumlah publikasi dan reputasi internasional, etapi tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti pengajaran, pengalaman pembelajaran dan pengembangan diri dan kepuasan mahasiswa.
Di dalam daftar pemeringkatan, misalnya, kita bisa mengernyitkan dahi mengapa perguruan tinggi A, B, C bisa masuk dalam list 10 atau 20 besar atau sebaliknya mengapa perguruan tinggi D, E, F tidak ada dalam list tersebut.
Lebih lanjut, menurut artikel The Absurdity of University Rankings (Brankovic, 2021), peringkat universitas sering kali lebih mencerminkan kepentingan komersial dan politik daripada kualitas pendidikan yang sebenarnya. Ini bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa peringkat tinggi berarti otomatis pendidikan berkualitas tinggi.
Pemeringkatan perguruan tinggi cenderung memberi penekanan pada publikasi. Ada tekanan berlebihan untuk mempublikasikan penelitian dalam jurnal-jurnal tertentu demi meningkatkan peringkat. Tekanan seperti ini dapat menggiring kebijakan perguruan tinggi untuk mengarahkan sumber dayanya pada publikasi dan juga para dosen agar fokus pada kuantitas daripada kualitas penelitian dan publikasi.
Di sisi lain bisa juga terjadi bahwa kinerja satu-dua dosen yang menonjol dapat mendongkrak peringkat perguruan tinggi dalam pemeringkatan secara signifikan. Terkait webometrics, misalnya, ada pendapat bahwa model pemeringkatan berdasarkan visibility digital sangatlah dapat dimanipulasi.
Peringkat universitas juga dapat berdampak negatif pada kebijakan pendidikan dan alokasi dana khususnya dari sisi regulator dan pendonor. Kebijakan pendidikan dan alokasi dana sering kali dipengaruhi oleh peringkat universitas yang dapat menyebabkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam pendanaan dan perhatian terhadap perguruan tinggi yang mungkin lebih membutuhkan.
Perguruan tinggi yang berada di peringkat bawah atau yang tidak ada dalam list mungkin diabaikan, meskipun mereka memberikan kontribusi signifikan kepada masyarakat setempat. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam sistem pendidikan tinggi.
Bukan rahasia bahwa seringkali sponsor atau pendonor baik korporasi, lembaga maupun individu cenderung memberi bantuan finansial pada Perguruan Tinggi Katolik yang besar dibandingkan Perguruan Tinggi Katolik kecil. Padahal yang terakhir inilah yang sebenarnya lebih layak dibantu. Karena kontribusinya pada masyarakat lokal sangatlah signifikan dan berdampak; khususnya pada persoalan pemberian akses dan pemerataan pendidikan serta peluang mobilitas sosial yang lebih baik bagi generasi muda.
Di sisi lain, menggunakan indikator tunggal atau beberapa indikator saja untuk menilai perguruan tinggi tidaklah cukup untuk menangkap kompleksitas dan keragaman perguruan tinggi yang tentunya memiliki beragam visi-misi dan identitasnya. Oleh sebab itu, bila memungkinkan, sebenarnya dibutuhkan penilaian yang lebih komprehensif dan beragam untuk menggambarkan kualitas institusi secara lebih akurat.
Dalam konteks ini, pendekatan yang lebih holistik dan adil dalam menilai perguruan tinggi nampaknya lebih relevan untuk dilakukan, khususnya dengan mempertimbangkan berbagai aspek pendidikan dan pengalaman mahasiswa, bukan hanya output penelitian.
Ini tentu sejalan dengan visi pendidikan Katolik yang menekankan pengembangan aspek integral manusia. Dalam hal ini, akreditasi nasional maupun internasional yang pendekatannya berbasis pada visi dan misi serta memperhatikan kekhasan dan konteks masing-masing perguruan tinggi nampak lebih relevan untuk diikuti ketimbang pemeringkatan universitas.
Setia pada identitas dan misi
Dari perspektif ajaran Katolik, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan keterampilan intelektual dan profesional, tetapi juga untuk membentuk karakter moral dan spiritual peserta didik. Dalam dokumen Gravissimum Educationis, Konsili Vatikan II menekankan pentingnya pendidikan Katolik dalam membantu peserta didik untuk mengembangkan kepribadian mereka secara utuh dan untuk memahami serta menerapkan ajaran Kristiani dalam kehidupan mereka.
Dokumen Ex Corde Ecclesiae menggarisbawahi bahwa Perguruan Tinggi Katolik harus memadukan pencarian kebenaran dengan iman, dan harus berkomitmen untuk memberikan pendidikan yang berkualitas tinggi yang sejalan dengan nilai-nilai injil. Perguruan Tinggi Katolik diharapkan menjadi pusat keunggulan akademik yang juga berkontribusi pada misi Gereja dalam evangelisasi dan pelayanan kepada masyarakat.
Dokumen Instrumentum Laboris juga menekankan bahwa Perguruan Tinggi Katolik harus tetap setia pada identitas dan misinya, yang adalah mengambil bagian dalam misi Gereja. Pendidikan tinggi Katolik harus mempromosikan integritas akademik dan etika, serta mendorong peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan Gereja dan masyarakat.
Dalam konteks ini, ketika peringkat universitas merupakan bentuk pengakuan publik-pengakuan eksternal yang berguna dan patut diapresiasi, Perguruan Tinggi Katolik harus memastikan, mereka tidak terjebak dalam perlombaan untuk menduduki peringkat teratas. Apalagi kemudian dengan mengorbankan misi mereka yang sejati dan menjadikan peringkat sebagai indikator favorit dan utama sebagai tolok ukur keberhasilan atau kualitas.
Perguruan Tinggi Katolik harus tetap setia pada identitas dan misi mereka, yaitu mengambil bagian dalam misi Gereja untuk mendidik individu secara integral baik moral, intelektual, dan spiritual, membentuk pribadi yang berintegritas, berkomitmen pada keadilan sosial, dan siap berkontribusi positif bagi masyarakat berdasarkan nilai-nilai Injili.
Singkat kata, di hadapan arus komersialisasi, tarikan politik dan regulasi serta kompetisi yang begitu kuat, Perguruan Tinggi Katolik perlu senantiasa setia dan tetap berusaha menghidupi joyful learning (pembelajaran penuh sukacita) untuk mendukung generasi yang semakin cerdas dan humanis, peduli, komit dan antusias – kalau boleh meminjam istilah dari Soegijapranata Catholic University (SCU), Universitas Sanata Dharma (USD) serta Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS).
Augustinus Widyaputranto
Direktur Program Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK)