Peringati 400 Tahun Kelahirannya, Paus Fransiskus Pulihkan Nama Baik Blaise Pascal

0
337 views
Blaise Pascal (Wiki)

AD multos annos, Blaise Pascal. Merayakan HUT-nya ke-400 di konteks zamannya.

Perancis abad ke-17 -tanggal 19 Juni 1623, hari kelahiran Blaise Pascal- bukanlah Perancis yang sunyi. Kala itu, Perancis menjadi episentrum ramai dengan pergulatan teologis dan pembaharuan spiritualitas hidup Gereja Katolik.

Blaise Pascal berada di pusaran perdebatan dan pergumulan itu.

Pergulatan teologis zaman itu bukanlah silang pendapat tentang sekedar rumusan bahasa atau parafrase proposisi teologis. Melainkan, juga utamanya terkait dengan pembaharuan Gereja, penerjemahan spiritualitas ke dalam hidup sehari-hari.

Para teolog bukan sekedar berebut pengaruh, tetapi juga sering konflik terbuka yang saling memojokkan, mengheresikan. Semua pergulatan ini sebagian utamanya karena Protestantisme (Reformasi) dan sebagian lagi karena Renaissance yang menjadi pintu gerbang bagi ilmu pengetahuan dan humanisme yang merambah iman Gereja Katolik.

Ilustrasi – Seni lukis produksi zaman Renaissance. (Ist)

Spiritualitas Ignatian, Karmelit, dan Kardinal de Berulle

Pada waktu itu, Perancis diguyur oleh spiritualitas Ignasian yang mengalir dari pribadi Santo Ignasius de Loyola.

Para teolog Yesuit menjadi eksponen utama dalam bidang pendidikan dan teologi pada waktu itu.

Ada pula tokoh Benedict Canfield, seorang Kapusin dari Inggris, yang juga berpengaruh.

Spiritualitas “Karmel Tak Berkasut”, sebutan untuk pembaharuan spiritualitas Kamel oleh Santa Teresa Avila dan Yohanes Salib, juga merambah Perancis zaman itu. Tokoh utamanya ialah Kardinal de Berulle dan Madam Acarie.

Disamping itu, Kardinal de Berulle juga memiliki “circle” yang turut melahirkan “sekolah spiritualitas” di abad itu.

Vincentius a Paolo, Fransiskus de Sales, Cornelius Janssen

Vincentius a Paulo tak pernah menulis buku spiritualitas, tetapi disebut oleh sejarawan Henrie Bremond sebagai “mistikus dalam karya cinta kasih”, karena rigoritas pelayanannya kepada orang miskin.

Seorang Uskup Geneva, Franciskus de Sales, juga mengajukan model penghayatan kekudusan dalam cara yang baru pula pada zaman itu, kekudusan dalam hidup sehari-hari.

Dan, salah satu gelombang “spiritualisme” yang sangat populer pada waktu itu dihembuskan oleh teolog yang juga pernah menjadi rektor magnificus dari Universitas Leuven di Belgia dan kelak juga Uskup, yaitu Cornelius Janssen dan temannya yang cerdas dari Perancis yang bernama Saint-Cyran.

Gerakan spiritual itu bernama “Janssenisme”; yang lebih menyerupai gerakan hidup asketik dan disiplin keras dalam spiritualitas dengan klaim tafsir teologis yang direferensikan pada Agustinus.

St. Vincentius a Paolo (Ist)

Janssenisme vs Anti Janssenisme

Pergumulan teologis memaksudkan pembaharuan spiritualitas dan hidup umat Katolik Perancis abad 16 ini. “Dua kubu” berhadapan hadapan secara frontal selama banyak tahun, yaitu Janssenisme dan anti-Janssenisme.

Di pihak Janssenisme ada teolog Saint-Cyran, Suster Maria Angelique Arnauld (pemimpin biara kontemplatif Port-Royal), dan Antoine Arnauld (salah satu teolog top di Universitas Sorbonne, adik dari Sr. Angelique).

Di kubu anti-Janssenisme terdapat para teolog Sorbonne lainnya utamanya para Yesuit. Para teolog Yesuit memiliki dukungan kuat dari Kardinal Richelieu (“Perdana Menteri” Perancis waktu itu yang sangat berkuasa) dan tentu saja juga Raja Perancis.

Selain itu, Paus di Roma juga anti-Janssenisme.

Di mana posisi Blaise Pascal

Di mana Blaise Pascal, filosof kita, berdiri?

Sebagai seorang matematikawan dan fisikawan sekaligus filosof, kontribusi Pascal menandai suatu “abad baru” yang disebut Renaissance, di mana mulai berkembang ilmu pengetahuan empiris yang merambah filsafat, melanjutkan Galileo Galilei, Descartes, dan lain lain.

Sebagai seorang pemuda yang idealis dan haus akan hal hal baru, Blaise Pascal juga terkesima oleh “gerakan asketis dan disiplin dalam hidup rohani” dari para Janssenis.

Adiknya masuk biara kontemplatif Port-Royal yang menjadi “dapur” dari Janssenisme, yang dipimpin oleh Suster Maria Angelica Arnauld yang konon suci dan sangat disiplin menurut para muridnya.

Sementara pembimbing rohani biara itu ialah teolog brilian, Saint-Cyran. Blaise Pascal melakukan retret di biara tersebut dan bersahabat baik dengan Antoine Arnauld, sang teolog dari Universitas Sorbonne, eksponen Janssenisme.

Tatkala Antoine Arnauld diperkarakan, Blaise Pascal menulis “pembelaan” dari perspektif teologi Jansenis untuk sahabatnya, Antoine Arnauld.

Tulisan itu sangat terkenal. Oleh Voltaire kelak disebut sebagai “sastra terbaik yang pernah ditulis dalam bahasa Perancis.”

Santo Agustinus Uskup Hippo. (Ist)

Mengapa Agustinus dari Hippo

Apa yang dipersoalkan mengenai Janssenisme oleh para eksponen penentangnya?

Salah satu tema utama pergulatannya ialah tafsir atas teologi Santo Agustinus, seorang filosof-teolog dan Uskup dari Hipo, Afrika. Agustinus adalah filosof teolog Patristik yang sering disebut menjadi “jembatan” bagi periode Skolastik.

Mengapa Agustinus? Alasan paling gamblang adalah bahwa teologi Agustinus (yang sangat Platonian dan Aristotelian) merupakan “kue tart” teologis paling populer yang menjadi tema diskusi tema tema “reformis” di Gereja Katolik zaman itu (abad 16 dan 17).

Hal ini tak terpisahkan dari gerakan reformasi oleh Martin Luther, Calvin dan seterusnya. Martin Luther menuliskan tesis-tesis di gereja Wittenberg, Jerman, dengan klaim diasalkan dari teologi Agustinus tentang rahmat, dosa asal, kehendak bebas, predestinasi, keselamatan, dan seterusnya.

Martin Luther sendiri adalah seorang imam dari Ordo Santo Agustinus, saat ia mencetuskan gerakan reformasi. Reformasi telah membelah Gereja Eropa dan menyisakan sejarah pertikaian yang berdarah darah dan pahit dalam sejarah.

Gereja Katolik dituduh terlalu laksis dalam moral dan menghidupi sebuah teologi yang keliru (menurut Martin Luther).

Praktik-praktik simonisme, korupsi, dan berbagai perbuatan moral-etis yang tak pantas dan laksis telah turut menjadi pemicu protes-protesnya dan juga para teolog waktu itu. Dalam kenyataan, Janssenisme dipandang memiliki “flavor” ke-protestan-protestanan oleh para penentangnya.

Contritio dan bukan atritio

Menurut Janssenisme, rahmat penebusan Kristus efektif apabila manusia sungguh menghayati hidup asketis dengan disiplin keras yang diungkapkan dalam pertobatan rigoris  dan melayani orang orang miskin.

Tindakan semacam ini disebut “Contritio” (bukan Atritio, yang merupakan pertobatan biasa biasa saja).

Para teolog Yesuit memandang konsep tentang rahmat semacam ini keliru. Sebab, Janssenisme memandang bahwa keselamatan seolah-olah bisa dicapai dengan usaha keras manusia. Padahal, menurut Paulus, iman kepada Kristus sudah cukup bagi keselamatan.

Menanggapi tuduhan beberapa teolog Yesuit ini, Blaise Pascal dalam salah satu tulisannya (saat membela pandangan teologis Arnauld, eksponen Janssenisme)  balik mengkritik “laksisme” moral yang banyak diembuskan oleh Mollina, seorang teolog Yesuit dari Spanyol, yang juga populer waktu itu.

Doa sekenanya dan seenaknya, misa dan sambut komuni sembarangan (penyambutan sakramen tanpa disiplin persiapan dan askese). Bahkan membunuh atau membuang janin dan bayi dipandang biasa dan wajar (yang waktu itu juga marak; para Suster Puteri Kasih (PK) konon banyak memungut bayi dari tempat tempat sampah).

Hidup religius penuh dosa dan penyalahgunaan… dan seterusnya merupakan argumen-argumen yang ditemukan dalam tulisan tulisan Pascal.

Umumnya, argumen Pascal lebih merupakan argumen etis-moral, bukan dogmatis doktrinal. Itu karena Pascal seorang awam, ilmuwan, filosof, bukan teolog.

Perdebatan teologis -yang apabila dibaca dalam konteks zaman sekarang- tampak mungkin bukan sesuatu yang aneh ini, makin meruncing dan merambah wilayah politik dan adu pengaruh spiritualitas.

Nasib Janssenisme dan Blaise Pascal

Janssenisme kalah. Sebab, teologinya (lima proposisi teologisnya) dipandang heretik oleh Bulla Paus Innocentius X tahun 1653, “Cum Occasione” (isi lima proposisi ini bisa dilihat di Wikipedia atau ensiklopedia online New Advent).

Para eksponen Jannssenisme sendiri menolak bulla tersebut dengan berkata bahwa Janssenisme tidak pertama-tama perkara lima proposisi tersebut. 

Tetapi, karena secara politik, Raja dan Paus menghukum Janssenisme, para eksponennya dibekukan dan bahkan dipenjara (misalnya Saint-Cyran dipenjara oleh Kardinal Richelieu). Antoine Arnauld diusir dari circle teolog Sorbonne.

Biara Port-Royal terancam eksistensinya dan kelak akan dibubarkan, para susternya dipaksa keluar tersebut. Biara Port-Royal disebut-sebut sebagai salah satu pusat kebudayaan pada waktu itu karena kontribusi spiritualisme dan pendidikan, di samping terdapat pelayanan orang miskin.

Sementara, Blaise Pascal, filosof kita, menjalani hidup tersembunyi, dikejar kejar polisi, dan karyanya dipandang berbahaya dan juga masuk dalam daftar yang dilarang oleh Gereja Katolik.

Pascal mengalami “kemalangan” sebagai seorang ilmuwan dan filosof (bukan teolog) yang dikait-kaitkan dengan Janssenisme.

Louis Michel dari Loo – Jesuit dalam tekanan besar. (Ist)

Di kalangan komunitas romo-romo Lazaris (Kongregasi Misi) yang berdiri pada tahun 1625 juga terdapat “kecemasan” tersendiri bagi Vincentius.

Itu karena beberapa anggotanya menjalani semangat asketis yang mudah sekali dikaitkan dengan ke-Janssenisme-an.

Demikian juga hidup para religius lain waktu itu. Mudah diduga, karena spiritualisme atau gaya hidup rohani yang ketat, rigorus, dan disiplin lebih memikat, keren, dan menarik ketimbang hidup yang laksis, longgar, tidak disiplin, sembarangan saja.

Mereka umumnya tidak mempedulikan aneka detil pandangan teologis yang diperdebatkan.

Sungguhpun para Janssenis kalah, lobi-lobi mereka dalam sejarah konon berpengaruh pula pada waktu Perancis mengusir para Yesuit pada pertengahan abad ke-18 dan mendukung pembekuan Serikat Yesuit dalam Gereja pada abad berikutnya, tahun 1773 oleh Paus Clemens XIV.

Sementara itu, di abad ke-18 itu juga pengaruh spiritualisme Janssenis meredup dan seperti tidak terdengar lagi seiring dengan hadirnya Filsafat Pencerahan yang menjadi latar Revolusi Perancis.

Perkembangan lain, perdebatan teologis sesudah Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam Gereja Katolik tidak lagi mengadopsi terminologi “heretik”, “anatema“, sesat, dan seterusnya.

Perdebatan merupakan sebuah pergumulan.

Memulihkan martabat Blaise Pascal

Blaise Pascal menurut Paus Franciscus dalam Surat Apostolik (Sublima et Miseria Hominis, 19 Juni 2023) bukan bagian dari “kesesatan” teologis Janssenisme pada waktu itu.

Dia adalah seorang awam Katolik yang “exemplary“, pemuda ilmuwan yang brilian dengan kreativitas penemuan bidang matematika dan fisika, serta filosof yang otentik yang merindukan kebenaran Tuhannya dan bertekun dalam kasih dan melayani orang miskin.

Bapa Suci benar, keotentikan Balise Pascal harus dikembalikan kepada iman dan pergulatannya serta penziarahannya menggapai kebenaran; utamanya juga cinta kasihnya kepada sesama yang miskin.

Blaise Pascal memiliki otentisitas yang semacam ini. Beberapa detil pandangannya dapat disimak dalam Surat Apostolik tersebut.

Galileo Galilei.

“Simpati” Paus Fransiskus terhadap Blaise Pascal menyerupai Santo Paus Yohanes Paulus II dalam merehabilitasi Galileo Galilei.

Galileo adalah seorang “ilmuwan” sangat brilian dengan temuan yang kasat mata bahwa planet mengelilingi matahari, demikian juga bumi.

Matahari adalah pusatnya (Heliosentris).

Pandangan ini dibantah keras oleh para teolog, di antaranya Santo Bellarminus, sebagai sesat dan melawan kebenaran Kitab Suci yang adalah Wahyu Allah.

Dalam Kitab Suci, matahari mengelilingi bumi (Geosentris).

Memang, dalam sejarah Gereja pergumulan iman, teologi dan ilmu pengetahuan (juga politik) menjadi suatu chapter (bab) sejarah tersendiri yang seringkali juga pahit.

Bila disimak secara adekwat dalam konteks zaman, pergulatan semacam ini memberi pula pembelajaran perlu bagi peradaban kemanusiaan.

Bahwa apa yang dalam sejarah masa lampau nampak buruk, sesat, atau semacamnya, belum tentu demikian bila diperiksa kembali secara mendalam.

Blaise Pascal. (Ist)

Lepas dari pertimbangan dan simakan historis ini, filosof kita, Blaise Pascal juga menjadi contoh rigorus bagaimana kesejatian manusia zaman ini harus dikembalikan dan dirujukkan pada imannya dan keberanian akal budinya untuk berziarah menggapai kebenaran Allah.

Pascal seorang beriman yang rindu akan Tuhannya. Ia tidak puas diri dengan segala temuan ilmiahnya. Ia tidak mandeg dalam gelimang pujian para elitis ilmuwan yang kerap memandang hidup selesai dalam prestasi prestasi.

Pascal menjadi contoh siapa pun yang berani berziarah menggapai Tuhan yang benar dan menghidupinya dalam kasih kepada sesamanya yang miskin.

Ad multos annos ke-400, Blaise Pascal.

Berkah Dalem.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here