Rabu, 28 Februari 2024
- Yer. 18:18-20;
- Mzm. 31:5-6,14,15-16;
- Mat. 20:17-28.
KITA semua bisa menemukan dalam diri kita sebuah kecenderungan alamiah untuk mendapatkan posisi atau kedudukan tertentu dalam masyarakat, keinginan untuk memiliki status sosial tertentu dan keinginan untuk menguasai sesama yang lain. Sering kali ada dorongan yang kuat dalam diri kita ini, supaya orang lain sedapat mungkin menerima kita apa adanya sesuai dengan status dan posisi kita.
Situasi ini dirasakan oleh ibu Yakobus dan Yohanes dalam bacaan Injil yang kita dengar hari ini, “Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus serta anak-anaknya itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapan-Nya untuk meminta sesuatu kepada-Nya.
Kata Yesus: Apa yang kaukehendaki? Jawabnya: Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.”
Memang, sangatlah lumrah dan manusiawi. Jika seorang ibu ingin anak-anaknya hidup baik, terpandang dan punya jabatan yang tinggi, hidup bahagia.
Permintaan ibu Yakobus dan Yohanes berdampak langsung pada situasi komunitas para rasul yakni kesepuluh murid yang lain sangat marah kepada kedua bersaudara ini.
Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengubah mentalitas mereka dengan berkata: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
“Saya masih ingat bagaimana saya bertemu dengan kamu. Waktu itu ibumu yang tampak lelah dan berusaha membawa kamu ke pastoran. Badanmu saat itu panas dan ada luka di kakimu yang cukup parah, mungkin karena luka itu kamu terkena infeksi.
Temanku yang seorang perawat mengobatimu dan memberimu infus, hingga kamu harus menginap di dekat pastoran. Ibumu membawamu ke rumah kami tepat waktu, jika terlambat kamu akan sangat menderita bahkan nyawamu mungkin tidak tertolong lagi.
Perjuangan ibumu yang tidak kenal lelah itulah yang membuatmu tumbuh sehat, sukses dalam studi serta karier. Keberhasilanmu itulah yang membuatmu punya jabatan tinggi dan hidup bahagia. Maka, jangan pernah melupakan pengorbanan ibumu.” kata sahabat itu.
Mengorbankan orang lain demi diri sendiri memang sangat mudah dilakukan. Sebaliknya, memberi diri bagi orang lain amat sulit. Namun, itulah panggilan setiap orang yang mengaku diri sebagai murid Kristus, yaitu mengikuti teladan yang sudah dilakukan oleh Yesus bagi orang banyak dengan memberi diri-Nya, mengorbankan hidup-Nya-agar orang-orang yang percaya kepada-Nya menerima hidup.
Bagaimana dengan diriku?
Marilah kita periksa diri kita masing-masing, apakah kita sudah menjadi orang-orang yang bersedia untuk memberi diri bagi kebaikan sesama, ataukah kita justru mengambil hidup orang lain demi diri sendiri?