Mengalami Tuhan Sejak di Balik Kisi Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli”

0
1,231 views
Meski hanya di balik kisi jendela yang memisahkan wilayah klausura dan dunia luar, Sr. M. Ignatia O.Carm sebagai 'concierge' selalu menebar senyum ramah kepada setiap tetamu yang datang mengunjungi Biara Rubiah Karmelites "Flos Carmeli" di Batu, Malang. (Mathias Hariyadi)

ISAK tangis terdengar lirih dari luar kamar tamu.  Seorang ibu muda lalu menghampiri anak kecil dan menghapus air matanya lalu bertanya: “Angela, mengapa menangis?”

Gadis kecil ini menjawab: “Ibu, kasihan tante suster ‘dikurung‘ dan tidak bisa duduk dekat-dekat dengan Angela.”

Kasihan, mengharukan, dan ketidakmengertian. Kata-kata  itulah yang sering terungkap bagi mereka yang pertama kali datang  melihat  ruangan kamar tamu Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” di Batu, Jatim.

Mereka dibuat keheran-heranan mengapa di situ ada kisi-kisi atau teralis.

Klausura

Kisi-kisi besi dan teralis inilah yang selalu menjadi  pembatas lambang bahwa ada keterpisahan antara ‘dunia luar ‘dengan ‘dunia dalam’ biara. Di situ ada wilayah yang disebut klausura para suster.

Klausura memang sudah menjadi  salah satu cirikhas setiap biara kontemplatif.

Kontemplatif

Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” ini memang termasuk  ordo kontemplatif yang mengambil spiritualitas karmelit sebagai dasar hidupnya.  Meski hidup hanya melulu untuk berdoa dan berdoa, namun biara kontemplatif karmelites ini juga tidak menutup pintu untuk menerima hangat para tetamu yang sengaja datang mengunjungi biara untuk keperluan personal mereka.

Ternyata sesuai pengalaman kami selama bertahun-tahun sejak berdiri tahun 1962, yang datang mengunjungi biara kontemplatif karmelit ini tidak hanya mereka yang katolik saja.  Banyak tetamu non katolik juga sering mengunjungi biara kami untuk keperluan personal.

Pintu klausra yang menahan orang luar untuk tidak bisa masuk ke wilayah 'ruang dalam' biara. (Mathias Hariyadi)
Pintu klausura sebagai ‘perimeter’ agar  orang luar  tidak masuk ke wilayah ‘ruang dalam’ biara. (Mathias Hariyadi)

Hanya saja, sesuai dengan regula (aturan) kehidupan kami sebagai rubiah kontemplatif, kami hanya bisa menemui mereka di ruangan khusus yang kami sediakan: kamar tamu. Selebihnya, mereka tidak diizinkan masuk ke wilayah klausura –kawasan internal hanya untuk para suster rubiah.

Mengalami perjumpaan dengan Tuhan

Di kamar tamu itulah, sesuai dengan pengalaman pribadi saya, banyak tetamu mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Jadi, saya sungguh meyakini bahwa di kamar-kamar tamu di biara kontemplatif kamelites ini Tuhan selalu hadir, ketika orang datang ingin mengalami kasihNya.

Itulah yang terjadi dan sering saya mengalaminya sebagai ‘suster penerima tamu’, saat menerima orang-orang yang datang menemui kami. Mereka berkisah mau mengucapkan rasa syukur atau berterima kasih atas berkat dan berkah yang telah mereka alami dan terima.

Lain waktu, suasana hati sangat berbeda juga ikut  ‘menyapa’ kami.

Orang juga datang mengetuk pintu biara kami dalam kondisi hati yang murung, semangat hancur, hati dilanda keputusasaan. Kadang terjadi, orang datang membawa kegalauan ketika hati yang cemas dan galau tengah merajalela di setiap sudut lubuk orang.

Mereka datang menemui kami hanya sekedar ingin ‘bercurhat’ tentang hidup perkawinan yang tidak harmonis, kondisi keluarga yang tengah ‘goyah’, mengalami hidup sosial dengan sesama yang tidak oke, dan masih banyak lagi lainnya.

Bukan solusi sesaat

Tentu saja, kami bukan ‘Tuhan’ yang bisa menyelesaikan semua masalah itu secara cepat dan tepat. Kami hanya bisa mendengarkan ‘isi hati’ mereka dan kemudian mendoakan mereka.

Memang hanya berdoa itulah yang bisa kami kerjakan guna merespon kegalauan hati mereka. Kami hanya bisa berdoa, berdoa, dan senantiasa terus berdoa sepanjang waktu, setiap hari. Acara harian kami memang hanya berdoa dan berdoa, selain pada jam-jam tertentu kami juga harus bekerja di balik tembok biara sekadar hanya untuk bisa menghidupi kami sendiri.

 Adakah ‘mukjizat’ di sini?

Yang paling bisa melihat dan merasakan tentu saja mereka: para tetamu yang datang menemui para suster rubiah untuk minta didoakan. Kalau pun harus disebut sebuah ‘mukjizat’, maka hal  itu mungkin hanya cara pandang yang berbeda dalam melihat segala sesuatu.

flos-carmeli-kamar-tamu-dan-taman
Kamar-kamar tamu dimana para pendatang bisa menginap untuk minta didoakan atau sekadar ‘curhat’ berkonsultasi bersama suster rubiah karmelites di Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” di Batu, Malang, Jatim. (Mathias Hariyadi)

Mereka diajak  memandang hidup dengan perspektif iman. Mereka kami doakan agar mampu menerima kenyataan hidup yang  memang harus dialami dengan mata iman yang baru. Yakni, keyakinan iman yang harus tetap hidup di dalam kesadaran kita masing-masing bahwa Tuhan tetap setia mencintai dan menyertai kita sampai akhir hidup kita.

Kisi-kisi besi yang memisahkan kami dengan mereka itu kiranya menjadi saksi dari kisah kehidupan para suster rubiah karmelit di Biara “Flos Carmeli” ini.

Kami seakan memang ‘terpisahkan’ dari dunia luar, karena keseharian kami mengharuskan kami hidup di balik kisi-kisi atau di wilayah klausura yang akhirnya terpaksa membatasi keseharian kami dengan dunia luar.  Namun, sejatinya kami –para biarawati karmelites di Biara Rubiah Karmelit “Flos Carmeli” ini– juga tetap peduli dengan situasi  di di luar.

Di balik sisi ‘bagian dalam’ biara ada keheningan. Setiap malam dan dini hari terdengar lantunan doa yang biasa kami panjatkan setiap waktu. Di balik tembok biara ‘bagian luar’ ada kehidupan  ‘dunia ramai’ yang tidak bisa kami lihat, alami, amati.

Namun, ketika ‘dunia ramai’ ini dibawa masuk ke relung hati kami dan kemudian kami bawa di dalam doa-doa yang tiada putus setiap waktu, maka hati sekalian orang yang tengah mengalami ‘dunia ramai’ itu bisa menjadi lebih tenang.

Gaudium et spes. Kegembiraan dan harapan bisa tumbuh merekah di hati manusia yang berada di ‘dunia ramai’.

Gaudium evangelii. Sukacita Injil jiuga terjadi dan mengisi relung-relung hati para suster rubiah karmelites di Biara Flos Carmeli di Batu, Jawa Timur ini.

Kami percaya, karena di sana rahmat Tuhan telah bekerja dan Dia telah membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

Akhirnya, gratia supplet. Karena hanya rahmatlah yang akhirnya akan menggenapinya.

Sr. M. Elisabeth, O.Carm

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here