USKUP Keuskupan Palangka Raya, Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF pada tanggal 7 Mei 2020 ini merayakan ulang tahun tahbisan episkopal yang ke-19.
Pada 7 Mei 2001 silam, Uskup yang lahir pada 18 Mei 1953 di Dusun Pandes, Kecamatan Wedi, Klaten, Jawa Tengah ini, menerima tahbisan episkopalnya dari tangan Julius Kardinal Darmaatmadja SJ.
Ikut dalam misa tahbisan episcopal ini sebagai Uskup Konsekrator Uskup Keuskupan Agung Pontianak saat itu Mgr. Hieronimus Bumbun OFMCap dan Uskup Keuskupan Agung Samarinda saat itu alm. Mgr. Fl. Sului MSF.
“Upacara pentahbisan waktu itu bertepatan dengan Hari Raya Waisak. Tahun ini, bertepatan dengan Hari Raya Waisak juga,” katanya saat bincang-bincang santai di refter (ruang makan) Wisma Keuskupan Palangka Raya.
Saat-saat menjelang tahbisan 19 tahun silam, kenangnya, situasi social di Kalimantan Tengah masih sangat menegangkan.
Konflik antaretnis di wilayah ini menyisahkaan keresahan yang mencekam sekaligus harapan akan suasana yang aman. Namun konsolidasi dan kerja sama yang baik antar berbagai pihak, situasi dapat dikendalikan sehingga upacara tahbisan berjalan dengan lancar, aman dan meriah.
“Permanere in gratia Dei, Tetap Hidup di dalam Kasih Karunia Allah,” itulah moto tahbisan uskup yang menjadi pegangan awalnya dalam tugas penggembalaan selanjutnya. Allah tetap menjadi andalan utama dalam menjalankan tugas pastoral yang baru.
Sebuah insiden
Melihat kembali perjalanan hidupnya, Monsinyur Sutrisna, demikian biasa disapa, memiliki banyak kisah tak terduga yang menunjukkan sesuatu kepadanya. Salah satu peristiwa yang membekas kuat dalam ingatannya adalah insiden bola mengenai jendela pastoran.
Ketika mereka bermain bola kaki, kisahnya, bola yang ia tendang membentur kaki seorang teman dan tak disangka menghantam jendela pastoran. Pastor Paroki segera keluar dengan wajah marah dan memanggil para pelaku untuk ‘diinvestigasi.’
Monsinyur dan seorang teman ditunjuk-tunjuk sebagai pelaku. Investigasi bermula dari identitas diri; nama, anak siapa, dari desa mana, sekolah mana, kelas berapa dan lain-lain. Ternyata investigasi berujung pada pertanyaan mengenai cita-cita kalau sudah lulus SD.
Terhadap pertanyaan mengenai cita-cita, demi meredahkan amarah sang Pastor, keduanya menjawab ‘Mau masuk Seminari untuk jadi romo.’ Atas jawaban itu, wajah pastor paroki berseri-seri. “Baik, kalau begitu nanti saya beritahukan ke guru agama,” ujar pastor.
Insiden dan investigasi tidak diingat lagi olehnya. Setahun kemudian, guru agama memanggilnya dan beberapa teman, termasuk teman main sepak bola itu.
Mereka diminta untuk bertemu Pastor Paroki. Ia terkejut dan bertanya-tanya, siapa yang mendaftarkan namanya di Seminari Mertoyudan.
Tanpa basa-basi, Pastor Paroki langsung menjelaskan syarat-syarat untuk masuk Seminari, waktu ujian dan perlengkapan apa saja yang harus di bawah. Saat itu juga, ia teringat kembali akan jawaban untuk masuk Seminari kepada Pastor Paroki.
Dari delapan teman yang mendaftar, ia dan seorang teman yang diterima. “Wah, saya kok diterima. Saya merasa biasa-biasa saja di sekolah dan saya belum tahu atau tidak mengerti apa-apa, malah diterima masuk Seminari,” kenangnya.
Benarlah sabda Yesus dalam Injil Yohanes, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu,” (Yoh. 15:16).
Memilih MSF
Lulus dari Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang-Jawa Tengah, Mgr. Sutrisna memilih untuk bergabung dengan Tarekat Misionaris Keluarga Kudus (MSF). Bersama 22 teman Novis mereka menjalani hidup rohani melalui doa yang intens.
“Saya menjatuhkan pilihan ke MSF dengan alasan utama, mau berkarya di paroki agar bisa melayani umat secara langsung, tetapi sekaligus menjadi biarawan,” ungkapnya.
Bersama 22 teman Novis, mereka menjalani hidup rohani melalui doa yang intens. Menjalani hidup rohani melalui doa yang intens, pada awalnya terasa berat dan memerlukan perjuangan.
Perasaan bahwa berdoa dan meditasi yang cukup lama itu sepertinya kurang berguna secara praktis. Namun lama kelamaan, kehidupan doa menjadi semakin biasa dan bahkan berubah dari semacam kewajiban menjadi kebutuhan.
Novisiat MSF, bagi Bapa Uskup, memberi bekal yang bermanfaat untuk hidup rohani dan menjaga panggilan.
Dari Novisiat, ia melanjutkan pendidikan di Skolastikat MSF dan di Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Setelah melewati tahap-tahap pendidikan dan pembinaan, ia ditahbiskan menjadi imam pada pada tanggal 6 Januari 1981 di Skolastikat MSF, Yogyakarta.
Ia terpilih menjadi Uskup Keuskupan Palangka Raya pada tanggal 23 Januari 2001 dan ditahbiskan menjadi Uskup di Gereja Katedral St. Maria Palangka Raya, pada 7 Mei 2001.
“Tukang Kebun”
Mgr. Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka,MSF pernah berkarya di Paroki St. Theresia Balikpapan pada tahun 1981-1982. Setahun kemudian, ia melanjutkan studi dan meraih gelar doktor dalam bidang misiologi dari Universitas Kepausan Gregoriana Roma.
Selama 20 tahun, beliau menjadi Dosen di FTW-USD Yogyakarta.
Saat ini, Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF menjabat Ketua Komisi Karya Kepausan Indonesia (KKI) KWI untuk masa bakkti periode 2018-2022.
Di wilayah pastoralnya Keuskupan Palangka Raya ini, ada sedikitnya 93.285 jiwa umat Katolik yang tersebar di sejumlah wilayah di Propinsi Kalimantan Tengah.
Luas areal wilayah ini adalah 157.983 Km2 atau sekitar 25% dari luas seluruh areal wilayah Indonesia.
Bersama para imam, segenap religius biarawan dan biarawati dan seluruh umat, mantan Rektor Skolastikat MSF 1992-1998 ini berusaha untuk mewujudkan Gereja Keuskupan Palangka Raya yang mandiri dalam bidang iman, tenaga dan dana agar umat dapat mengungkapkan dan mewujudkan iman akan Allah dengan benar, mantap, konsekuen dan penuh tanggungjawab.
Mgr. Sutrisna sangat disiplin dalam melaksanakan tugas serta mengatur ritme hidupnya. Ia adalah pribadi yang supel, hangat, berwawasan luas, mendengarkan, humoris dan rendah hati.
Dalam kesehariannya, ia konsisten dalam melaksanakan tugas dan jadwalnya. Setelah sarapan, makan siang atau makan malam, beliau menyempatkan diri kurang lebih 30 menit untuk berjalan-jalan di sekitar halaman, sambil mengamati hijau tumbuhan yang ia tanam. Sore hari, sebelum potus et cibus (minum, snack), beliau memberi makan ikan-ikan di sekitar 20 kolam.
Tidak mengherankan, kawasan keuskupan menjadi seperti ‘hutan kota’ yang ditanami beraneka ragam buah-buahan dan kolam berbagai jenis ikan.
Beliau menjadi ‘tukang kebun’ dalam mewujudkan visi-misi Keuskupan Palangka Raya dalam bidang ekologi yakni melestarikan alam dengan pelbagai usaha bersama dengan semua pihak yang memiliki kepedulian yang searah.