SALAH satu pokok bahasan yang menarik dan ‘mengguncang’ para pastor adalah semacam ‘rekomendasi’ moral agar para pastor pun perlu bertobat dan mawas diri. Utamanya, imbauan umum agar para pastor mulai berani meninggalkan sikap arogan, tendensi menghakimi, dan sikap mereka yang sering tidak mau mendengarkan baik ‘suara hatinya’ sendiri maupun kegelisahan umatnya. Persisnya adalah sikap para pastor yang cenderung ‘tidak mau tahu’ dan merasa diri ‘paling benar’ manakala berhadapan dengan kasus-kasus perkawinan dan reksa pastoral keluarga.
Issue ini mengemuka dalam sidang SAGKI di hari ketiga (Rabu tanggal 4 November 2015), ketika muncul kesaksian berani dari seorang narasumber yang mengaku harus pindah paroki karena stigma negatif yang telanjut melekat padanya: janda muda.
Karena tidak tahan mendengar khasak-khusuk di antara umat parokinya dan belum lagi juga mendapat perlakukan kurang oke di depan pastor parokinya sendiri, ibu janda muda ini memutuskan pindah paroki agar hatinya lebih tenang menghadapi hari-hari sulitnya.
Perlu pertobatan pastor
Menjadi lebih menarik lagi, ketika ahli Hukum Gereja dan anggota Tribunalis Keuskupan Agung Jakarta Romo Y. Purbo Tamtomo memberi respon atas beberapa kasus perkawiinan katolik di tlatah KAJ yang pernah dia temui, urus, dan mencari solusinya. Singkat kata, katanya, “Para pastor pun juga perlu bertobat.”
Sejak sharing tentang pergumulan batin pasangan dalam hidup perkawinan dipaparkan dan kemudian mendapat tanggapan ahli dan simpati dari audiens, maka lalu mengemuka semaca ‘seruan’ agar para pastor pun perlu bertobat dalam reksa pastoral keluarga. Utamanya, cara pendekatan pastor dalam menyapa, menangani, membereskan kasus-kasus perkawinan katolik yang kandas di tengah jalan membina biduk perkawinan (cerai atau masalah lainnya).
Bahkan, Maria Loretha, seorang motivator penggerak kegiatan ketahanan pangan berbahan dasar bibit lokal yakni canthel (sorghum) secara berseloroh malah berujar demikian. Di Flores, NTT, katanya, ketika banyak pastor paroki sering disebut ‘tuan’, maka “Saya lebih suka dan nyaman bertemu dengan para bupati daripada pastor paroki”.
Angin segar di KAJ
Oleh-oleh dari Sinode Biasa tentang Keluarga di Roma, Oktober 2015, juga membawa angin segar. Setidaknya seperti diungkapkan oleh Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo. Bersama koleganya ,Mgr. Fransiskus Kopong Kung dari Keuskupan Larantuka di Flores (NTT), ia menjadi utusan resmi Gereja Katolik Indonesia dalam Sinode Biasa tentang Keluarga ini.
Dalam kapasitasnya sebagai Uskup Agung Jakarta, demikian paparan Mgr. Ignatius Suharyo, pihaknya akan ‘meninjau’ kembali kebiasaan yang hingga saat ini masih ada di gereja-gereja katolik di KAJ. Yakni, pengumuman menjelang sambut komuni dimana dinyatakan siapa-siapa saja yang ‘berhak’ sambut komuni dan yang tidak.
Yang tidak ‘berhak’ di antaranya adalah mereka yang mengalami masalah dalam perkawinan: duda cerai, janda cerai, dan masih banyak lagi,
Terhadap hal ini, Mgr, Ignatius Suharyo mengatakan, pihaknya agar segera membicarakan hal ini dengan para pastor di KAJ untuk melakukan reksa pastoral yang baik dan tepat. Ini seiring dengan gerak batin Gereja Universal yang mengambil sikap lebih ‘bersahabat’ ketika menghadapi problema hidup perkawinan yang dialami banyak pasangan nikah katolik ini.
Barangkali imbauan agar para pastor pun perlu bertobat ini merupakan salah satu ‘buah rohani’ forum SAGKI ke-4 tahun 2015. Inilah momennya, ketika tiba-tiba para pastor merasa ‘terhakimi’ oleh forum Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia dan kemudian muncul seruan agar mereka ini pun juga perlu bertobat.
Kredit foto: Ilustrasi (Yohanes Indra/Dokpen KWI)
Yang tidak ‘berhak’ di antaranya adalah mereka yang mengalami masalah dalam perkawinan: duda cerai, janda cerai, dan masih banyak lagi, <<<< perlu diperjelas lagi nih…..
USKUP-USKUP Di Indonesia pun perlu bertobat dulu. Pastur secara hierarki karena adanya Keuskupan.
USKUP USKUP di Indonesia memang tak perlu bertobat? Uskup uskup di Indonesia bertobat dulu. Para pastor ada hierarki. Hierarki ….Ordinaris Wilayah….di Keuskupan.
Bahkan, Maria Loretha, seorang motivator penggerak kegiatan ketahanan pangan berbahan dasar bibit lokal yakni canthel (sorghum) secara berseloroh malah berujar demikian. Di Flores, NTT, katanya, ketika banyak pastor paroki sering disebut ‘tuan’, maka “Saya lebih suka dan nyaman bertemu dengan para bupati daripada pastor paroki”.
_______________
Emangnya salah ya kali pastor disebut “tuan”?
Toh sebutan untuk imam diosesan adalah “Reverendus Dominus” yg artinya adalah “tuan yang terhormat”.
Maria Loretha… oh Maria Loretha… please belajar bahasa Latin dulu sebelum cuap-cuap. Kalo lebih nyaman bertemu dengan para bupati daripada pastor paroki, silakan Saudari meminta pelayanan sakramen kepada para bupati saja.
Walaupun para imam adalah manusia biasa seperti Saudari, namun ingatlah bahwa para imam telah diberikan meterai Ilahi yang kekal melalui Sakramen Imamat. Layakkah seorang awam seperti Saudari melecehkan martabat imamat seperti itu?
Lord, have mercy on her soul!
Bahkan, Maria Loretha, seorang motivator penggerak kegiatan ketahanan pangan berbahan dasar bibit lokal yakni canthel (sorghum) secara berseloroh malah berujar demikian. Di Flores, NTT, katanya, ketika banyak pastor paroki sering disebut ‘tuan’, maka “Saya lebih suka dan nyaman bertemu dengan para bupati daripada pastor paroki”.
————————
Emangnya salah jika seorang pastor paroki disebut “tuan”? Jika salah, tunjukkanlah di mana salahnya!
Toh sebutan untuk imam diosesan adalah “Reverendus Dominus” yang artinya “Tuan yang terhormat.
Maria Loretha… oh Maria Loretha, please belajar bahasa Latin dulu sebelum berkomentar, darpada Saudari mempermalukan diri sendiri.
Jika Saudari lebih suka dan nyaman untuk bertemu dengan para bupati, silakan Saudari meminta pelayanan Sakramen dari para bupati saja.
Walaupun para imam adalah manusia biasa seperti Saudari, namun ingatlah bahwa para imam telah menerima meterai Ilahi dalam Sakramen Imamat. Maka, pertanyaan saya adalah… layakkah seorang awam seperti Saudari melecehkan martabat Imamat para imam?
Lord, have mercy on her soul!
Konteksnya bukan soal bahasa latin atau apa. Tapi konteks sosialnya adalah sikap jaim para imam ketika berhadapan dengan umat.