Senin, 26 September 2022
- Ayb. 1:6-22.
- Mzm. 17:1,2-3,6-7.
- Luk. 9:46-50.
PERSAINGAN bisa terjadi dimana saja. Di panggung politik, di kantor, di keluarga, di pertemanan bahkan dalam kehidupan beragama.
Mungkin bukan hal yang aneh ketika mendengar bahwa sesama teman bisa saling bersaing, saling sikut; bahkan kemudian saling sikat karena persaingan untuk menduduki tempat tertinggi.
Dalam sebuah persaingan pasti ada yang menang dan kalah. Untuk menjadi pemenang sering kali ada yang sengaja mengorbankan teman. Menjatuhkan orang lain supaya nilai diri kita terangkat.
“Saya kadang tidak habis pikir, mengapa ada orang yang selalu mau menjadi oposisi, menjadi pesaing,” kata seorang bapak.
“Semua keputusan yang disahkan oleh sang ketua, selalu ditentang, tidak diterima,” lanjutnya.
“Dia membuat kelompok di dalam kelompok, hingga siapa pun pemimpinnya jika tidak mau merangkul kelompoknya, akan tetap diserang,” ujarnya.
“Maka, sebaik apa pun program dari pengurus akan mentah kalau pun jalan pasti berdarah-darah karena digerogoti dengan trik dan isue serta gosip yang sengaja mereka hembuskan,” sambungnya.
“Namu giliran mereka diminta ikut atau menjadi pemimpin, mereka tidak bersedia,” uraiannya.
“Seakan ada rasa iri jika orang lain bahagia dan sukses,” lanjutnya.
“Persaingan yang ada sebenarnya hanya untuk memperembutkan panggung dari orang-orang yang sebenarnya pecundang,” katanya.
“Mereka ingin diakui esistensinya, tidak ingin dilupakan dan masih ingin punya pengaruh, namun tidak punya nyali untuk berjalan memimpin di depan,” tegasnya.
“Orang-orang itu hanya ingin menari dengan genderang yang ditabuhnya sendiri namun melawan dan berontak ketika harus ikut irama yang ditabuh orang lain,” paparnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Maka timbullah pertengkaran di antara murid-murid Yesus tentang siapakah yang terbesar di antara mereka.
Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka. Karena itu Ia mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya.”
Ketika mengetahui murid-murid-Nya bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka, Yesus malah mengambil seorang anak kecil sebagai contoh bagi para murid.
Dari sini kita bisa melihat bahwa cara Bapa memandang siapa yang terbesar ternyata berbeda dengan cara dunia.
Kalau dunia melihat siapa yang terpenting mungkin berdasarkan kehebatan, kekuatan, kekayaan, kepintaran, koneksi dan sebagainya, tidak demikian dengan Bapa.
Seorang anak kecil menggambarkan orang yang powerless, orang yang tidak punya apa-apa secara dunia, orang yang mungkin dianggap remeh oleh orang lain, atau tidak berdaya,tetapi orang seperti inilah yang dipilih oleh Yesus.
Jika terpaksa harus bersaing marilah kita bersaing secara sehat. Persaingan yang terjadi mestinya bisa menjadi sebuah dorongan untuk mendewasakan pribadi kita ke arah yang lebih baik.
Bersaing secara sehat seperti itu bisa mempererat hubungan pertemanan dan menjadi pelajaran untuk menjadi seorang teman dan sahabat yang lebih baik lagi.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku cukup rendah hati untuk dipimpin?
Menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, dipimpin pun tidak semua orang mau bahkan sebenarnya tidak bisa memimpin…., Hal-hal yang konyol tetapi di anggap wajar oleh sekelompok orang tertentu karena tidak mau di pimpin dan nga mampu memimpin.
Sebenarnya enak dipimpin bagi orang yang tidak memiliki visi misi hidup nya. Tetapi bagi dia yang memiliki visi misi yang besar akan selalu berjuang dengan baik untuk mewujudkan impian tersebut. Dan saya berusaha untuk tetap rendah hati menerima pemimpin yang ada