Bacaan 1: Mal 3:1-4
Bacaan 2: Ibr 2:14-18
Injil: Luk 2:22-40
Sehubungan dengan kelahiran anak, dalam masyarakat Jawa memiliki upacara selapanan. Merupakan bentuk rasa syukur atas berkat dan keselamatan yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada sang bayi maupun ibu yang melahirkannya.
Selapanan dilakukan saat bayi berumur tiga puluh lima hari, biasanya rambut dan kukunya dipotong. Selapanan juga sebagai pengingat bahwa anak sudah bertambah umur dan mulai mengalami suatu perubahan, baik perubahan fisik, batin atau mental.
Berbeda dengan masyarakat Jawa maka di Yahudi juga memiliki tradisi saat bayi sulung laki-laki berumur empat puluh hari.
Pada saat tersebut, bayi dibawa ke Bait Allah untuk dipersembahkan (dikuduskan) kepada Allah. Sebagai bentuk ketaatan umat Yahudi terhadap “Perjanjian” dengan Allah.
“Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah,” demikian tertulis dalam Kitab Suci.
Pada acara ini juga dipersembahkan ungkapan syukur kurban binatang menurut status sosialnya. Sebagai warga kurang mampu maka Yusuf dan Maria, hanya mempersembahkan sepasang burung Tekukur dan sepasang burung Merpati. Sedangkan bagi yang mampu, biasanya mempersembahkan anak domba.
Maria memahami bahwa Yesus adalah Anak Domba Allah, persembahan sejati yang akan menebus umat manusia dari dosanya dalam kematian-Nya di kayu salib.
“…supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut;…”
Demikian penulis surat Ibrani memberikan peneguhannya kepada jemaat Yahudi Kristen yang mengalami penganiayaan dan penderitaan dari orang-orang Yahudi non-Kristen.
Peristiwa persembahan bayi Yesus di Bait Allah merupakan penggenapan nubuat Maleakhi,
“Dengan mendadak Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya! Malaikat Perjanjian yang kamu kehendaki itu, sesungguhnya, Ia datang, firman TUHAN semesta alam.”
Persembahan bayi Yesus di Bait Allah ini terus dihadirkan Gereja Katolik hingga hari ini dalam Misa sebagai “Persembahan Kurban Anak Domba Allah”.
Pesan hari ini
Persembahan bayi Yesus di Bait Allah semoga menjadi teladan bagi para orang tua agar secara tulus mau menyerahkan anak mereka sebagai persembahan terbaik untuk berbakti kepada Tuhan, melayani dan memuliakan nama-Nya.
“Hidup bukan tentang menunggu badai berlalu, tetapi belajar menari di tengah hujan.”