Ada beberapa pertanyaan dari pembaca mengenai Yoh 8:1-11:
TANYA: Bagaimana sih kok pendosa zinah dilepas begitu saja dan habis perkara? Apa tidak aneh?
JAWAB: Memang akan kurang masuk akal bila petikan itu dibaca sebagai peristiwa pengadilan. Tetapi peristiwa yang dikisahkan bukan pengadilan .(Tidak seperti pengadilan Yesus di hadapan Mahkamah Agama nanti yang memang pengadilan). Penghakiman tidak dijalankan di Bait Allah. Yang dilakukan di situ ialah ibadat, perlindungan, dan pengajaran dalam ujud dialog atau simposium atau seminar para ahli agama. Nah dalam suatu seminar seperti itu tampillah guru-guru ternama seperti Yesus, ahli Taurat & orang Farisi, dan perempuan pezinah yang mereka datangkan sebagai narasumber otentik bagi studi kasus mereka. Dalam kesempatan ini ada juga banyak pengikut dan murid yang dalam Yoh 8:2 disebut “orang banyak/rakyat”. Mereka belajar dari kepintaran guru-guru tadi. Karena situasi ini bukan situasi pengadilan dan bukan tindak lanjut penggerebekan tempat zina, tidak ada risiko bahwa perempuan itu akan betul-betul dilempari batu menurut hukum rajam seperti termaktub dalam Ul 22:21-24.
Namun demikian, seminar itu bukan sekadar anggar kata mengenai perzinahan dengan tiga profesor kondang yang bila selesai ya bubar, lalu orang ambil piagam untuk dapatkan kredit guna kenaikan pangkat. Peristiwa itu langsung berdampak pada sikap hidup masing-masing peserta. Yesus berhasil menghadapkan ahli Taurat dan orang Farisi ke suara batin mereka sendiri seperti dijelaskan dalam ulasan di atas. Dan ini terjadi di Bait Allah, bukan di ruang pengadilan. Hal ini penting disadari penafsir. Dalam pengadilan yang sungguh, juga di kalangan orang Yahudi dulu, perasaan hakim, penuduh, pembela tidak bisa berperan langsung. Para anggota Sanhedrin yang mendakwa Yesus menghujat memang tidak bisa lain kecuali mendakwa menurut hukum mereka. Jadi peristiwa kali ini bukan kisah pengadilan pezinah melainkan kisah penjernihan suara hati manusia dalam rangka menyiapkan diri memahami peristiwa paskah Yesus nanti. Maka hal yang disebut dalam ayat 2 bahwa peristiwa ini terjadi di Bait Allah dan dalam rangka pengajaran amat penting bagi penafsiran warta petikan ini.
—————————————————–
TANYA: Apa “melempari dengan batu” (Yoh 8:5 dan 7) itu sama dengan praktek “hukum rajam”?
JAWAB: Ancaman dirajam sampai mati termaktub dalam Taurat, juga dalam kasus perzinahan, lihat Ul 22:21-24, bandingkan Yehezkiel 16:40 23:47. Beberapa tindak pidana lain juga dikenai sanksi rajam sampai mati: menyembah berhala: Ul 13:10 17:5; menghujat Tuhan Im 24:14 bdk. Yoh 10:33; mengorbankan anak: Im 20:2; praktek jalangkungan & nini thowokan Im 20:27; melanggar hari Sabat: Bil 15:32-36 dan beberapa kasus lain. Namun apakah ancaman hukuman mati dengan rajam bisa divoniskan begitu saja dan sungguh dieksekusikan adalah perkara lain. Pertama-tama boleh dicatat bahwa bagi orang Yahudi dari zaman ke zaman hukum kasuistik (“bagi perkara X, hukumnya Y”) dalam Taurat lebih berfungsi sebagai sumber “berteologi” dan tidak diberlakukan begitu saja sebagai pasal-pasal hukum KUHP. Mereka memiliki semacam KUHP yang rinci yang dijabarkan dari Taurat, dan kemudian dikenal antara lain dengan nama Misyna. Hukum-hukum yang ada di dalamnya perlu dipelajari dengan komentar para yurist mereka. Di situ ada aturan-aturan rumit cara mempidana orang. Ada peraturan yang tidak memudahkan orang bisa dikenai hukuman begitu saja. (Misalnya hanya bila tertangkap basah, mesti ada lebih dari satu saksi, dst.) Juga ada beberapa aturan pelaksanaan atau eksekusi dengan tenggang waktu cukup lama agar memungkinkan pengampunan pada hari raya tertentu.
Dalam pelbagai masyarakat di pelbagai kebudayaan, ancaman atau sanksi hukuman yang amat keras sering tidak dijalankan harfiah. Ini memiliki dampak pada teologi. Nabi-nabi Perjanjian Lama dulu berbicara mengenai ketaksetiaan Israel yang ipso facto mestinya mendatangkan kehancuran umat (=putusan hukuman mati), tetapi belas kasihan Tuhan menyelamatkan umat dari kehancuran total. Di Firdaus difirmankan, bila makan buah pengetahuan baik dan buruk akan mati seketika. Tetapi Hawa dan suaminya tidak mati seketika walaupun makan buah itu. Kesimpulan teologis yang bisa ditarik pembaca: Tuhan berbelaskasihan sehingga hukuman yang ditetapkanNya sendiri diubahNya menjadi “nasib” ular, wanita dan lelaki dan pengusiran dari Firdaus pada akhir Kej 3. Tetapi, sebelum itu, perhatikan Kej 3:21, Tuhan yang baru saja menjatuhkan firman kutukan tadi itu tiba-tiba berubah menjadi penuh perhatian kembali kepada manusia. Ia membuatkan manusia dan istrinya pakaian dari kulit binatang dan “mengenakannya kepada mereka”, artinya, ia mengukur persis persis bahu, dada, lengan, pinggul ke bawah, sehingga pakaian kulit binatang itu tidak kedodoran.
——————————————————–
TANYA: Ada yang pernah mendengar penjelasan sbb.: “…..batu yang dilempar itu bukan batu besar, tapi batu kecil-kecil. Batu tersebut tidak ditujukan ke badan/tubuh si wanita, melainkan dilempar ke depannya. Orang yang yang melempar batu menyatakan setuju wanita itu harus dihukum mati dan dibawa ke penguasa Romawi agar hukuyman disahkan. Jadi batu itu sebagai alat menghitung (seperti voting).” Bagaimana pendapat Romo tentang tafsiran ini?
JAWAB: Tafsir itu akibat kerancuan degan praktek “membuang undi” dalam meramal atau mengundi barang yang dadunya bisa dibayangkan besarnya seperti kerikil…! Memang lembaga peradilan Yahudi pada zaman Yesus tak berhak menjatuhkan hukuman mati. Bila menurut hukum mereka memang harus dikenai pidana mati,maka perlu dibawa dan disahkan oleh penguasa Romawi (lihat juga Yoh 18:31). Tidak dikenal praktek pungut suara di Bait Allah, kalau toh mau dijajaki pendapat para tetua maka akan dilakukan di mahkamah,tidak di Bait Allah.
Salam,
A. Gianto