INI berita yang ‘sangat biasa’ bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng. Berita itu adalah pekan pertukaran mahasiswa. Entah pada tahun berapa ‘tradisi’ ini dimulai. Namun saking ‘biasanya’ maka terkesan ‘biasa-biasa saja’.
Tapi tidak untuk saya. Saya hijrah dari Ternate ke Manado karena konflik sospol yang mengatasnamakan agama pada tahun 1999. Saya juga dibesarkan di kota Manado-Malang dan melayani di Purworejo, yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan sangat laten dengan konflik horisontal.
Karenanya ‘pekan pertukaran’ adalah sesuatu yang ‘luar biasa’ untuk saya.
Hari ini dimulailah secara resmi pekan pertukaran mahasiswa sekolah/institut/universitas agama 2016. Walau, kemarin hari Minggu, para peserta sudah tinggal di komunitas-komunitas yang bernaung di STF-SP (Komunitas Diosesan dan Komunitas Skolastikat MSC).
Pekan pertukaran berlangsung 11-17 April 2016 di banyak tempat: Seminari Tinggi Filsafat Pineleng, Universitas Kristen Indonesia Tomohon, STAKN Manado dan IAIN Manado.
Para peserta terdiri dari mahasiswa/mahasiswiSTF-SP (Seminari Pineleng), Institut Agama Islam Negeri Manado, Universitas Kristen Indonesia Tomohon (para calon pendeta, umumnya aliran calviniss, seperti GMIM, GMIST, GErmita, GPD, GPI Gorontalo, GMIBM, GMIH dll) , STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Nasional.
Para calon pendeta dan guru agama dari lintas sinode) dan STT Parakletos (para calon pendeta aliran Pentakostal, khususnya Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah). Saya sendiri belum mendeteksi kehadiran para peserta dari Universitas Klabat (para calon pendeta Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh).
Seminar, biasanya, dibuat di beberapa tempat yang menjadi tuan rumah live-in. Di STF-SP para pembicara terdiri dari perwakilan IAIN yakni Pak Delus (calon doktor dari Universitas Boston, AS), perwakilan dari UKIT yakni Pak Denny Pinontoan (dosen UKIT dan pemerhati budaya Minahasa), perwakilan STF-SP yakni RP. Sujoko MSC dan perwakilan dari STT Parakletos.
Semuanya, tentu saja, berbicara tentang agama, toleransi, menyoroti situasi dunia saat ini yang penuh dengan teror atas nama agama dan peran dunia akademik dalam perdamaian dunia.
Saya tidak bisa menulis secara lengkap, karena walaupun ini luar biasa bagi saya, tanggung jawab sudah menanti saya di Percikan Hati.
Akhirnya, semoga dengan pekan pertukaran ini, para peserta semakin menghayati kata-kata yang terkenal di bumi nyiur melambai ini, “Torang Samua basudara”.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)