SUATU siang, di sebuah restoran bakmi terkenal di PIM-1, Bambang Legowo, Sari, dan saya terlibat percakapan omong kosong. Mereka adik kelas di SMA Semarang, sekian puluh tahun lampau.
Kelihatannya baik-baik saja. Cerita-cerita nostalgia selalu menarik untuk ditertawakan bersama.
Sampai tiba waktu pesan makanan.
Berbeda dengan ketika terakhir ke sana, kali ini daftar menu harus diakses melalui QR Code atau aplikasi. Tak ada lagi kertas yang harus diconteng.
Bambang mengambil alih tugas itu.
Makanan utama berhasil diklik.
Masalah muncul saat memesan minuman.
Bertiga tak berhasil memasukan pilihan minuman ke dalam aplikasi. Dicoba beberapa kali, tetap gagal. Menunggu beberapa lama, tak juga berhasil.
Kami menyerah. Pramusaji dipanggil.
Dalam waktu kurang dari tiga menit, proses pemesanan usai. Tinggal tunggu makanan datang.
Saya menggumam perlahan.
Seandainya Rio (anak laki-laki dari Bambang yang berusia sekira 20 an tahun) ada di sini, hiruk-pikuk barusan tak akan terjadi.
Ada yang membedakan kami dengan Rio.
Kami, dari generasi X atau “Babby Boomers”, sementara Rio lahir sebagai generasi milenial atau Z. Kami adalah “digital immigrant”, Rio “digital native”. (Marc Prensky, On the Horizon, 2001).
Aplikasi sederhana menjadi rumit ketika pelakunya para “immigrant”. Itu karena kami lahir jauh sebelum era internet.
Saya melihat kalkulator sederhana dengan bodi yang lebar dan tebal, pertama kali, sekira usia 20 tahun. Gaizka, cucu saya, sudah bisa mengoperasikan ponsel untuk menonton YouTube, ketika belum genap 3 tahun.
Lain lagi cerita tentang Poetoet (baca : Putut). Kami bertemu di halal bi halal komunitas ITB-74 pekan lalu.
Saat acara sedang gegap gempita, Poetoet sibuk mengoperasikan ponselnya. Dia sedang berusaha membeli tiket KA melalui aplikasi KAI. Entah mau ke mana.
Proses macet saat Poetoet harus melakukan pembayaran. Berkali-kali gagal, meski dicoba dengan beberapa alternatif bank dengan bermacam alat pembayaran.
Ketika acara menjelang usai, Poetoet baru berhasil mengatasi handikap yang dihadapinya.
Cerita-cerita lucu dengan senyum kecut muncul gara-gara tak familier dengan perkembangan teknologi yang terus lari kencang, sementara kami tertatih-tatih mengejarnya.
Umi, ART kami, usia sekira 25 tahun, lulusan SD di Purbalingga, jauh lebih piawai membeli online, atau memesan ojol, dibanding kami yang kadang banting-tulang menyelesaikan prosesnya. Itu pun tak jarang diwarnai salah klik atau keliru pilih barang.
Ini bukan soal kesenjangan pendidikan (formal). Tetapi karena revolusi digital telah melahirkan perubahan eksponensial, sementara manusia diciptakan “hanya mampu” berkembang secara linier.
Dokter ahli senior banyak yang enggan menggunakan sistem aplikasi di Rumah Sakit lantaran dianggap membingungkan. Apa boleh buat, e-resep terpaksa diketik oleh perawat yang usianya jauh lebih muda.
Perubahan naik atau turun 10% adalah proses (perubahan) linier, tapi bila besarnya 10 kali, itu perubahan eksponensial. Fenomena itu yang sedang terjadi di dunia saat ini.
“The incremental is linear and additive, while the exponential is non-linear and multiplicative. While the incremental is about 10% improvements, the exponential is about 10X acceleration.”
Ref: https://www.shift.to/essentials-guidebook/10-percent-to-10x#:~:text=Incremental%20change%20(10%25)%20is,exponential%20is%20about%2010X%20acceleration
Umi dan Gaizka dimudahkan menghadapi perubahan eksponensial karena mereka adalah “native”.
Sementara Poetoet terpaksa mengabaikan acara nostalgia lantaran dia “immigrant”. Ini semua gara-gara “binatang” teknologi yang liar melejit ke mana-mana.
“Teknologi, di satu sisi, memudahkan manusia, tetapi di sisi lain merepotkan manusia. Teknologi bukan hanya membantu manusia menyelesaikan berbagai persoalan, melainkan juga menghadapkan manusia pada berbagai persoalan baru” (Usman Kansong, Kompas, 11 Mei 2023, halaman 6)
Tak hanya itu, artificial intelligence, sebut saja salah satunya, ChatGPT, memporak-porandakan proses berpikir manusia yang berubah tanpa pola. Apa saja yang ditanya manusia, mampu dijawab komputer dengan sangat lengkap dan canggih.
Soal kualitas jawabannya, tak ada satu pun yang menjamin kesahihannya.
Sekali lagi, para “immigrant“ akan semakin jauh dari dunia maya. Tapi hati-hati, mereka yang saat ini menyandang predikat “native”, sebentar lagi tiba-tiba akan berubah menjadi “immigrant“, karena manusia diciptakan dengan proses linier.
“We, humans, think linearly, but technology trends are exponential”. – Vinod Khosla, pendiri Sun Microsystem
@pmsusbandono
18 Mei 2023