Saudari-saudara terkasih,
Pada tanggal 8 Desember yang lalu, peringatan 150 tahun pemakluman Santo Yosep sebagai Pelindung Gereja Universal; juga menandai permulaan Tahun Santo Yosep (bdk. Dekrit Lembaga Penitensiaria Apostolik, 8 Desember 2020).
Dari pihak saya, saya menulis Surat Apostolik Patris Corde yang bertujuan untuk “meningkatkan cinta kita kepada santo agung ini.”
Santo Yosep adalah figur luar biasa, sekaligus merupakan tokoh yang “sangat dekat dengan pengalaman manusiawi kita.”
Ia tidak melakukan hal-hal yang mencengangkan, tidak memiliki karisma khusus, atau juga dia tidak tampak istimewa di mata orang-orang yang berjumpa dengannya.
Ia tidak terkenal atau tidak banyak tercatat: bahkan Injil tidak menyampaikan satu pun kata yang keluar dari Santo Yosep.
Meski demikian, melalui hidup kesehariannya, Santo Yosep mencapai sesuatu yang luar biasa di mata Tuhan.
Allah melihat hati (bdk. 1 Sam. 16:7) dan dalam diri Santo Yosep. Ia mengenali hati seorang bapa, mampu memberi, dan membuahkan kehidupan di tengah-tengah rutinitas hidup sehari-hari.
Panggilan memiliki tujuan yang sama: melahirkan dan memperbarui hidup setiap hari. Tuhan ingin membentuk hati bapa dan ibu: hati yang terbuka, mampu melakukan inisiatif-inisiatif yang besar, murah hati dalam memberikan diri, berbelarasa dalam menenteramkan kecemasan, dan teguh dalam memperkuat harapan.
Imamat dan hidup bakti sangat membutuhkan kualitas-kualitas ini sekarang;
- di zaman yang ditandai dengan kerapuhan, tetapi juga dengan penderitaan karena pandemi;
- yang telah melahirkan ketidakpastian dan ketakutan akan masa depan dan makna hidup yang sebenarnya.
Santo Yosep datang menjumpai kita dengan caranya yang lembut sebagai salah seorang kudus di antara “Para Kudus dari pintu sebelah”.
Pada saat yang sama, kesaksiannya yang kuat dapat membimbing perjalanan hidup kita.
Santo Yosep memberikan tiga kata kunci bagi setiap panggilan.
Yang pertama adalah mimpi. Setiap orang bermimpi menemukan kepenuhan hidup. Kita sudah sepantasnya memupuk harapan-harapan besar, cita-cita luhur yang tidak dapat dipenuhi oleh tujuan-tujuan sementara seperti kesuksesan, uang dan hiburan.
Jika kita meminta orang menyebutkan dalam satu kata impian hidup mereka, tidaklah sulit membayangkan jawabannya: “untuk dicintai”.
Cinta itulah yang memberi makna pada hidup, karena cinta menyingkapkan misteri hidup. Memang, kita hanya memiliki hidup jika kita memberikannya; kita sungguh-sungguh memilikinya hanya jika kita dengan murah hati membagikannya.
Santo Yosep memiliki banyak hal untuk mengatakan pada kita dalam hal ini, karena, melalui mimpi yang Tuhan bisikkan padanya, dia menjadikan hidupnya sebagai sebuah anugerah.
Injil menyampaikan empat mimpi (bdk. Mat. 1:20; 2:13.19.22).
Mimpi-mimpi itu adalah panggilan dari Allah, tetapi tidak mudah untuk menerimanya. Setiap sesudah mimpi, Yosep mengubah rencana-rencananya dan berani mengambil risiko, dengan mengorbankan rencana-rencananya sendiri untuk mengikuti rencana misteri Allah, yang kepada-Nya dia percaya sepenuhnya.
Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, “Mengapa begitu mempercayai mimpi?”
Meskipun mimpi dianggap sangat penting pada zaman dahulu, mimpi masih merupakan suatu hal kecil dalam menghadapi realitas hidup nyata.
Namun, Santo Yosep membiarkan dirinya dibimbing oleh mimpinya tanpa ragu.
Mengapa? Karena hatinya tertuju kepada Allah; sudah condong terarah pada-Nya. Sebuah indikasi kecil cukup bagi “telinga batinnya” yang peka mengenali suara Tuhan. Hal ini berlaku juga bagi panggilan kita: Allah tidak ingin menyatakan diri-Nya dalam cara-cara yang spektakuler, yang membelenggu kebebasan kita.
Ia menyampaikan rencana kehendak-Nya kepada kita dengan kelembutan. Ia tidak membanjiri kita dengan berbagai penglihatan yang memesona, namun berbisik di lubuk hati, mendekati kita dan berbicara melalui akal budi dan rasa.
Dalam cara ini, seperti yang Ia lakukan pada Santo Yosep, Ia menunjukkan kepada kita cakrawala yang mendalam dan tak terduga.
Memang, mimpi Yosep membawanya ke pengalaman-pengalaman yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Yang pertama menjungkirbalikkan pertunangannya, tetapi kemudian membuatnya menjadi bapa Mesias;
Yang kedua menyebabkannya mengungsi ke Mesir, namun menyelamatkan hidup keluarganya. Setelah mimpi ketiga, yang meramalkan kepulangan ke tanah kelahirannya, mimpi keempat membuatnya mengubah rencananya sekali lagi, membawanya ke Nazaret, tempat di mana Yesus akan memulai pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah.
Di tengah semua pergolakan ini, dia menemukan keberanian untuk mengikuti kehendak Tuhan. Begitu pula dalam panggilan: panggilan Tuhan selalu mendesak kita untuk mengambil langkah pertama, untuk memberikan diri kita sendiri, terus melangkah maju. Tidak ada iman tanpa risiko.
Hanya dengan menyandarkan diri kita sendiri pada rahmat, mengesampingkan program hidup dan kenyamanan kita, kita benar-benar dapat mengatakan “ya” kepada Tuhan. Dan, setiap “ya” melahirkan buah karena menjadi bagian dari rencana yang lebih besar, darinya kita hanya memandang detalnya, tetapi yang diketahui dan dijalankan Sang Seniman Ilahi, menjadikan setiap kehidupan sebagai sebuah mahakarya.
Dalam hal ini, Santo Yosep adalah teladan unggul penerimaan rencana Allah. Namun, ia menerimanya dengan aktif: tidak pernah enggan atau pasrah.
Yosep “bukan orang yang mundur dengan pasif, tetapi pelaku yang berani dan kuat” (Patris Corde, 4).
Semoga ia membantu setiap orang, khususnya orang-orang muda yang sedang mencari, untuk mewujudkan kehendak Tuhan bagi mereka. Semoga ia menginspirasi dalam diri mereka keberanian berkata “ya” kepada Tuhan yang selalu mengejutkan dan tidak pernah mengecewakan.
Kata kedua menandai perjalanan dan panggilan Santo Yosep: melayani.
Injil memperlihatkan bagaimana Yosep memberikan hidup sepenuhnya bagi orang lain dan tidak pernah bagi dirinya sendiri. Umat Allah yang kudus memanggilnya sebagai pasangan yang paling suci, yang didasarkan pada kemampuannya untuk mencintai tanpa syarat. Dengan membebaskan cinta dari semua sikap posesif, ia menjadi terbuka untuk pelayanan yang lebih berbuah.
Perhatian penuh kasihnya telah membentang di sepanjang generasi; penjagaannya yang penuh kewaspadaan telah menjadikannya pelindung Gereja.
Sebagai seorang yang tahu bagaimana mewujudkan makna pemberian diri dalam hidup, Yosep adalah juga pelindung kematian yang bahagia.
Namun, pelayanan dan pengurbanannya hanya mungkin karena ditopang oleh cinta yang luar biasa: “Setiap panggilan sejati lahir dari pemberian diri, yang merupakan buah kematangan dari pengorbanan sederhana. Imamat dan hidup bakti membutuhkan kematangan seperti itu.
i mana suatu panggilan, apakah perkawinan, selibat atau keperawanan, tidak mencapai kematangan pemberian diri, itu berhenti hanya pada logika pengorbanan. Kemudian, alih-alih menjadi tanda keindahan dan sukacita kasih, itu justru berisiko mengungkapkan ketidakbahagiaan, kesedihan, dan frustrasi (ibid., 7).
Bagi Santo Yosep, melayani –sebagai ungkapan nyata pemberian diri– tidak sekedar keteladanan sempurna, tetapi menjadi aturan hidup sehari-hari. Dia berusaha keras menemukan dan menyiapkan tempat bagi kelahiran Yesus; dia melakukan yang terbaik untuk melindungi-Nya dari angkara murka Herodes dengan segera mengungsi ke Mesir; dia cepat-cepat kembali ke Yerusalem ketika Yesus hilang; dia menopang hidup keluarganya dengan bekerja, bahkan ketika berada di negeri asing.
Singkatnya, dia menyesuaikan diri pada setiap keadaan yang berbeda dengan sikap tanpa putus asa ketika hidup tidak berjalan sesuai yang diharapkan; dia memperlihatkan kesiapsediaan yang khas bagi mereka yang hidupnya untuk melayani.
Dengan cara inilah, Yosep menyambut perjalanan hidup yang sering terjadi tak terduga: dari Nazareth ke Bethlehem untuk sensus, kemudian ke Mesir dan kembali ke Nazareth, dan setiap tahun ke Yerusalem. Setiap saat ia siap sedia menghadapi keadaan-keadaan baru tanpa mengeluh, selalu siap mengulurkan tangannya untuk membantu menyelesaikan situasi.
Kita dapat mengatakan bahwa ini adalah uluran tangan Bapa surgawi yang menjangkau Putra-Nya di bumi. Yosep tidak dapat gagal menjadi model semua panggilan, yang dipanggil menjadi tangan-tangan Bapa yang selalu aktif, merengkuh anak-anak-Nya.
Saya kemudian suka memikirkan Santo Yosep, pelindung Yesus dan Gereja, sebagai pelindung panggilan. Pada kenyataannya, dari kesiapsiagaan untuk melayani timbullah perhatiannya untuk melindungi.
Injil menceritakan bahwa “Yosep bangun, mengambil anak itu dan ibunya malam itu juga.” (Mat. 2:14), dengan demikian mengungkapkan kepeduliannya yang sigap untuk kebaikan keluarganya. Ia tidak menghabiskan waktu untuk mengkhawatirkan hal-hal yang tidak dapat ia kendalikan, untuk memberi perhatian penuh pada mereka yang dipercayakan pada pemeliharaannya.
Perhatian yang bijaksana adalah tanda panggilan yang sejati, kesaksian hidup yang dijamah cinta Tuhan. Kita memberikan teladan hidup Kristen yang begitu indah ketika kita menolak mengejar ambisi pribadi atau memanjakan diri dalam berbagai ilusi, tetapi sebaliknya peduli pada apa yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita melalui Gereja.
Tuhan mencurahkan Roh-Nya dan kreativitas-Nya ke atas kita; Ia mengerjakan keajaiban dalam diri kita, seperti Ia kerjakan pada Yosep.
Bersama dengan panggilan Tuhan, yang membuat impian terbesar kita menjadi kenyataan, dan tanggapan kita, yang terwujud dalam pelayanan murah hati dan penuh perhatian, ada karakteristik ketiga dari hidup Santo Yosep dan panggilan kita yaitu kesetiaan.
Yosep adalah “orang tulus hati” (Mat. 1:19) yang setiap hari dengan setia dalam kesunyian melayani Tuhan dan rencana kehendak-Nya. Pada saat yang sulit dalam hidupnya, ia dengan penuh kehati-hatian mempertimbangkan apa yang sebaiknya harus dilakukan (bdk. Ayat 20). Ia tidak membiarkan dirinya grusa grusu.
Ia tidak menyerah pada godaan untuk bertindak gegabah, yang hanya mengikuti naluri atau tindakan sesaat. Sebaliknya, ia merenungkan banyak hal dengan sabar. Ia tahu bahwa kesuksesan hidup dibangun atas kesetiaan yang teguh pada keputusan-keputusan penting.
Hal ini tercermin dalam ketekunannya dalam menjalani pekerjaannya sebagai tukang kayu yang rendah hati (lih. Mat. 13:55), ketekunannya yang tersembunyi yang membuatnya tidak tersiar pada masa hidupnya, tetapi telah menginspirasi hidup keseharian para bapak, pekerja buruh, dan orang-orang Kristen yang tak terhitung jumlahnya sejak saat itu. Karena sebuah panggilan –seperti hidup itu sendiri– menjadi matang hanya melalui kesetiaan sehari-hari.
Bagaimana kesetiaan itu dipupuk? Dalam terang kesetiaan Tuhan sendiri.
Kata-kata pertama yang Santo Yosep dengarkan dalam mimpi adalah undangan untuk tidak takut, karena Allah selalu setia pada janji-janji-Nya: “Yosep, anak Daud, jangan takut” (Mat. 1:20).
Jangan takut: kata-kata ini Tuhan tujukan juga kepada Anda, saudariku terkasih, dan Anda, saudaraku terkasih, kapan pun Anda merasa bahwa, bahkan di tengah-tengah ketidakpastian dan keraguan, Anda tidak dapat lagi menunda hasrat Anda untuk memberikan hidup kepada-Nya.
Ia mengulangi kata-kata ini ketika, mungkin di tengah-tengah pencobaan dan kesalahpahaman, Anda berusaha mengikuti kehendak-Nya setiap hari, di mana pun Anda menemukan diri Anda sendiri. Kata-kata itu adalah kata-kata yang akan Anda dengarkan kembali, pada setiap langkah panggilan Anda, saat Anda kembali kepada cinta pertama Anda.
Kata-kata itu merupakan refren yang menyertai mereka semua yang – seperti Santo Yosep – mengatakan “YA” kepada Tuhan dengan hidup mereka, melalui kesetiaan setiap hari.
Kesetiaan ini adalah rahasia kegembiraan. Sebuah kidung pujian dalam liturgi berbicara tentang “sukacita yang nyata” yang hadir di rumah Nazareth. Itulah sukacita kesederhanaan, sukacita sehari-hari yang dialami oleh mereka yang memelihara apa yang sungguh penting: intimasi dengan Tuhan dan sesama.
Alangkah baiknya jika suasana yang sama ini, sederhana dan berseri-seri, tenang dan penuh harapan, meresapi seminari-seminari kita, rumah-rumah religius, biara dan pastoran.
Saya berdoa supaya Anda mengalami sukacita ini, saudari-saudara terkasih yang dengan murah hati telah membuat Allah impian hidup Anda, melayani-Nya dalam diri saudari- saudara Anda melalui kesetiaan yang menjadi kesaksian kuat pada zaman yang menawarkan pilihan-pilihan dan cita rasa fana yang membawa ketiadaan sukacita abadi.
Semoga Santo Yosep, pelindung panggilan, menyertai Anda dengan hati kebapaannya.
Roma, dari Basilika St. Yohanes Lateran, Pesta Santo Yosep, 19 Maret 2021
Fransiskus