Bisa jadi banyak orang menyebut Suku Asmat itu orang bodoh karena tertinggal. Namun, karya seni ukirnya yang dibuat tanpa mal/model menunjukkan tingkat kecerdasan mereka yang sangat tinggi. Pesta Budaya ke-27 kali ini membuktikannya
20-26 Oktober lalu, Asmat, Kabupaten yang luasnya 23.746 kilometer persegi dan memiliki karakteristik wilayah yang unik dengan Laut Arafuru terbentang sepanjang garis pantai dan payung hijau rimba tropis dikunjungi banyak pendatang dari luar wilayahnya seperti Jakarta, Jerman, dan Australia. Gelaran budaya yang dikenal dengan Pesta Budaya Asmat diselenggarakan di tempat ini.
Meski tak seramai tahun-tahun sebelumnya, pergelaran budaya tahunan ini cukup mengundang perhatian banyak orang. Kegiatan ini tetap ramai dan mengundang banyak perhatian masyarakat Asmat serta kaum pendatang yang tinggal di wilayah Asmat sendiri.
Ragam acara mulai dari pawai dan perarakan hasil ukiran dan anyaman para perajin, pameran ukiran dan anyaman, demonstrasi mengukir dan menganyam dari ratusan para pengukir dan penganyam, pergelaran tari-tarian adat dengan berbagai tema, lelang ukiran dan anyaman hingga lomba ukir perahu dan dayung perahu menyemarakkan acara yang berlangsung.
“Ini merupakan perayaan yang ke-27 dan menghabiskan dana kurang lebih 1 miliar rupiah lebih atas kerjasama Keuskupan Agats dan Pemda Asmat,” ujar Erick Sarkol Ketua Panitia Pesta Budaya kepada SESAWI.NET di Agats.
Sekitar 525 peserta yang terdiri dari pengukir, penganyam, penari dan pendayung perahu dari berbagai distrik di Asmat seperti Pantai Kasuari, Fayit, Atsj, Akat, Agats, Sawa-Erma, dan Suator meramaikan acara ini.
Sejak Februari lalu, persiapan untuk pesta budaya yang dibuka oleh Mgr. Aloysius Murwito OFM ini sudah berjalan. Mulai Agustus hingga pertengahan September, seleksi hasil ukiran di tingkat distrik sudah berlangsung. Lalu pada pertengahan Oktober para peserta dari berbagai distrk dijemput untuk hadir di Agats.
Menurut Erick yang juga kurator Museum Kebudayaan Asmat, kegiatan ini merupakan salah satu upaya agar kerukunan antarkampung dan wilayah di Asmat terjaga. Perlu diketahui, perang antarkampung merupakan hal yang biasa di antara suku Asmat di zaman lampau, bahkan hingga kini. Saat sesawi.net mendatangi wilayah ini, sempat hendak terjadi perang antarkampung gara-gara salah satu anggota kampung meninggal akibat dibabat kampak di kepalanya.
Tak lagi telanjang
Asmat sebagai salah satu suku yang mendiami pedalaman Papua saat ini sudah berkembang menjadi sebuah masyarakat yang tak lagi telanjang tanpa pakaian dan tinggal di rumah-rumah dengan atap-atap rumbia seperti zaman lampau.
Meski di beberapa wilayah pedalaman masih ada yang tinggal di rumah-rumah beratap rumbia ini, mereka sudah tak lagi ketinggalan zaman.
Telepon seluler sebagai penanda kemajuan zaman ini sudah mereka kenal. Mereka yang mendiami Distrik Agats, ibu kota Kabupaten Asmat bahkan sudah jauh lebih modern dibanding yang tinggal di pedalaman. Komputer, pendidikan hingga perguruan tinggi, rumah yang layak tinggal dengan papan (hampir seluruh penduduk baik asli dan pendatang tinggal di rumah dengan lantai dan dinding papan) dari kayu besi sudah mereka kenal.
Memang bila dibanding dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Yogyakarta, bahkan Timika sendiri, mall-mall dan bangunan megah tentu saja tak bakal kita temui di wilayah Kabupaten Agats, pusat kehidupan modern orang Asmat. Namun, yang jelas dunia modern sudah mewarnai hidup mereka.
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa kontak dengan dunia luar yang serba modern ini berdampak sangat serius terhadap budaya dan eksistensi Suku Asmat. Pergeseran nilai-nilai yang diwariskan para leluhur mulai terjadi. Era 1960-an hingga 1970-an merupakan masa dimana terjadi upaya pemusnahan budaya Asmat. Banyak rumah adat yang dikenal dengan sebutan Jew dibakar dan kegiatan ritual adat dilarang.
Situasi ini menimbulkan ketakutan di kalangan para pengukir Asmat. Kita tahu bahwa asmat merupakan salah satu suku di Papua yang terkenal dengan pengukirnya. Para pengukir di hampir semua kampung Asmat tak lagi melakukan kegiatan. Ini menyedihkan.
Mulai Tahun 1981
Syukurlah, Monsinyur (Yang Mulia, sebutan untuk pemimpin Gereja Katolik lokal) Alfons Sowada MSC yang kala itu menjabat sebagai uskup Keuskupan Agats merasa perlu mencetuskan penyelenggaraan lomba ukir yang pelaksanaannya diserahkan pada Delegatus Keuskupan Agats yang juga mengelola Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat. Lomba ini dimulai pertama kali tahun 1981.
Tahun 1992, Pemerintah Kabupaten Merauke mulai bergabung dan mendukung pendanaan kegiatan lomba ukir hingga tahun 2002 saat Asmat sudah dinyatakan sebagai sebuah wilayah kabupaten tersendiri, terpisah dengan Merauke. Dengan terbentuknya Kabupaten Asmat ini, sejak 2003 Pesta Budaya Asmat mulai ada atas kerjasama antara Keuskupan agats dan Pemerintah Daerah Kabupaten Asmat.
Erick Sarkol dalam buku panduan yang diterbitkan untuk pesta budaya ini menyebutkan bahwa pesta jenis ini dapat disejajarkan sebagai salah satu “Major Event” yang perlu tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan menjadi suatu “Core Event” dari Asmat sebagai suatu situs warisan budaya dunia.
Selama 27 tahun, Keuskupan Agats sebagai perintis pelestarian nilai-nilai peradaban ini berperan aktif memobilisasi semua etnis dalam melaksanakan Pesta Budaya Asmat ini. Pada kesempatan kedua setelah 25 tahun pesta budaya ini, Keuskupan Agats berusaha memperluas harapannya tidak saja agar budaya Asmat lestari dan terjaga tetapi juga agar orang Asmat sendiri makin percaya diri dengan nilai-nilai budayanya di tengah berbagai terpaan hambatan dan tantangan.
Meksi tak banyak pengunjung dari luar daerah apalagi dari luar negeri, Pesta Budaya Asmat ke-27 kali ini tetap menjadi momen penting bagi eksistensi Suku Asmat dengan segala kekayaan seni ukirnya.