Tahun C, 9 Januari 2022
- Yes. 40:1-5.9-11;
- Tit. 2:11-14.3:4-7;
- Luk. 3:15-16.21-22
SEBAGAI penutup masa Natal, kita merenungkan Yesus mulai tampil di hadapan umum. Penampilan-Nya di hadapan umum dimulai dengan memberi diri-Nya dibaptis oleh Yohanes. Tindakan ini merupakan suatu tindakan perendahan diri dari Yesus.
Pembaptisan pada waktu itu merupakan tanda pertobatan dari kungkungan dosa. Tetapi karena Yesus tidak punya dosa, maka pembaptisan-Nya merupakan tindakan solidaritas-Nya kepada semua manusia yang berdosa dan mau bertobat.
Dan saat itu, dalam doa, Yesus melihat Roh Kudus dan mendengar pernyataan Allah: “Engkau Putera-Ku terkasih.”
Dan hal ini yang mewarnai seluruh karya Yesus di hadapan umum. Putera Allah merendahkan diri, menjadi sama dengan manusia dan dinyatakan sebagai yang berkenan pada Allah.
Arah karya Yesus ini yang kini menjadi arah karya keselamatan kita: bertobat dan merendahkan diri, sehingga kita bertemu dengan Yesus yang solider dengan kita, sehingga bersama Dia, kita juga dapat diangkat menjadi anak Allah yang berkenan kepada-Nya.
Kisah sebuah suku
Di suatu tempat ada seorang kepala suku yang sangat dihormati. Bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga hikmatnya dalam memimpin sukunya.
Selama masa kepemimpinannya, hukum benar-benar ditegakkan sehingga semua anggota suku merasa aman.
Suatu kali, terjadi pencurian sapi milik seorang anggota suku.
Mendapat laporan itu, Kepala Suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata bahwa siapa pun yang melakukan pencurian itu akan dihukum cambuk 20 kali.
Ia berharap agar ancaman tersebut dapat menghentikan pencurian tersebut.
Tetapi, tiga hari kemudian, ada lagi warga yang lain yang mengadukan kehilangan ternak miliknya.
Kepala Suku kecewa. Dan ia memberi tahu rakyatnya bahwa ia telah menaikan ancaman hukuman menjadi 50 kali hukuman cambuk.
Sekali lagi, Kepala Suku berharap bahwa pencurian tersebut adalah yang terakhir.
Ia salah perhitungan. Karena dua hari setelah pemberitahuan kenaikan ancaman tersebut, masih ada warga yang melaporkan kehilangan harta bendanya.
Kepala Suku sudah bukan kecewa lagi, tetapi marah besar. Dan, ia menaikan ancaman hukuman menjadi 75 kali cambuk.
Sepekan setelah itu, terjadi keramaian di salah satu sudut wilayah sukunya. Orang berkerumun.
Di tengah-tengah kerumunan itu seorang pemuda berusia 20-an tahun sedang tersungkur setelah dipukuli warga suku, karena kedapatan sementara berusaha mencuri kambing warga suku.
Mereka menginterogasi pemuda itu dan mendapati bahwa ia adalah orang yang sama yang telah melakukan pencurian yang meresahkan suku. Rakyat kemudian membawanya ke hadapan Kepala Suku.
Dengan wajah tertunduk, pemuda itu berjalan ke rumah Kepala Suku hingga ia tiba di hadapan pemimpin suku tersebut. Kepala Suku mendekat untuk berusaha melihat wajah pemuda yang telah berlumuran darah tersebut.
Betapa kagetnya ia, ternyata pemuda itu adalah anaknya sendiri. Kepala Suku menghadapi dilema. Haruskah ia selaku Kepala Suku menjalankan keadilan dengan melaksanakan ancaman hukuman cambuk 75 kali tersebut? Ataukah ia sebagai seorang ayah yang mengasihi anaknya membatalkan pelaksanaan ancaman hukuman tersebut.
Ia menyadari bahwa kedua perannya tersebut bukan harus dipertentangan, tetapi harus diharmoniskan. Ia adalah seorang yang berhikmat.
Kepala Suku bertitah bahwa hukuman harus dilaksanakan. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu. Warganya, walaupun sangat terharu, makin kagum dengan kepemimpinan pemimpin mereka.
Keesokan harinya, sang pemuda dengan punggung telanjang telah diikat di suatu tiang di tengah lapangan terbuka, dengan seorang algojo berbadan besar yang memegang cambuk.
Ia di hari itu bertugas mencambuk punggung pemuda tersebut 75 kali. Dari atas tempat duduknya di panggung, Kepala Suku dengan sangat pedih hati, memerintahkan agar hukuman dipersiapkan.
Aba-aba terakhir akan diberikan oleh Kepala Suku sendiri. Algojo mengambil tempat di dekat pemuda, dan mempersiapkan cambuknya.
Ketika ia mengangkat tanggannya pada posisi tertinggi dan menanti komando dari Kepala Suku, ia bukan mendengar komando untuk mencambuk, tetapi “Tunggu…,” teriak sang Kepala Suku.
Dan, Kepala Suku bergegas turun mendekati anaknya. Setiba di hadapan sang algojo, Kepala Suku membuka baju kebesarannya, dan makin mendekati anaknya.
Warganya terkejut ketika Kepala Suku tiba-tiba memeluk anaknya yang terikat di batang pohon dan menempelkan seluruh dadanya di punggung anaknya sehingga seluruh tubuh Kepala Suku yang besar itu menutupi seluruh tubuh sang pemuda.
Kepala Suku kemudian memberikan komando eksekusinya. Setiap kali cambukan menghantam tubuh Kepala Suku, ia berkata kepada anaknya “Ayah mengasihimu, anakku…!”.
Saat itulah keadilan dan kasih menjadi suatu keharmonisan dalam waktu dan tempat yang sama.
Solidaritas Yesus
Solidaritas Yesus bukanlah sekedar sikap sosial yang murah hati.
Solidaritas Yesus adalah menerima situasi manusia yang berdosa, yang jauh dari Allah dan mati. Yesus mengambil alih dampak dosa itu pada diri-Nya sendiri, sehingga kita dibebaskan dari dosa dan dapat kembali menjadi anak Allah.
Hari ini, kita memulai masa biasa lagi dalam Tahun Liturgi. Tetapi hari-hari biasa kesibukan kita diwarnai oleh karya Allah melalui Yesus, yang merendahkan diri dan menjadi solider dengan kita.
Tuhan Yesus mengambil alih akibat dosa yang membebani hidup kita: kesusahan, kesedihan, putus asa, kerusakan alam, kerusakan hubungan antar manusia.
Kita dapat hidup sebagai anak Allah; jika kita bersedia merendahkan diri dan bertobat. Kita diajak kembali mengarahkan hidup kita kepada Allah.
Bersama Yesus kita dapat mengubah hidup kita dan hidup bersama di dunia ini, tempat yang berkenan kepada Allah.
Karena yang tinggal di dunia adalah anak-anak Allah yang berkenal kepada-Nya. Amin.