ORDO Serikat Jesus (Jesuit) baru-baru ini mengumumkan empat Preferensi Kerasulan Universal (PKU). Ini dimaksudkan untuk memandu karya-karya Jesuit dalam misi rekonsiliasi dan keadilan selama 10 tahun ke depan.
Preferensi, demikian menurut Thomas Flowers SJ, adalah panggilan untuk memperbaharui secara pribadi, komunal dan apostolik tentang bagaimana melayani Gereja dan dunia saat ini.
Lalu, apa yang dapat dipelajari masyarakat modern dari seorang Jesuit abad keenam belas yang mendengarkan dengan seksama cara Tuhan memanggilnya untuk melayani? Justru ketika ia merasa tertarik pada banyak pelayanan yang berbeda?
Belajar dari kisah Petrus Kanisius
Hal yang mengganggu Petrus Kanisius (1521-1597) adalah bahwa ia tidak mampu melakukan segalanya. Ia sudah sibuk bekerja selama berbulan-bulan menyelesaikan buku Ringkasan Doktrin Kristen.
Hal ini ia ungkapkan dalam sebuah surat kepada Ignatius Loyola. Ia berkisah betapa beratnya menjalani tugas menyelesaikan buku tersebut.
Pekerjaan itu membuat Petrus Kanisius harus berlama-lama tahan duduk sendirian di kamar dengan buku-buku, sambil sesekali membayangkan tentang karya kebaikan di rumah sakit dan penjara namun yang tidak bisa dia lakukan. Akibatnya, ia hampir tidak punya cukup waktu banyak untuk menyelesaikan program penulisan buku itu.
Padahal, ia sudah punya tugas utama yakni mengajar teologi di Universitas Wina.
Kita dapat mendengar nada putus asa dalam suaranya, saat ia menulis demikian.
“Saya tidak puas dengan jerih payah ini. Dan juga khawatir bahwa saya tidak dapat menyelesaikannya dalam waktu bertahun-tahun, jika saya tetap menulis dan pada saat bersamaan juga bertugas mengajar.” (1)
Tiga tahun sebelum Kanisius menerbitkan Katekismus yang sangat populer dan yang kelak sampai orang memberinya julukan “Rasul Kedua Jerman”, maka ia bertanya-tanya apakah itu sepadan dengan persoalan yang dihadapi.
Kanisius dikenal dalam sejarah sebagai seorang katekis. Ia memiliki hati dan minat karya pastoral yang kadang-kadang terganggu oleh misi yang dipercayakan kepadanya oleh atasannya di Ordo Jesuit.
Sebagai Jesuit dan bersama dengan seluruh anggota Serikat Yesus di hadapan tugas misi yang dipercayakan kepada Serikat -karena telah ditetapkan oleh Pater Jenderal Arturo Marcelino Sosa Abascal SJ dan juga sangat didukung oleh Paus Fransiskus- maka setiap Yesuit di mana pun harus selalu berkomitmen pada empat Preferensi Apostolik yang baru itu.
Dan saya yakin, semoga kesaksian Petrus Kanisius ini dapat membantu kita dalam pemahaman Preferensi Apostolik.
PKU itu apaan?
Preferensi Kerasulan Universal seharusnya tidak mengejutkan kita. Kita tidak hanya dapat mengenali banyak macam dan jenis karya Jesuit yang berbeda-beda. Namun kita perlu menekankan pentingnya pelayanan yang ditunjukkan oleh preferensi. Dan kita tahu bahwa sebagian besar Jesuit dan mitra kerja mereka itu sebenarnya juga telah terlibat dalam pekerjaan ini sejak awal.
Kita bisa melihat lebih jauh dari dokumen-dokumen bagaimana Serikat Yesus itu didirikan. Juga dari dua versi dari rumusan Institut sebagaimana termuat dalam dekrit surat kepausan (papal bulls) yang terbit tahun 1540 dan 1550, karena dua edisi itu telah menunjukkan hal ini.
Rumusan itu meyakinkan kita bahwa Serikat Yesus harus bekerja untuk “penyelamatan jiwa-jiwa dalam kehidupan dan doktrin kristiani” yang antara lain dilakukan melalui Latihan Rohani [dan] pendidikan anak-anak.”
Dalam hal ini, hal itu langsung mengingatkan kita pada preferensi yang pertama dan keempat, untuk Latihan dan untuk pendampingan kaum muda.
Panggilan untuk “membantu dan melayani mereka yang berada di penjara atau rumah sakit” yang dirumuskan dan juga menjadi perhatian kita pada preferensi apostolik kedua yakni untuk berjalan bersama orang miskin dan terpinggirkan.
Fokus ekologi -khusus pada perawatan bumi yang menjadi “rumah” kita bersama- mungkin bukan hal baru, jika kita mengingat kata-kata Pater Jenderal Arturo Marcelino Sosa Abascal SJ bahwa “Kerusakan yang terjadi pada bumi juga kerusakan yang dilakukan terhadap mereka yang paling rentan.”
Kita dapat mengenali hubungan antara preferensi ketiga ini dan desakan formula (rumusan) bahwa para Jesuit bersedia melakukan “pekerjaan amal” lainnya menuju “bermanfaat untuk kemuliaan Allah dan kebaikan bersama.” (2)
Namun misi Preferensi Kerasulan Apostolik jauh melampaui pengakuan apa yang telah dilakukan Jesuit atau apa yang kita lakukan. Yang paling mendasar, preferensi adalah panggilan untuk memperbaharui penegasan baik pribadi maupun komunal dan kerasulan tentang bagaimana mereka harus melayani Gereja dan dunia saat ini.
Kita diingatkan oleh keprihatinan Petrus Kanisius akan keinginan model pengabdian pribadinya terhadap para tahanan dan orang sakit agar dia semakin dapat melibatkan diri dalam karya dan penulisan katekese amal kasih. Kita juga punya “masalah” karena tidak semua orang -ya kita-kita ini juga- punya hati dan semangat pastoral yang sama.
Perbedaan itu terletak bukan pada upaya bisa mengenali kebutuhan pelayanan apa yang harus dilakukan di sekitar kita, tetapi dalam membedakan di mana energi dan sumber daya kita yang terbatas dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar.
Bagi Kanisius, justru melalui proses yang berlangsung secara pelan-pelan itu orang mulai bisa memahami “masalahnya”, meski masih berada di tengah banyak pelayanan yang sudah dia gumuli.
Ketika mampu membedakan dan menemukan mana yang memang dirasakan pantas untuk mendapatkan perlakuan istimewa, maka di situlah ia menemukan cara paling efektif untuk melayani Tuhan dan Gereja-Nya.
Beratnya menyelesaikan buku Katekismus
Surat yang dirujuk di atas -di mana Kanisius mengeluhkan tentang bukunya mengenai katekese (baca: Katekismus)- pastilah sangat sulit untuk bisa dia selesaikan sampai tuntas. Memang, alasan dia menulis pada hari itu adalah karena sehari sebelumnya, atasannya telah meninggal. Maka, seseorang perlu segera memberi tahu Ignatius.
Almarhum atasannya itu adalah Pastor Claude Jay, salah satu dari 10 imam Jesuit yang menjadi pernah menjadi pembimbing awal dalam menyemai bibit panggilan Kanisius. Sementara, pembimbing rohaninya pertama adalah Pierre Favre yang saat itu juga telah meninggal dunia, ketika Petrus Kanisius baru mulai melakoni hidup panggilan religiusnya sebagai Jesuit muda.
Kanisius tetap berusaha keras sebagaimana tampak dalam suratnya itu untuk mempertahankan pastor yang saleh sebagai bapa rohaninya dengan juga tidak ingin mempertahankan pendapatnya sendiri. Hal itu diakukan, ketika ia menulis semua kebaikan yang telah dia terima dari almarhum Pastor Jay. Tampak juga bahwa banyak orang menyampaikan rasa dukacitanya. Keseimbangan batin Kanisius sempat merosot dengan kematian Pastor Jay sehingga alam pikirannya juga menjadi letoy.
Kanisius menjadi semakin sedih lagi, ketika ia sampai menyesali bahwa kegiatannya menulis buku Katekismus itu sampai merintangi karya amal kasih pastoralnya di rumah sakit dan di penjara.
Karenanya, ia memutuskan ingin “rehat” sejenak dari kegiatannya menulis buku dan juga ingin memberi tahu Ignatius tentang perkara rohani ini. Yakni, ketika dalam bimbingan rohani dengan berbagi keprihatinan ini dengan almarhum Pastor Jay, maka imam Jesuit yang jauh lebih senior ini datang meyakinkan dia seperti ini.
“Saya mungkin akan meninggalkan semua yang lain dan akan memberikan diri saya dan seluruh waktu saya untuk menyusun karya buku ini.” (3)
Mendengar pernyataan Pastor Jay tersebut, Kanisius lantas jadi bimbang. Karena itu, ia sengaja tidak mau menulis dalam surat itu bahwa dia sebenarnya juga sangat paham mengapa Pastor Jay itu sampai menganggap proyek penulisan buku Katekismus itu dianggap begitu penting.
Kanisius tidak pernah kehilangan kepeduliannya terhadap orang miskin. Kotbah demi kotbahnya di Augsburg jelas membuktikan usahanya yang tiada henti untuk menginspirasi umat Katolik untuk peduli terhadap saudara dan saudari mereka yang menderita.
Sekalipun sudah menjadi Provinsial dan pengkotbah ulung di Gereja Katedral Augsburg (Austria), Kanisius tidak pernah berhenti datang melakukan pelayanan pastoral dengan sering mengunjungi rumah sakit, mengajar katekismus kepada anak-anak dan memberikan Latihan Rohani kepada banyak retretan.
Berjuang melawan ketidakadilan sosial
Demikian pula, Kanisius juga masih tetap mempertimbangkan perihal “keadilan” dalam kapasitasnya sebagai pemimpin provinsi Jesuit.
Ia mengaku prihatin, karena cukup sering banyak pangeran masih sangat menginginkan agar para Jesuit bersedia mendirikan perguruan tinggi. Kaum ningrat ini juga sering menawari mereka sejumlah bangunan dan properti lainnya untuk bisa mereka tinggali.
Padahal di balik semua keramahan itu, para pangeran Austria itu terlebih dahulu harus mengusir sekelompok kecil kaum religius agar masing-masing harus segera meninggalkan biara mereka yang dulu berhasil berkembang pesat berkat kehadiran mereka.
Juga biara-biara lain yang kaum religius itu dianggap gagal berkembang dan karenanya para ningrat itu lalu berprakarsa ingin memberikan aset itu kepada para penyewa kaum awam lainnya agar mereka bersedia tinggal di lahan-lahan biara.
Demi kebaikan bersama
Perjuangan Kanisius melawan praktik-praktik ketidakadilan sosial semacam itu jelas ingin menunjukkan bahwa kepeduliannya terhadap pendidikan tidak pernah memadamkan perhatian besarnya terhadap “kebaikan bersama” yang istilahnya zaman sekarang bonum commune.
Ia sadar diri akan hal ini. Yakni, dalam hal apa pun yang dilakukan kalau itu tidak melibatkan mereka yang tersingkirkan, yang miskin, kaum muda, dan mereka yang “lapar” secara rohani dan itu dilakukan demi kebaikan bersama, maka seluruh pelayanan itu akan tak bermakna.
Tidaklah cukup “hanya” memikirkan mereka itu saja. Melainkan, yang juga diperlukan adalah menjadikan setiap pelayanan yang dilakukan dan melibatkan dia itu harus menjadi satu kesatuan dengan tetap menjaga misi pengutusan yang integral dari Serikat Jesus.
Kiblat rohani ini harus menjadi jantung semangat karyanya.
Cara mengajar iman Katolik
Ini mungkin menjadi penyebab mengapa buku Katekismus karya besar Petrus Kanisius menampakkan hasil sangat berbeda dibandingkan dengan hampir semua buku katekismus sejenis lainnya yang pernah ada dan ditulis orang lain dalam sejarah Gereja Katolik.
Seperti kita ketahui, dari buku Katekismus Gereja Katolik tahun 1992, maka model pendekatan standar untuk pengajaran katekese selalu menyajikan doktrin menurut struktur empat bagian:
- Iman; mengikuti teks Syahadat Para Rasul.
- Sakramen-sakramen dalam Gereja.
- Moralitas; menggunakan teks aturan Sepuluh Perintah Allah sebagai panduan.
- Doa; dengan menggunakan doa Bapa Kami sebagai panduan.
Ini benar. Sebelum dan sesudah Kanisius menulis buku Katekismus-nya, makai a tentu saja juga mengajarkan semua elemen itu dalam katekesenya. Namun, bukunya tidak mengadopsi struktur empat bagian klasikal seperti itu.
Sebaliknya, Kanisius membagi Katekismus-nya menjadi dua buku.
Buku pertama bicara tentang kebijaksanaan di mana ia menyajikan iman (mengikuti Syahadat Para Rasul), harapan (mengikuti rumusan Doa Bapa Kami), cinta (mengikuti aturan Sepuluh Perintah Allah), dan akhirnya tentang sakramen-sakramen.
Buku kedua bicaratentang keadilan yang dikesankan ini lebih merupakan karya Kanisius sendiri. Bagian ini terdiri dari dua bab.
- Yang pertama bicara tentang keinginan agar bisa “melarikan diri dari kejahatan”. Di sini Kanisius bicara banyak tentang dosa dan kejahatan;
- Yang kedua tentang upaya “mencari kebaikan” di mana ia berbicara tentang kebajikan, perbuatan baik, ucapan bahagia dan nasihat-nasihat injili.
Ketika kita melangkah mundur dan mempertimbangkan keseluruhan struktur buku Katekismus hasil karya Petrus Kanisius, maka kita dapat memperoleh beberapa wawasan tentang bagaimana Kanisius tetap ingin menaruh perhatian pada karya pastoral amal kasihnya, sekalipun bahkan ketika itu dia benar-benar menyukai karya mengajar orang muda.
Isi buku Katekismus Kanisius dimulai dari paparan-paparan yang mengungkapkan kebaikan dan hikmat Allah. Dipaparkan sedemikian rupa sebagaimana lalu dijelaskan melalui ap aitu iman, harapan dan kasih. Bahkan juga dijelaskan panjang lebar sebagaimana kebaikan dan hikmat ilahi itu bisa dialami semura orang kristiani melalui penerimaan sakramen-sakramen di dalam Gereja.
Maka, bagi kita juga semakin menjadi jelas bagaimana kita masing-masing akhirnya bisa menghayati iman kita di dunia; menghindari hal-hal yang siapa tahu malah hanya akan menjauhkan diri dari Allah; mencari “keadilan” Allah di dalam keseharian hidup kita.
Katekismus Kanisius sungguh ingin mengajak para pembacanya untuk memulai dengan iman dan barulah kemudian mempraktikkan iman itu dengan cara-cara yang kita cintai dan bis akita layani.
Kanisius hadir dalam sejarah Serikat Yesus untuk memberi preferensi pada karya katekesenya, justru karena ia sangat menyadari melalui buku itu bahwa ia secara unik masih mampu “merawat jiwa-jiwa”.
Tidak hanya kerasulan dengan tujuan bisa menanamkan benih-benih iman kepada orang muda. Lebih dari itu, juga meneladani pola dan cara hidup untuk senantiasa memelihara orang-orang miskin tetap masuk ke dalam jangkauan “radar” perhatian pikirannya.
Semua itu hanya bisa terjadi, karena permenungan-permenungan yang bersumber pada doa dan kebijaksanaan. Juga karena Kanisius tidak pernah mengabaikan kebaikan bersama. Ia baru menyadari betapa banyak kebaikan yang ternyata bisa dia lakukan.
Bisa dikerjakan melalui kerasulan yang dia “temukan”, saat mana dia berhenti mengkhawatirkan kebaikan-kebaikan yang dia rasakan belum tuntas dia lakukan.
Juga karena sering mendengarkan cara Tuhan yang telah “bicara” kepadanya melalui panggilan di dalam Serikat dan melalui banyak keluhan yang disuarakan oleh Gereja.
Setelah berhasil melewati pengalaman mengecewakan di mana Kanisius ikut masuk menjadi bagiankecil dalam beberapa kasus perselisihan politik dan agama tingkat tinggi di Polandia, maka ia kemudian menulis surat kepada Pastor Diego Laynez -saat itu sudah menjadi Superior General Ordo Jesuit.
Kepada Laynez, Kanisius menulis berikut ini.
“Betapa pun lebih menderita dan bahkan sampai kehilangan harapan, serta malah berada dalam penghakiman dunia, maka akan menjadi semakin terasa lagi ketika semua itu menjadi milik kita. Namun, itu semua akhirnya mendatangkan kekuatan kepada mereka yang sering mengalami rasa putus asa, karena kita ada bersama Yesus.” (5)
Preferensi Apostolik ini sungguh mengundang kita untuk memiliki harapan yang semakin teguh; dalam cara mereka menantang kita agar semakin sering mempertimbangkan bagaimana kita mampu mempraktikkan lagi pekerjaan-pekerjaan kita.
Pengalaman Kanisius saat melihat buku Katekismus-nya sungguh menjadi satu pilihan karya kerasulan yang paling signifikan dalam hidupnya. Itu juga menjadi cara dia dalam upayanya bisa melayani preferensi seluruh Serikat secara lebih luas.
Juga mengingatkan kita tentang pentingnya mendengarkan mereka yang berada di luar diri kita sendiri; agar semakin mampu menemukan “sumbangan-sumbangan terbaik” yang dapat kita sumbangkan dari apa yang kita miliki.” (6)
PS: Pastor Thomas Flowers SJ adalah imam Jesuit dari Provinsi Amerika Barat, kini sedang menempuh studi program doktoral dalam Sejarah Jesuit di University of York.
Catatan kaki:
- Otto Braunsberger SJ (ed.), Beati Petri Canisii, Societatis Iesu, Epistulae et Acta, vol. 1 (Freiburg im Breisgau: Herder, 1896), hal.411. Surat aslinya ditulis dalam bahasa Italia; terjemahan adalah milik saya sendiri.
- Kutipan dari Formula Institut berasal dari Bull 1550, sebagaimana diterjemahkan dalam John Padberg SJ (ed.), The Constitutions of the Society and their Complementary Norms: A Complete English Translation of the Official Latin Texts (Saint Louis , 1996), 4. Kata-kata Pater Sosa berasal dari surat yang mengumumkan preferensi apostolik baru, yang dapat dibaca di: https://jesuits.global/en/documents/send/8-uap-docs/63-universal-apostolic-preferences.
- Otto Braunsberger SJ (ed.), Beati Petri Canisii, Societatis Iesu, Epistulae et Acta, vol. 1, hal.411.
- Julius Oswald & Rita Haub (eds.), Perjanjian Petrus Kanisius. Vermächtnis und Auftrag (Frankfurt am Mein 1997), pp.50 ff. Terjemahan dari bahasa Latin adalah milik saya sendiri.
- Otto Braunsberger SJ (ed.), Beati Petri Canisii, Societatis Iesu, Epistulae et Acta, vol. 3, hal. 362.
- Dari surat Pater Sosa yang mengumumkan preferensi apostolik yang baru.
Tulisan ini terjemahan dari:
Peter Canisius: ‘the best contribution we can make’
Posted on: 23rd April 2019 |
Author: Thomas Flowers SJ
?
Tulisan ini terjemahan dari:
Peter Canisius: ‘the best contribution we can make’
Posted on: 23rd April 2019 |
Author: Thomas Flowers SJ