KETIKA Mgr. Ignatius Suharyo diumumkan menjadi Kardinal oleh Paus Fransiskus pada 1 September yang lalu, saya tidak kaget.
Teman-teman saya, semua alumni Seminari Menengah Mertoyudan dan Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta, pasti juga akan bereaksi yang sama demikian itu: tak kaget.
“Itu sudah layak dan sepantasnya,” celetuk seorang teman pada WA Grup kami. Terus-terang saja, selama ini diam-diam Mgr. Suharyo sudah menjadi idola kami.
Menurut teman-teman, imam yang “beneran” itu ya seperti Mgr. Suharyo itu.
Semboyan Seminari Mertoyudan kami “sanctitas, scientia, sanitas” – suci, cendekia, dan sehat – “utami, pinter, dan sehat” itu ya terungkap dengan sebaik-baiknya dan sejelas-jelasnya pada sosok Mgr. Ignatius Suharyo.
Saking bangganya pada Mgr.Suharyo, seorang teman sampai-sampai bilang begini:
“Siapa sih tokoh Katolik Indonesia sekarang ini yang lebih hebat dari Mgr. Suharyo? Ngga ada. Uskup paling top se-Indonesia ya cuma beliau itu. Ngga ada yang bisa menandingi. Sudah pinter, suci, rendah hati, hidupnya tidak “neko-neko”, kotbahnya pun “mentes”, yang diomongkan selalu bermutu, profesor beneran, bukan profesor-profesoran kayak teman kamu itu Kun.”
Saya bilang, ngga sekalian saja ditambahi: “Baik hati, tidak sombong dan suka menabung.”
Hari Sabtu tanggal 5 Oktober 2019, Mgr. Prof. Dr. Ignatius Suharyo Pr, Uskup Keuskupan Agung Jakarta, yang telah menjadi kebanggaan alumni Seminari Mertoyudan dan umat Katolik Indonesia, kini telah resmi dilantik menjadi Kardinal.
Mulai hari itu juga, secara resmi kita boleh memanggilnya “Bapak Kardinal” atau kalau mau “Romo Kanjeng Ignatius Kardinal Suharyo.”
Zuchetti dan birette merah
Dalam upacara selama kurang lebih 2 jam, hari Sabtu pekan lalu itu, ribuan umat Katolik akan memadati Basilika dan lapangan Santo Petrus di Vatikan menyaksikan upacara “sumpah” sekaligus penerimaan zucchetti (penutup ubun-ubun), birette (“baret” sutera berbentuk persegi empat) dan cincin tanda resmi menjadi Kardinal.
Zucchetti dan birette itu berwarna merah darah, lambang kemartiran dalam Gereja Katolik.
Pada upacara hari itu di Basilika Santo Petrus Vatikan, setelah Paus membacakan nama-nama Kardinal baru dan penerimaan simbol-simbol kekardinalan itu, maka resmilah Mgr. Ignatius Suharyo dipanggil “Bapak Kardinal.”
Beliau resmi akan selalu memakai jubah dan baret merah.
Sebagai Kardinal, Romo Kanjeng Suharyo pasti akan sering diundang datang ke Vatikan. Kalau ada upacara di Vatikan, Bapak Kardinal Suharyo otomatis akan diminta duduk di deretan paling depan bersama para Kardinal “Pangeran-Pangeran Gereja” serta “petinggi-petinggi” Gereja yang lain.
Bukan promosi, apalagi dekorasi
Pada konferensi pers di Katedral Jakarta, Mgr. Suharyo kepada para awak media mengatakan bahwa penunjukan dirinya sebagai Kardinal sama sekali tidak pernah ia pikirkan dan harapkan.
Tinggal diterima, titik. Tidak ada ruang “berunding” seperti ketika ditunjuk menjadi Uskup dulu.
Penunjukan ini adalah kehormatan untuk gereja Indonesia. Penunjukan ini juga merupakan wujud nyata Gereja Katolik Indonesia dalam menjawab ajakan Paus Fransiskus untuk terus menjaga “kekatolikan” yaitu “kesemestaan” Gereja.
Tugasnya melayani
Walau terasa “baku”, ini adalah sudut pandang Mgr. Suharyo yang sangat baik dalam memahami penunjukannya sebagai Kardinal.
Ini juga sejalan dengan apa yang memang diharapkan Paus Fransiskus dari para Kardinalnya.
Menjelang Konsistori “kloter pertama” tanggal 22 Februari 2014, Paus Fransiskus menulis undangan pribadi (biglietto) kepada para Kardinal yang akan dilantiknya.
Surat undangan itu sempat “bocor” di Vatikan Insider, media koran La Stampa Italia, yang khusus menyoroti agenda Vatikan.
Kepada para Kardinal baru, dalam suratnya Paus mengatakan sebagai berikut:
“The cardinalship does not imply promotion; it is neither an honour nor a decoration; it is simply a service that requires you to broaden your gaze and open your hearts. Therefore I ask you, please, to receive this designation with a simple and humble heart. And, while you must do so with pleasure and joy, ensure that this sentiment is far from any expression of worldliness or from any form of celebration contrary to the evangelical spirit of austerity, sobriety and poverty.”
Jadi, Paus Fransiskus memberi pesan: kardinal itu bukan jabatan, tetapi pelayanan. Kardinal itu bukan promosi, apalagi dekorasi.
Pada pelatikan Kardinal kloter 28 Juni 2018 tahun lalu, dalam kotbahnya Paus Fransiskus kembali mengulang tugas utama para Kardinal, yaitu melayani.
Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu (Mk 10:43).
Ditambahkannya, para Kardinal tidak boleh merasa lebih tinggi dari yang lain : “…. never to feel “superior” to anyone, to avoid protecting their own power and to embrace their new role through service and love of poverty. The true authority was meant being able to follow Jesus’ example of radical service seen when he “did not hesitate to bow down” and wash the feet of his disciples. … This is the highest honour that we can receive, the greatest promotion that can be awarded us : to serve Christ in God’s faithful people, in those who are hungry, neglected, imprisoned, sick, suffering, addicted to drugs, cast aside. In real people, each with his or her own life story and experiences, hopes and disappointments, hurts and wounds…”
Pada kesempatan itu, Paus juga mengingatkan para murid Kristus –termasuk pada Kardinal– sering terjebak dalam “honours, jealousy, envy, intrigue, accommodation and compromise”, termasuk “useless and petty discussions,” yang sekarang ini jelas masih saja terus melanda Gereja.
Pada kotbah misa pelantikan Kardinal itu, umat dibuat tertegun dan suasana menjadi seketika hening, ketika dengan tegas Paus Fransiskus mengatakan: “What does it profit us to gain the whole world, if we are corroded within? What does it profit us to gain the whole world, if we are living in a stifling atmosphere of intrigues that dry up our hearts and impede our mission? Here, as someone has observed, we might think of all those palace intrigues that take place, even in curial offices.”
Setelah mendapat “arahan” dari Paus Fransikus semacam ini, saya yakin “para supporter” Kardinal-kardinal baru akan menyambut “jagoannya” dengan lebih sederhana.
Pesta penyambutan Kardinal baru, menurut sahabat saya Romo Agustinus Purnomo MSF yang baru saja diangkat jadi Superior Jenderal MSF di Roma, tidak seheboh jaman para paus yang terdahulu.
Saya ingat, ketika Mgr. Jose Tomas Sanchez dari Manila dilantik Kardinal oleh Paus Johanes Paulus II, pada bulan Juni 1991. Maka, orang-orang Filipina dengan pakaian “ningrat”nya yang mentereng-mentereng itu, saya lihat “tumplek blek” memenuhi lapangan St. Petrus.
Beberapa hari sebelum pelantikan, di Collegio-collegio Kepausan dan di Kedutaaan-kedutaan Tahta Suci di seantero Roma, pasti ada pesta besar dan “brindisi” menyambut para Kardinal baru.
Koran-koran Italia, sejak beberapa hari lalu melaporkan: “Bologna, la Diocesi si prepara a “invadere” Roma per Zuppi cardinal.” Roma hari ini akan diinvasi umat Keuskupan Bologna “pendukung” Mgr. Matteo Zuppi, satu-satunya Kardinal Italia, teman seangkatan pelantikan Kardinal Suharyo.
Apakah hari Sabtu pekan lalu itu, seluruh orang Indonesia –terutama teman-teman IRRIKA (Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi Roma)– akan datang semua ke Vatikan menyaksikan pelantikan Mgr. Ignatius Suharyo?
Mungkin saja.
Walau sederhana, saya yakin Bapak Dubes Indonesia untuk Vatikan HE Antonius Agus Sriyono dan teman-teman KBRI Vatikan tentu akan menyelenggarakan penyambutan yang pantas untuk Bapak Kardinal Suharyo.
Kalaupun “hebohnya” tidak seperti pelantikan Kardinal Sanchez tahun 1991 itu, tetapi saya yakin seluruh warga negara Indonesia di Itali akan menyambut pelantikan Kardinal Suharyo hari ini dengan penuh syukur, dan …juga banyak selfie.
Yang terakhir ini pasti akan jadi acara seru yang akan mengalahkan kehebohan penyambutan Kardinal baru era tahun 1990-an. (Berlanjut)
Kepada Pimpinan Redaksi Sesawi.net yang budiman
Mengapa redaksi sesawit begitu pelit ya…untuk berbagi. Mengapa artikelnya semua dikunci sehingga tidak bisa di copy paste . Coba Anda perhatikan artikel di katolitisatas.org dan Sabda (protestan) tidak ada artikelnya yang terkunci-semua gampang di kopy paste.Saya tidak mengerti media katolik-tapi sulit untuk berbagi.Semoga untuk hari berikutnya sesawi mau berbagi untuk sesama. Demikian tks.
J.Marsello Ginting
Bapak silakan melihat aspek lain — kami kerja keras dan orang lain memanfaatkan kerja keras untuk memantik simpati dengan donasi membiayai manajemen redaksional mereka. Pembaca kan tidak tahu bahwa naskah tersebut bukan hasil karya mereka. Itu sama sekali tidak etis. Sekarang, apakah tidak mudah tinggal copas URL-nya dan hasil copas URL itu dibagikan saja ke relasi bapak -toh message sama –berbagi. Kebijakan ini diambil juga untuk mengurangi risiko naskah “diedit” diubah oleh penggugahnya. Saya melihat hal ini dari perspektif jurnalistik dan property intellectual rights.