BEHIND every successful man, there stands a woman.
Menjadi sukses, tentu cita-cita semua orang. Semua tahu, sukses datang dari keuletan dan kerja keras. Juga dari kesempatan. Sukses (dalam pekerjaan maupun bisnis) itu tidak pernah jatuh dari langit.
Jalan sukses penuh stres, sarat keputusan sulit dan perjuangan berat melawan frustrasi. Ini pula yang dilalui Mas Harinowo dan Bu Siska dalam berproses menjadi keluarga sukses selama ini.
Sebuah riset yang dilakukan oleh David Popenoe, Ph.D dari Rutgers University, menemukan fakta berikut ini. Yakni, seorang pria ternyata lebih produktif 10-40 persen, dibanding mereka yang tidak atau belum menikah.
Survey dari National Marriage Project yang dikoordinir oleh Popenoe itu juga memberi kesimpulan kuat, isteri mempunyai peranan kunci bagi sukses seorang pria.
Ini pula yang saya lihat terjadi pada sukses keluarga Harinowo. Pak Hari sendiri mengakui, peran mendiang Bu Siska dalam perjalanan hidup dan perjuangannya, sungguh nyata, terasakan, terjadi, teralami.
“Rekoleksi” bersama Bu Siska
Saya sebenarnya bertemu cukup intensif dengan Ibu Siska hanya selama tahun 1999 dan tahun 2000 itu saja. Pada musim liburan tahun-tahun itu, setiap kali saya menginap di rumah keluarga Harinowo, yang paling saya ingat adalah acara “rekoleksi” saya dengan Bu Siska.
Bu Siska itu “orang malam”. Ia terbiasa tidur sesudah pukul 04 pagi. Saya pun terbiasa tidur sesudah lewat pukul 12 malam. Sesudah quality time dengan suami dan anak-anak, sekitar pukul 10 malam, Bu Siska biasanya lalu memanggil saya: “Mo, ngopi yuk di belakang.”
Ajakan ngopi itu artinya ajakan “rekoleksi”. Di bagian belakang rumah dekat dapur itu, ada bangku panjang menghadap taman yang enak buat duduk-duduk. Enak buat ngobrol dan ngopi.
Bu Siska perokok berat. Saya sama sekali tidak merokok. Ngopi pun seperlunya saja. Sementara untuk Bu Siska, segelas besar kopi hitam selalu setia menemani.
Selama ngobrol begadang sampai pagi, tidak jelas lagi acara itu untuk Bu Siska: ngopi sambil merokok. Atau merokok, sambil ngopi.
Acara ngopi setiap malam itu saya katakan acara “rekoleksi”, karena sebagian besar obrolan kami bukan lagi sekedar obrolan menghabiskan waktu.
Puteri Dayak menikahi pria Jawa
Pada suatu malam saya pernah tanya kepada Bu Siska “Orang Dayak kok bisa kawin sama orang Jawa, itu ceritanya gimana Mbak?”
Saya ingat sekali, dengan ketawa lebarnya yang khas, Bu Siska menjawab: “Sudah diatur sama yang di atas ‘kali. Waktu ketemu Harinowo itu, saya kok merasa orang ini ada greng-nya yang kuat.”
“Wah, kayak dongeng cupid itu dong,” jawab saya.
Kata Bu Siska: “Bukan. Jodoh memang tak lari ke mana. Tapi kan kita ngga cuma punya hati. Punya kepala juga. Kita mau ngambil seseorang jadi pasangan hidup kan lihat kelakuannya juga. Harinowo punya semua itu. Maka ya, dia pantas saya ambil,” ujarnya dengan tertawa renyah.
Pendapat bu Siska ini mengingatkan saya pada kotbah almarhum Romo J. Krismanto Pr, teman saya serumah di Wisma Adisoetjpto dulu.
Romo Kris “similikithi” yang juga dikenal Bu Siska selalu mewartakan: orang yang baik itu adalah orang yang berotak, berwatak dan berakhlak. Untuk Bu Siska, Pak Harinowo punya otak, watak dan akhlak yang baik. Jadi pantas dijadikan pasangan hidup.
Dalam panggilannya sebagai isteri dan ibu, seorang Siska Harinowo sungguh telah menjadi “roti yang hidup” bagi Mas Harinowo dan anak-anak.
Hadirnya isteri dahsyat
Saya hadir pada keluarga itu, ketika Mas Hari berusia 46 tahun dan Bu Siska berusia 42 tahun. Usia-usia itu adalah usia puncak pasangan suami isteri dalam membangun keluarga. Saya bertemu dengan Pak Harinowo dan Bu Siska, ketika pak Harinowo sedang ada pada puncak karir.
Pak Hari waktu itu sedang ditugaskan di Washington sebagai Alternate Executive Director IMF dan Technical Assistance Advisor pada Monetary and Exchange Affairs IMF (International Monetary Fund). Tugas di IMF itu dilaksanakan dari BI tempat ia berkarir selama 20 tahun lebih.
Pak Harinowo memulai karirnya di Bank Sentral republik ini sejak tahun 1978, tidak lama setelah ia meraih gelar Sarjana Ekonomi Akuntansi dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada tahun 1977.
Di Bank Sentral, ayah empat orang anak, memulai kariernya dari bawah sebagai staf perencanaan kredit.
Selanjutnya, ia bersekolah S-2 pada tahun 1981 di Williams College di Massachusetss, Amerika Serikat mengambil jurusan Center for Development Economics dan mendapat gelar Master Development Economics.
Kemudian ia melanjutkan studi doktoralnya di Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, AS. Tahun 1985, ia meraih gelar Ph.D-nya dalam bidang moneter dan ekonomi internasional.
Pendidikan yang telah diraih Mas Cyrillus Harinowo berhasil mengantarkannya menjadi salah satu orang penting di tempat-tempat ia pernah bekerja.
Kemampuan, integritas, kredibilitas dan pengalamannya yang sangat andal, membuatnya ia dipercaya menduduki berbagai jabatan manajerial di pemerintahan dan non-pemerintahan.
Karir di pemerintahan
Ia pernah menjabat sebagai staf Menteri Perdagangan pada tahun 1988 -1989. Ia juga pernah menjadi anggota delegasi sidang Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan Consultative Group for Indonesia (CGI), serta sidang tahunan IMF dan Bank Dunia.
Sepulang dari Amerika pada tahun 2003, Pak Harinowo menjadi komisaris BCA sampai sekarang.
Ia juga pernah menjadi Rektor ABFI Institute Perbanas dari tahun 2007-2009. Di sela-sela tugasnya yang begitu padat, ia masih menyempatkan diri mengajar di pelbagai Universitas di Jakarta.
Dunia kampus adalah dunia yang dia cintai. Pak Thomas Suyatno, mantan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta, sangat membanggakan sosok Cyrillus Harinowo.
Tahun 2003, sebelum Mas Harinowo dicalonkan oleh Presiden Megawati mengikuti fit and proper test di DPR sebagai calon Gubernur BI, Pak Thomas Suyatno bilang: “Kita mesti berdoa sungguh semoga Mas Harinowo terpilih jadi Gubernur BI. Sekarang ini, hanya dialah satu-satunya ekonom dan tokoh Katolik yang bisa kita banggakan. Integritas dan kompetensinya bagus sekali.”
Memang, sampai hari ini Harinowo adalah satu-satunya orang Katolik yang pernah ikut fit and proper test sebagai calon Gubernur BI.
Gubernur BI yang Katolik Prof. Dr. J. Sudradjad Djiwandono tidak mengikuti fit and proper test. Di masa Pra Reformasi itu, ia dulu langsung diangkat oleh Presiden Soeharto.
Masa jabatan Syahril Sabirin, Gubernur BI saat itu memang sudah berakhir. Beredar sejumlah nama yang disebut-sebut bakal menjadi calon Gubernur BI, yakni:
- Kwik Kian Gie (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas);
- Laksamana Soekardi (Menteri Negara BUMN);
- Boediono (Menteri Keuangan);
- ECW Neloe (Presiden Direktur Bank Mandiri);
- Jusuf Anwar (mantan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal/Bapepam);
- Edwin Gerungan (mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional);
- Aulia Pohan (Deputi Gubernur BI).
Namun pada akhirnya, hanya tiga nama yang resmi masuk kompetisi: Harinowo, Burhanuddin Abdullah, dan Deputi Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom.
Orang baik tak selalu “menang”
Seperti kita tahu, pada fit and proper test di DPR itu, Harinowo kalah telak. Padahal semua anggota DPR yang hadir pada tes itu mengakui presentasi Harinowo adalah yang terbaik dan paling bermutu.
Namun siapa pun tahu, orang pintar tidak selalu menang. Orang baik tidak selalu terpilih. Uang dan intrik politik kerap mengalahkan otak, watak dan akhlak.
Kepada para wartawan yang mewawancarainya, Harinowo dengan tenang dan penuh senyum mengatakan: “Tidak mengapa saya tidak terpilih. Pasti ini sudah menjadi bagian dari rencana Tuhan untuk saya.”
Waktu akhirnya memang menjawab. Gubernur BI yang menang dan terpilih itu akhirnya pernah berurusan dengan hukum. Harinowo yang kalah dalam pencalonan terbukti memang dalam integritas.
Kepada wartawan SCTV yang mewawancarainya, Harinowo pernah mengatakan: “Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah mengkompromikan integritas saya.”
Harinowo selalu membuktikan kata-kata ini. Kepada media, Mas Harinowo tentu saja mengatakan semua itu dalam ranah etika, terutama etika bisnis.
Namun tidak banyak yang tahu, bahwa integritas itu memang nilai yang benar-benar dihidupi oleh pasutri Harinowo dan Siska.
Tentang hal ini, Pak Harinowo pernah mensharingkan pengalamannya yang sangat dalam kepada saya.
“Sejak kami menikah, Siska selalu saya libatkan dalam pengambilan keputusan yang penting. Dalam keadaan yang dilematis, ketika saya kadang tidak bisa mengambil keputusan yang jernih, Siska selalu datang dengan solusi yang sungguh brilian. Ketika saya bingung, Siska entah dari mana, selalu datang dengan jawaban yang mengejutkan,” kata Mas Harinowo.
Misalnya saja, ketika Mas Harinowo “digagalkan” untuk meraih posisi Direktur Eksekutif IMF untuk kawasan Asia Tenggara. Ia terjegal aturan yang menyebut pejabat BI yang bisa menjadi Direktur Eksekutif IMF harus pernah menjadi anggota Dewan Gubernur.
Harinowo memang pernah gagal menjadi Deputi Gubernur.
Pada bulan Maret tahun 2000, lewat proses beauty contest yang berlangsung maraton sejak pukul 20.00 Rabu hingga pukul 05.30 pagi Kamis, Harinowo “kalah” dari Aulia Pohan dan Burhanuddin Abdullah.
Terlalu banyak intrik yang menggagalkan Harinowo untuk terus berkarir di IMF itu akhirnya memaksa Harinowo menghitung kembali rencana karir dan hidup keluarganya setelah kembali dari Washington.
Harinowo sudah merencanakan banyak hal. Namun terjadi hal-hal di luar perhitungan. Dalam mempertimbangkan masa depan keluarga yang tak mudah diputuskan itu, Bu Siska datang dengan “sabdanya yang dahsyat”
“Jangan pernah melawan ‘proyeknya’ Tuhan. Proyek kamu ini nampaknya bukan proyeknya Tuhan.” (Berlanjut)
RIP