Pijar Vatikan II di Tahun Iman: Katolik Bulgur (5A)

0
2,662 views

TAHUN 1962, ketika Konsili Vatikan II dibuka, saya masih duduk di TK Santa Theresia Marsudirini Muntilan. Tahun 1965, ketika Konsili Vatikan II ditutup, saya masih di kelas 3 SD “Latihan” Pangudi Luhur, sekolah yang diasuh oleh Bruder-Bruder FIC.

Tentu saja, sebagai anak kecil, saya tidak tahu apa-apa mengenai suasana politik yang panas di sekitar tahun 1962-1965 itu. Yang saya ingat, zaman itu semua teman SD saya tidak ada yang pakai sepatu. Ke sekolah dan ke gereja ya hanya “nyeker” alias telapak kaki doang. Di kelas kami, cuma ada 1 anak “orang kaya” yang pakai sepatu.

Zaman susah

Saya suka kasihan sama dia, karena sering kami buat tidak bisa main bola pada jam istirahat, hanya karena dia pakai sepatu.

Di zaman itu, saya sama sekali tidak punya teman yang kegendutan. Kalau yang cenderung kurus, ada banyak. Kata pak Guru, penyakit yang banyak diidap orang zaman itu adalah “hongerudeem” alias busung lapar.

Pada hari-hari tertentu, Bruder menggiring anak-anak SD Latihan ke lapangan Pasturan Muntilan, untuk antri minum susu “cap tangan salaman” bantuan dari Unicef. Di zaman susah itu, kami sudah biasa makan nasi hanya dengan lauk kecap atau garam bata yang dicocol-cocol.

Untuk memberi makan kepada 7 anaknya, ibu saya sering cuma memberi 1 butir telur yang dibagi-bagi menjadi 8. Baju yang kami pakai juga seadanya. Kebanyakan dari bahan “berkolin”. Dengan mesin jahit “onthel” merk Singer, bapak suka menjahit sendiri baju atau celana untuk anak-anaknya. Kantung terigu, bisa bapak sulap menjadi baju yang nyaman.

Sebagai anak kecil, tahun berlangsungnya Konsili Vatikan II 1962-1965 itu, kami lalui dengan baik-baik saja. Dalam segala kekurangan dan kesederhanaan hidup semua keluarga zaman itu, kami tetap bisa ceria bermain dengan teman-teman kampung.

Anak-anak sekolah zaman itu tidak punya banyak “pe-er” seperti anak-anak sekarang. Kalau sore hari, kami selalu main gobag sodor, benthik, gamparan, “sondah mandah”, incik (adu kecik), nekeran (main kelereng), umbul (adu gambar) bahkan main “dakon” (congklak) atau bal bekel mainannya anak perempuan.

Mainan “Ganyang Malaysia”

Salah satu teman main masa kecil saya, adalah Romo Vikjen KAJ sekarang ini. Selain mainan-mainan anak-anak yang biasa itu, ada satu mainan khas yang “berbau politik”, yang kami mainkan. Namanya “Ganyang Malaysia”.

Sebenarnya mainan “Ganyang Malaysia” itu modifikasi dari main petak umpet. Kalau main petak umpet, yang jaga menghadap tembok atau pohon, yang ngumpet harus lari dalam hitungan “mulut”. Pada main “Ganyang Malaysia” kesempatan lari dan ngumpet dihitung dari waktu menyusun potongan-potongan genteng. Sebelum ngumpet, “kereweng” (potongan genteng-genteng) yang disusun tinggi sebanyak pemainnya, ditimpuk batu dari jarak tertentu sambil teriak: “Ganyang Malaysia !”.

Setelah mendapat pelajaran sejarah dari bapak guru, saya baru tahu bahwa tahun 1960an sampai lengsernya Bung Karno, adalah tahun-tahun yang penuh gejolak. Mainan masa kecil kami “Ganyang Malaysia” itu, pasti terinspirasi dari suhu politik yang panas ketika kita berkonfrontasi dengan negeri jiran itu.

Tahun 1961, Inggris merencanakan untuk memberi kemerdekaan kepada Federasi Malaya, yang wilayahnya meliputi Semenanjung Melayu, Brunei, Singapura, Sabah dan Serawak. Rencana ini ditentang oleh Indonesia dan Fillipina. Presiden Soekarno menganggap berdirinya Federasi Malaya sebagai bentuk dari Neo Kolonialisme Inggris yang sangat membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Sedangkan Filiipina menentang karena wilayah Sabah dahulu merupakan wilayah kasultanan Sulu di Filipina Selatan.

Untuk menengahi perselisihan tiga negara tersebut, diadakanlah Konferensi Maphilindo (Malaysia, Filipina, Indonesia) pada bulan Juli-Agustus 1963. Konferensi sepakat meminta Sekjen PBB (yang saat itu kebetulan dijabat oleh U Than dari Burma) untuk menyelidiki keinginan rakyat-rakyat di daerah yang akan menjadi anggota Federasi.

Atas kesepakatan tersebut, PBB mengirim diplomat Michel Moore untuk melakukan penyelidikan. Belum selesai penyelidikan dilakukan, PM Tengku Abdurrahman sudah mengumumkan berdirinya Federasi Malaya pada tanggal 16 September 1963, dengan wilayah Semenanjung Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak.

Bung Karno marah besar. Tanggal 17 September 1963, pemerintah RI mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Inggris. Pada 18 September 1963, ribuan masa demo besar-besaran di depan Kedutaan Malaysia dan Inggris di Jakarta.

Konfrontasi mencapai puncaknya ketika Prersiden Soekarno mengumumkan Dwikora pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya: (1) Perhebat ketahanan revolusi Indonesia; (2) Bantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Federasi Malaya bentukan Inggris.

Untuk memperlancar operasi, dibentuk Brigade Sukarelawan Bantuan Tempur Dwikora pimpinan Kolonel Sobirin Mochtar. Konfrontasi ini terus berlangsung sampai dengan awal masa Orde Baru.

NEFO

Hidup susah yang dialami semua orang di tahun-tahun sekitar Konsili Vatikan II itu, ternyata juga terjadi karena Indonesia waktu itu makin terkucil. Indonesia diembargo oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.

Berawal dari KTT Non Blok 1964 di Kairo Mesir, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep : “The New Emerging Forces” (NEFO) yang anggotanya terdiri dari negara-negara berkembang dan anti imperialisme. Gerakan ini dimaksudkan untuk melawan kelompok yang oleh Soekarno disebut OLDEFO (Old Establising Forces) yaitu kelompok negara negara imperialis pimpinan Amerika Serikat.

Namun usaha ini ditentang oleh Anggota Gerakan Non Blok. Karena kegagalan usaha ini, Presiden Soekarno menjalankan politik diplomasi dengan tujuan : (1) menarik negara-negara Afrika dan Timur Tengah untuk mendukung rencana Indonesia mengadakan CONEFO (Konferensi Negara NEFO) dengan didahului oleh GANEFO (Games of New Emerging Forces) di Jakarta (dengan bantuan Rusia. Stadion Utama Senayan dibangun dalam rangka Ganefo ini ; serta (2) pembentukan poros Jakarta–Pnom Penh–Peking– Pyong Yang sebagai poros anti imperialis dan kolonialis.

Politik ini semakin membuat Indonesia terkucil dari pergaulan internasional. Puncaknya, pada 7 Januani 1965 Indonesia ke luar dari PBB.

Keterpurukan ekonomi kita, semakin lengkap akibat terjadinya G30S PKI dan dampaknya yang berkepanjangan. Kita semua tahu bagaimana sejarah gelap 30 September 1965 itu terjadi. Kontroversi peristiwa G30S PKI masih terus diperdebatkan entah sampai kapan, termasuk kontroversi keterlibatan militer dan “kisah jagal” pembunuh anggota PKI yang akhir-akhir ini muncul.

Sebagai anak kecil umur 8 tahun, tentu saja saya tidak tahu apa-apa mengenai gonjang-ganjing peristiwa G30S PKI. Yang saya ingat, zaman susah itu kami makan seadanya. Bulgur, gogik, thiwul, “telo jendral” (singkong), ubi, jadi makanan harian.

Pabrik tekstil GKBI Medari, diubah oleh pemerintah menjadi pabrik “Beras Tekad” (telo kacang djagung).  Televisi belum ada. Hiburan satu-satunya adalah radio. Di depan radio tua bikinan Rusia merk “Eres”, bapak selalu mendengarkan pidato Bung Karno yang berapi-api.

Di zaman serba susah dan miskin hiburan itu, saya sering diminta ibu untuk antri beli minyak tanah di Kebonsari. Yang mbagi-bagi minyah tanah itu namanya pak Maridjo, “pak Bon” SMP Kanisius Muntilan. Untung kakek saya yang menjadi lurah desa Tirto Salam, punya sawah luas dan masih bisa rutin mengirim beras.

Tetangga kami pak Karmo, beternak ayam. Kami anak-anak diberi bibit anak ayam agar bisa punya ayam dan bisa makan daging. Pak Karmo yang luar biasa dan berjasa!

Rumah kami di Muntilan, dulu dibeli bapak-ibu saya dari keluarga Lurah Sirahan, yang sepertinya ikut PKI. Rumah itu sering dipakai untuk kumpul-kumpul orang-orang berseragam. Di kemudian hari, saya baru tahu kalau mereka adalah para Pemuda Rakyat dan Gerwani. Mereka suka “pethentang-pethenteng” membawa senjata.

Dari buku sejarah yang saya baca, rupanya mereka itu adalah “angkatan ke-5, rakyat yang dipersenjatai”.  Mereka dibentuk untuk ikut mengganyang “Nekolim” (Neo Kolonialisme). Mereka suka menyanyi lagu Genjer-genjer, lagu yang konon dibuat untuk memuji “prestasi” PKI membunuh para Jenderal TNI di Lubang Buaya.

Pada masa penumpasan PKI oleh RPKAD-nya Sarwo Edhie Wibowo, orang-orang itu “raib” entah ke mana. Konon, banyak yang dibui ke Nusa Kambangan atau ke Pulau Buru. Banyak yang dibunuh. Di belakang rumah nenek saya di Pacalan, Birit, Wedi Klaten, ada sungai penuh pasir yang cukup besar. Di situ, saya ingat sekali pernah melihat beberapa mayat yang berserakan. Kata orang, jenasah-jenasah itu adalah jenasah korban kekejaman PKI. Beberapa jenasah ditemukan tanpa kepala.

Saya “diringkus” oleh pakde saya, agar tidak melihat pemandangan mengerikan itu. (Bersambung)

Photo credit: Gereja Katolik Muntilan (Budiono Halim, Klinik Foto Kompas)

Artikel terkait:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here