TRAGEDI Kerusuhan Mei 1998, siapa bisa melupakan? Tragedi Kerusuhan Mei 15 tahun lalu, siapa tidak mengingatnya?
Majalah Asiaweek pada bulan Mei 1998 itu menurunkan berita utama di sampulnya: “Ten Days that Shook Indonesia”. Berita utama Asiaweek itu ditulis oleh Susan Berfield dan koresponden Asiaweek di Jakarta: Dewi Loveard.
Bersama berita gencar yang ditayangkan CNN, tulisan yang rinci di majalah Asiaweek ini menyebar kemana-mana dan menimbulkan kemarahan dimana-mana, terutama di kalangan etnis Tionghoa.
Sejarah gelap
Tragedi Mei 1998 akan tercatat sebagai bagian perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang paling gelap.
Menurut Sandyawan, salah satu saksi penting sejarah gelap 15 tahun yang lalu itu, selama kerusuhan 13-14-15 Mei 1998, ada 1.880 orang yang tewas mengenaskan. “Lebih banyak dari jumlah korban perang Diponegoro”, katanya.
Sebagian besar korban itu, tewas terbakar dan terpanggang di beberapa pusat perbelanjaan seperti pertokoan Yogya Klender, Ramayanan Jatinegara, Karawaci dsb. Cukup banyak korban meninggal setelah diperkosa dan dianiaya. Banyak yang ditemukan sudah menjadi mayat di jalanan.
Kerusuhan Mei dipacu dari kejadian penembakan mahasiswa di Kampus Trisakti, Jakarta Barat. Kampus Trisakti kini dijuluki Kampus Reformasi. Empat mahasiswanya tewas tertembak di kepala, tenggorokan dan dada. Empat mahasiswa itu: Elang Mulia Lesmana (kelahiran 1978), Heri Hertanto (kelahiran 1977), Hafidin Royan (kelahiran 1976) dan Hendriawan Sie (kelahiran 1975) dinyatakan resmi sebagai Pahlawan Reformasi.
Sementara, ribuan korban yang meninggal mengenaskan itu lalu dianggap apa? Entahlah! Pahlawan kekonyolan? Tega kita menyebut begitu?
Kerusuhan Mei 1998 itu menggoreskan luka yang amat dalam bagi bangsa kita. Ada luka sejarah yang tak akan pernah bisa disembuhkan! Penggagas, pengendali sekaligus “otak” Tragedi Mei 98 yang membuat bangsa ini sangat ternista sampai kini tidak pernah terungkap tuntas. Sebagian besar orang yakin, beberapa “polisi dan tentara kroco” yang sudah divonis karena kerusuhan itu bukan otak pelakunya.
Meski sudah 15 tahun berlalu, penyelesaian kasus ini tak kunjung selesai. Maklum pelaku dan saksi sejarah Tragedi Mei masih ada, dan bahkan diduga masih menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Laporan investigasi yang sudah disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh Pemerintah tidak pernah ditindaklanjuti dengan proses hukum. Padahal ada sejumlah nama-nama kredibel dalam tim itu: Marzuki Darusman SH; Mayjen Pol Drs. Marwan Paris MBA; KH. Dr. Said Aqiel Siradj; Dr. Rosita Sofyan Noer MA; Zulkarnain Yunus SH; Asmara Nababan SH; Marsma TNI Sri Hardjo SE; Drs. Bambang W. Soeharto; Prof. Dr. Saparinah Sadli; Mayjen TNI Syamsu Djalal SH; Mayjen Pol Drs. Da’i Bachtiar; Mayjen TNI Abdul Ghani SH; I Made Gelgel SH; Mayjen TNI Dunidja D; I. Sandyawan Sumardi SJ; Nursyahbani Katjasungkana SH ; Abdul Hakim Garuda SH LLM, dan Bambang Widjojanto SH yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
Semar gugat
Dalam tulisannya di Harian Kompas pada 21 Mei 2013, tepat 15 tahun setelah Pak Harto lengser, peneliti senior CSIS J. Kristiadi mengatakan bahwa Tragedi Mei itu adalah saat ketika “Semar Menggugat”. Tokoh Semar dalam dunia pewayangan adalah tokoh dewa yang merakyat.
Menurut Kristiadi, Semar berani menggugat Sang Hyang Wenang, dewa penguasa jagad raya, karena Bathara Guru (pimpinan para dewa) berbuat sewenang-wenang kepada rakyat. Kata Kristiadi, peristiwa Mei 98 adalah puncak perjuangan seluruh komponen bangsa untuk menghentikan penguasa monolit dan monopoli kekuasaan. Penderitaan, darah, pembakaran, perkosaan, penembakan, pembunuhan, penjarahan, adalah harga yang harus dibayar.
Betapa mahalnya harga sebuah perubahan itu! Dan betapa naifnya kita, kalau harga setinggi itu begitu saja kita lupakan. Sesungguhnya, benarlah pesan kenabian Milan Kundera, penulis dan sastrawan dari Republik Czech, bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. (The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting). (Bersambung)
Photo credit: Kerusuhan Mei 1998 (ist)
Tautan:
Sip, terima kasih telah dicerahkan kembali, semoga para calon pemilih petinggi negara tahun 2014 nanti senantiasa waspada akan kepiluan yang pernah terekam untuk bumi indonesia. Jangan pilih dia yang akan menutup hati nurani kita
Artikel yang menarik. Hanya saja ada sedikit koreksi pd penulisan nama Saanyawan seharusnya tidak ada penambahan SJ dibelakangnya. Terimakasih perhatiaannya, salam.
waktu itu masih resmi sj