WALAU banyak orang beramai-ramai telah menjagokan Kardinal Angela Scola yang kini Uskup Agung Diosis Milano, tetapi nilai 34% masih dianggap belum meyakinkan. Banyak “Vaticanisti” mengatakan, konklaf kali ini merupakan satu konklaf yang sulit.
Ini konklaf yang berbeda.
Terpilih di hari Kamis
Menurut Uskup Agung New York Kardinal Timothy Dolan, Paus yang baru kemungkinan besar akan terpilih pada hari Kamis sore nanti. Kemudian pada Pesta Santo Yusuf 19 Maret, Paus yang terpilih itu, diharapkan akan memimpin misa pertama.
“Perkiraan” Kardinal Timothy Dolan ini, disiarkan TV Amerika ABC News. Asisten pribadi Kardinal Dolan mengkonfirmasi bahwa memang benar Kardinal Dolan sempat mengirim pernyataan seperti itu kepada umat keuskupannya. Pernyataan itu dibuat tertulis dan dikirim sesudah makan siang hari ini, beberapa jam sebelum masuk ruang konclaf.
Kalau memang benar perkiraan Kardinal Dolan, maka bisa dipastikan sore hari ini waktu Italia, asap putih belum akan keluar dari cerobong Kapel Sistina. Dan ternyata, hingga hari Rabu petang tanggal 13 Maret 2013 asap putih itu juga belum keluar dari cerobong Kapel Sistina.
Banyak pengamat sependapat dengan Dolan, bahwa konklaf kali ini adalah konklaf yang akan panjang dan seru. Kali ini tidak ada “jago dan tokoh” yang dianggap kuat seperti Montini, Martini, Ratzinger, dsb seperti pada masa lalu, yang membuat para Kardinal langsung ikut “gerbong” para tokoh itu.
Pada Konklaf 2005, Ratzinger langsung terpilih setelah 4 putaran pemungutan suara, dalam satu setengah hari Konklaf. Pemilihan Ratzinger termasuk yang paling cepat.
Konklaf kali ini berbeda.
Beberapa “Vaticanisti” punya pendapat mereka yang tegas mengatakan, Konklaf 2013 kali ini memang lain daripada yang lain. Mereka ini adalah Paul Badde dari Frankfurter Allgemeine Zeitung dan Die Welt Jerman;, John Allen dari National Catholic Reporter, CNN dan NPR Amerika; Gian Guido Vecchi dan Massimo Franco dari Corriere della Sera Italia); Luigi Accattoli dari La Repubblica Italia; Andrea Tornielli dari La Stampa Italia; dan Jean Marie Guenois dari Le Figaro Perancis).
Berikut argument mereka hingga mengatakan Konklaf 2013 ini berbeda:
· Paus sebelumnya mundur, tidak meninggal
Ketika seorang Paus meninggal, tentu ada suasana duka yang mendalam. Refleksi mengenai hidup dan karya yang meninggal juga langsung muncul. Ada pembedaan jelas antara masa ketika Paus masih hidup dengan waktu ketika sudah meninggal.
Sebagai contoh ketika almarhum Paus Yohanes Paulus II wafat, maka semua Kardinal yang akan memilih Paus baru hadir pada upacara pemakaman, bersama dengan puluhan Kepada Negara seluruh dunia. Kenangan, penghargaan tinggi, niat melanjutkan yang baik dari almarhum Paus Yohanes Paulus II sangat kental pada upacara pemakaman itu.
Ketika Konklaf 2005 dimulai, Kardinal dibekali sejumlah harapan apa yang belum tercapai pada masa “pemerintahan” Yohanes Paulus II.
Kini, dengan keadaan Paus lama masih hidup, secara psikologis para Kardinal Pemilih menjadi lebih sulit menentukan calon. Plus-minus Paus yang lengser jadi tidak mudah diomongkan.
Kardinal Sodano, yang kini menjadi Dekan Kolegio Kardinal, tidak bisa dipilih karena usianya sudah 85 tahun. Jadi sebagus apa pun “penampilan” pada misa menjelang Konklaf kemarin, ia tidak akan (bisa) menjadi Paus.
Kardinal Ratzinger, dengan “cukup mudah” terpilih, karena ketika menjadi Konselebran Utama upacara pemakaman Paus Yohanes Paulus II, wibawa dan otoritasnya sebagai Dekan Kolegio Kardinal muncul sangat kuat. Kotbah pada misa pemakaman itu juga sangat mengena dan berkelas.
Kala itu, Ratzinger sudah “menjadi Paus” kendati Konklaf belum dimulai. Kini keadaannya berbeda.
· Tidak ada calon kuat, tidak ada “frontrunner”
Meski pada Konklaf 2005 itu Ratzinger sangat menonjol, tidak berarti para Kardinal langsung memilih dia. Sidang pra Konklaf yang cukup lama waktu itu, memungkinkan para calon pemilih melirik beberapa nama yang lain, termasuk kepada alm. Kardinal Carlo Martini, Uskup Agung Jesuit dari Milano.
Suasana kuat waktu itu adalah memilih Kardinal yang bisa melanjutkan kepausan Yohanes Paulus II yang fenomenal itu. Ratzinger dipilih karena lumayan “kompatibel” dengan harapan itu karena diharapkan mampu melanjutkan kesuksesan JP2 dengan gaya “panzer”-nya.
· Faktor kejutan
Mundurnya Paus Benedictus XVI, mengguncang sistem dan keyakinan ajaran Gereja selama ini mengenai martabat dan posisi seorang Paus. Secara dogmatis, menjadi Paus memang tidak termasuk dalam 7 sakramen gereja.
Jadi jabatan Paus bukan “sakramental”. Tetapi sebagai Gembala Utama Gereja, seorang Paus tidak bisa mundur begitu saja dengan alasan sebagus apa pun.
Dalam istilah Kardinal Dziwisz, mantan asisten pribadi Paus Yohanes Paulus II yang setia itu: “Tuhan kita tidak pernah turun dari salib. Itu pula yang dilakukan Paus Wojtyla”.
Meninggalkan status sebagai Paus, bagi banyak pengamat sama saja dengan meninggalkan status sebagai Bapak keluarga.
Saking marahnya pada Ratzinger, sehabis misa pagi, ada Pastor Paroki dari Castel Vittorio di Imperia Itali Utara, yang membakar foto Benedictus XVI. Umat sampai shocked dengan ulah pasturnya yang nyentrik ini. Don Andrea Maggio, nama pastur ini, sangat kecewa dengan keputusan mundur Paus Benedictus dan membandingkannya dengan Schettino, kapten kapal pesiar Itali yang tega meninggalkan kapal mewah Costa Concordia setelah tenggelam gara-gara ulahnya.
Fenomena mundurnya Paus yang tidak mudah dimengerti ini akan membuat Collegio Kardinal “terbelah” : satu kelompok setuju memilih Paus yang berani jadi Paus sampai mati, kelompok lain “mendukung” revolusi Ratzinger bahkan sampai pada kemungkinan yang paling ekstrim: di masa mendatang bisa memilih orang yang lebih tepat bahkan kalau perlu calon yang ada di luar Collegio Kardinal.
· Skandal dan akibatnya yang mesti ditanggung
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Gereja diguncang skandal “child sex abuse” yang dilakukan para imam bahkan para uskup di mana-mana. Beberapa keuskupan di Amerika bahkan dinyatakan bangkrut dan menjual banyak asetnya untuk membiayai para korban.
Vatikan sendiri dipermalukan dengan terkuaknya skandal Vatileaks yang “menelanjangi” salah urus di Bank Vatikan (IOR), lingkaran gay, korupsi dan macam-macam intrik kekuasaan yang terjadi di lingkaran Curia. Dan semua beban itu, terpaksa ditanggung oleh Benedictus XVI.
Sejauh mana kebenaran issue Vatileaks, hanya Paus Benedictus XVI yang paling tahu.
Tim pencari fakta yang dibentuk Benedictus yang terdiri dari 3 kardinal senior yakni Julian Herranz, Jozef Tomko dan Salvatore De Giorg sudah menyerahkan hasil penelusurannya kepada Paus. Mau diapakan hasil Team Pencari Fakta itu, Benedictus menyerahkannya sepenuhnya kepada Paus yang baru nanti.
Yang jelas, dari sidang pra-Konklaf seminggu kemarin, nampak jelas keinginan para Kardinal untuk memilih calon Paus yang “bersih tangannya”. Skandal yang mencoreng Gereja ini, harus bisa “di-manage” dan diatasi oleh Paus yang baru nanti. Benedictus intelek dan professor hebat. Tetapi hebat dalam hal itu ternyata belum cukup untuk mengurus gereja yang begini rumit dan komplek.
· Dua pertiga suara
Pada tahun 1996, ketika Paus Yohanes Paulus II menerbitkan dokumen pemilihan Paus “Universi Dominici Gregis”, dia hanya menginginkan supaya pemilihan Paus dilakukan dengan sederhana dan tidak berbelit-belit. Mayoritas sederhana lebih dari 50% dalam Konklaf, sudah cukup bisa mengantar seorang Kardinal terpilih menjadi Paus.
Sebelum lengser, Paus Benedictus mengubah kuorum 50% itu menjadi 2/3. Artinya, pada Konklaf 2013 ini, dari 115 Kardinal yang ada, seorang bisa menjadi Paus kalau bisa melewati ambang batas 77 suara. Jumlah yang tidak mudah.
Skenario “mendukung calon favorit” yang biasanya dulu terjadi, kini menjadi lebih banyak variasinya. Pendekatan-pendekatan atau lobby-lobby baru di luar Konklaf, mau tidak mau akan dibuat kalau mayoritas yang meyakinkan tidak tercapai.
Konklaf kali ini akan jadi lebih lama. Para “supporter” di lapangan Santo Petrus akan lebih sering melihat asap hitam dari atap Kapel Sistina.
· Peran sosial media
Twitter, Facebook dan alat komunikasi dunia maya yang lain belum populer atau bahkan belum ada pada Konklaf 2005 sesudah wafatnya Paus JP2. Sekarang, beberapa Kardinal, lebih-lebih Kardinal dari Amerika dan Asia, adalah pengguna Twitter dan Facebook yang aktif.
Meski aturan Konklaf melarang segala bentuk komunikasi di ruangan Konklaf dan sekitarnya, tetapi orang sangat mencermati apa saja yang ditulis oleh para Kardinal itu menjelang Konklaf dalam Twitter maupun Facebook-nya. Sebaliknya, masukan dari Twitter juga akan diperhatikan para Kardinal.
Justru ungkapan sederhana, asli, dan “sambil lalu” seringkali memberi inspirasi pada pilihan para Kardinal itu.
Di Itali sendiri, selama pemilihan Paus ini, hashtag Twitter yang nomer satu adalah #Konklaf.
Yang masuk dalam 10 besar hashtag paling top di Itali, selain #Konklaf adalah : #cardinali, #Ior dan #Roma.
Hashtag yang tiba-tiba mencuat selama pemilihan Paus ini adalah : #VoglioUnPapaChe. Hashtag ini diluncurkan oleh Corrado Formigli, seorang pemuda Paroki biasa dan penggila Twitter. Sejak #VoglioUnPapaChe ditayangkan di TV7 Itali, ribuan orang langsung menjadi pengikutnya.
Semua orang pasti semangat kalau ditanya : “Voglio un Papa che..” (“saya pengin punya Paus yang…”). Ini contoh beberapa yang masuk ke #VoglioUnPapaChe itu : “Saya ingin seorang Paus :
· Yang manusia biasa (tetapi yang terbaik), bukannya Tuhan yang turun dari surge;
· Yang muda, terbuka dengan gay, toleran, dan membolehkan pastor menikah;
· Yang menjadi citra Kristus : berani, benar, baik hati, terbuka, transparan;
· Yang bukan dari 115 Kardinal yang ada di Konklaf sekarang ini;
· Yang seperti seorang Fransiskan yang sederhana, mau mencangkul tanah dan memberi dari keringatnya;
· Yang pernah menjadi misionaris, sehingga bisa merasakan apa itu kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan;
· Yang berstatus suami dan Bapak keluarga Katolik yang baik. Kenapa tidak ?
Silahkan Anda semua menambahkan sendiri harapan-harapan Anda tentang Paus yang Anda harapkan. Silahkan juga teman-teman mendukung kalau ada yang mau buka Twitter seperti idenya rekan muda Corrado dari Itali itu dengan account kita : “#SayaInginPausYang….”
Saya sendiri tidak punya account Twitter. Saya juga pengguna Facebook yang malas. Saya sangat senang dan mengikuti pandangan dan gaya tutur para Vaticanisti. Tetapi saya juga mempertimbangkan sekali pendapat Paus Emiritus Ratzinger pada bulan Oktober 2012.
Kepada anak-anak muda anggota Azione Cattolica, Paus Benedictus di Lapangan Santo Petrus menceritakan bahwa 50 tahun lalu, selain ada Konsili Vatikan II versi para Bapak Gereja, juga ada Konsili Vatikan II versi media.
Cara memandang media pada Konsili dan juga Konklaf sekarang ini pasti berbeda. Yang saya rangkumkan di atas misalnya, adalah salah “gaya tutur” media itu. Silahkan memakainya kalau dianggap perlu dan berguna.
Yang pasti, pada saat ini saya hanya ingin membayangkan berdiri kedinginan di Lapangan Santo Petrus bersama ribuan pencinta Gereja, seraya berdoa bersama para Kardinal yang dalam kotbah Kardinal Sodano tadi pagi terungkap dengan doa ini: “Tuhan beri kami seorang Gembala yang baik, yang berani memberikan nyawanya untuk domba-dombanya. Beri kami Gembala yang memiliki hati yang mulia, yang memiliki cinta demikian besar sehingga mampu mencintai semua orang di dunia ini !” Amin.