Pijar Vatikan II di Tahun Iman: Nafsu pun Didiskusikan (3)

0
1,435 views

PERAYAAN 50 tahun Konsili Vatikan II membawa berkah tersendiri bagi penerbit Katolik. Di semua toko buku Katolik, publikasi apapun yang berhubungan dengan Muktamar Agung itu, dipajang di rak-rak utama. Esai, studi, majalah (terutama yang berisi “kisah nostalgia” Konsili Vatikan II), kumpulan dokumen dalam format baru, kompilasi foto, sejarah Konsili dalam bentuk DVD, semuanya laris dibeli.  

Buku humor Konsili

Di Italia sendiri, salah satu buku yang paling dicari sekarang ini, adalah buku kecil berjudul Le Bolle del Concilio (Bubbles of the Council/Buih-Buih Konsili). Buku 128 halaman yang harganya 12 Euro ini, berisi humor, anekdot dan kisah-kisah lucu Konsili. Semacam “Mati ketawa cara Konsili Vatikan”.Begitulah !

Meski buku ini cuma buku “guyonan”,  tetapi buku kecil yang diterbitkan oleh Penerbit Ancora ini, diberi pengantar yang sangat serius. Salah satu tokoh Konsili yaitu Uskup Emeritus Ivrea yakni Mgr.Luigi Bettazzi malah berkenan menuliskan kata pengantar. Sejarawan Konsili yang tenar dan berwibawa yaitu Maurilio Guasco, memberi catatan-catatan penting, agar pembaca yang mau tertawa bisa mengerti konteksnya.

Buku humor Konsili ini dibuat oleh kelompok awam “Viva il Concilio”. Melalui kegiatan dan websitenya, kelompok ini punya misi utama seperti banyak kelompok lain, yaitu menghidupi semangat Konsili. Tentu saja dalam konteks tantangan zaman ini. Ide membuat kumpulan cerita lucu, termasuk cara yang unik. Dan kiranya, menjadi salah satu cara yang lebih kena dalam mewartakan nilai-nilai Konsili Vatikan II.

Salah satu kisah lucu pada buku Le Bolle del Concilio itu, bisa Anda baca di bawah judul Non decet.

Diceritakan, pada Konsili Vatikan II, beberapa awam diundang hadir pada diskusi mengenai Skema XIII, khususnya tentang perkawinan. Di antara awam yang hadir, ada seorang wanita dari Mexico yang datang bersama suaminya.

Kardinal Michael Browne dari Irlandia, mengusulkan agar Komisi membahas masalah “cinta dan nafsu”. Menurut beliau, masalah ini penting dibahas, agar skema yang diusulkan bisa membantu umat memahami sejatinya cinta sebagai dasar perkawinan Kristen. Beberapa Uskup menanggapi usulan Kardinal Browne dengan semangat.

Diskusi jadi seru. Maklum masalahnya sensitif: perkawinan, cinta dan nafsu!

Karena diskusi tentang “cinta dan nafsu” ini jadi berkepanjangan dan tidak jelas juntrungannya, ibu dari Mexico ini menyambar mike dan menginterupsi diskusi. Dengan lantang, Ibu Mexico ini bilang : “Semua Uskup yang hadir di sini, saya rasa sangat menghormati ibunya. Jadi saya yakin tidak seorang pun di ruangan ini yang menilai dirinya sendiri sebagai anak hasil nafsu !”

Para Uskup langsung pada terdiam. Diskusi selesai. Komisi lalu melanjutkan pembicaraan dengan topik lain.

Silahkan Anda semua membuat interpretasi dari kisah lucu itu. Saya sendiri terkesan dengan serunya diskusi topik tentang “cinta dan nafsu” itu. Para Bapak Konsili itu saya duga dengan begitu mudah berdiskusi tentang “terminologi” macam itu, karena memang mereka produk dari sebuah zaman Gereja yang mengajar nilai-nilai Injil dengan bahasa kritis.

Mereka produk pendidikan Skolastik dan Neo Skolastik, yang mendominasi cara pandang “Pra Konsili”. Ajaran Konsili Vatikan I, bahkan ajaran Konsili Trente, begitu kental dibahasakan dengan model bahasa teologi ala Thomas Aquinas dan Agustinus. Bahasa yang dipakai dalam diskusi itu, tentu saja bahasa Latin. Istilah-istilah teologis Latin tentu saja jadi gampang muncul. Lengkaplah “suguhan” panggung diskusi skolastik ini.

“Concupiscentia”

Yang dibicarakan dalam kisah “cinta dan nafsu” tadi, adalah  “love of concupiscence”.

Tentu saja, selain bicara tentang Kristus sebagai pusat iman, Konsili Vatikan II juga berbicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan manusia, keluarga, cinta, perkawinan dan hal-hal sekitar itu.

Istilah concupiscence berasal dari kata Latin  concupiscentia. Tidak ada padanan kata Indonesia yang tepat untuk istilah concupiscence ini.  Kata Indonesia  “nafsu” lebih tepat menterjemahkan kata Inggris lust, bukannya kata Inggris concupiscence itu.

Concupiscentia kurang lebih campuran antara kehendak yang kuat dan berkobar kepada hal-hal yang cenderung bisa menimbulkan “keternodaan”. Teolog dan Filsuf Xaverian Batista Mondin, merumuskannya sebagai  forte desiderio, passione smodata.

Tentang concupiscentia, Konsili Trente memberi penjelasan sebagai  deriva dal peccato e stimola al peccato (berasal dari dosa dan merangsang terjadinya dosa). Sementara menurut Santo Thomas Aquinas, concupiscentia adalah  keinginan tertentu yang diiringi dengan kemauan yang kuat (eadem passio cum desiderio). 

Keinginan semacam itu, menurut Thomas, tidak selalu jahat. Tetapi semenjak kita terkena dosa asal, keinginan semacam itu cenderung mendorong manusia untuk memilih yang tidak baik dibanding memilih yang baik. Kecenderungan macam itu, kalau menjadi tidak teratur dan bertentangan dengan akal sehat, akan membuat manusia cenderung pada yang buruk dan menjadi sulit berbuat baik (Summa Theologia III, 27, 3). 

Berbeda dengan Agustinus, Thomas Aquinas memandang concupiscentia sebagai akibat dari dosa saja, bukannya bagian dari dosa asal itu sendiri.

Bahasa masa kini

Teman-teman, selama 3 tahun (1962-1965) para Bapa Konsili Vatikan II sangat intensif berbicara tentang Gereja dan perutusannya dengan pelbagai cara dan metode. Cara bicara yang sarat dengan muatan filosofis dan teologis Barat semacam itu memang “menjadi santapan harian” mereka. Kita semua sudah sangat asing dengan cara berbicara semacam itu.

Setidaknya, pada Tahun Iman ini, kiranya kita boleh bertanya : “bahasa” apa yang sering kita gunakan dalam menyapa umat, dalam mewartakan Kristus? Jangan-jangan kalau umat mengantuk ketika imamnya berkotbah, itu karena bahasa dan terminologi yang dipakai dirasakan “asing”dan tidak kena lagi.

Memang, cara bicara dan cara pandang “Pra Konsili” seperti bahasanya Thomas Aquinas dan Agustinus itu, mungkin tidak relevan lagi untuk kita di sini sekarang ini. Kardinal Suenens, tokoh besar Konsili Vatikan II  dari Belgia itu, dengan sangat tajam pernah mengkritik usulan artikel Gaudium et Spes tentang perkawinan.

Oleh banyak pengamat, Kardinal Suenens memang dianggap lokomotif pembaharuan dan modernisasi Konsili Vatikan II. Beliau ditunjuk menjadi salah satu moderator Konsili oleh Paus Yohanes XXIII. Menurut almarhum Kardinal Suenens, skema pertama Gaudium et Spes tentang tujuan perkawinan, terlalu menekankan anak dan pendidikannya. Sementara tujuan persatuan cinta suami-isteri sendiri diposisikan di bawah melahirkan dan mendidik anak itu. Tentu saja dalam membela dua tujuan perkawinan yang sama dan seimbang ini, Kardinal Suenens dengan gayanya yang meyakinkan dan bahasa Latinnya yang sangat fasih (dan penuh humor), membedah model-model pendekatan “Pra Konsili” itu.

Dalam berziarah mencari kebenaran, kita bersyukur para Bapa Konsili kita tidak segan-segan untuk berdiskusi dengan jujur dan terbuka,  dengan aneka cara, gaya dan “bahasa”nya. Tentang nafsu pun bahkan tak segan-segan didiskusikan. Bisakah kita semua para putra dan putri Gereja, anak-anak Konsili Vatikan II zaman ini, bisa bicara jujur dan terbuka dalam “cara” dan “bahasa” kita masing-masing?

Pada Tahun Iman ini, marilah kita bertanya dengan jujur, sudahkan warisan Konsili Vatikan II yang begitu kaya – juga bahasanya – memperkaya iman, hidup dan kerohanian kita juga?

Artikel terkait:

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here